Economic Issues

Hilirisasi Tingkatkan PDB US$ 235,9 Miliar dan Ekspor Hingga US$ 857 Miliar

Para pembicara di Investortrust Future Forum: Mendiversifikasi PMA di Investasi Berkelanjutan di Jakarta, Rabu (25/9/2024). (Foto: Eva Martha Rahayu/SWA)

Nilai investasi di sektor hilirisasi hingga tahun 2040 diprediksi mencapai US$ 618,1 miliar. Hal tersebut dituangkan dalam peta jalan (roadmap) Hilirisasi Investasi Strategis hingga 2040. Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Riyatno, mengatakan, investasi tersebut akan memberikan tambahan terhadap produk domestik bruto (PDB). "Kontribusi terhadap PDB sebesar US$ 235,9 miliar, mendongkrak nilai ekspor hingga US$ 857 miliar, serta membuka lapangan pekerjaan lebih dari 3 juta,” kata Riyatno dalam Investortrust Future Forum: Mendiversifikasi PMA di Investasi Berkelanjutan yang digelar Investortrust.id bersama Kementerian Investasi/BKPM, di Hotel Sultan, Jakarta pada Rabu, (25/9/2024).

Seminar ini menghadirkan panelis Direktur Hilirisasi Perkebunan, Kelautan, Perikanan dan Kehutanan, Mohamad Faizal; Subkoordinator Pengembangan Investasi dan Kerjasama Sektor Batubara Kementerian ESDM. Yunita Siti Indarwati; VP Government Relation PT Freeport Indonesia, Harry Pancasakti; Ketua Indonesian Mining Association, Rachmat Makkasau, dan Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda.

Riyatno menyatakan, pemerintah terus mendorong hilirisasi dan industrialisasi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Apalagi, hilirisasi memberikan nilai tambah berlipat.“Misalnya untuk nikel, kalau sudah menjadi nikel sulfat, itu menjadi 11,4 perkaliannya. Untuk precursor kali 19,4, sedangkan k katoda kali 37,5. Dan tentu kalau bisa menjadi sel baterai itu perkaliannya 67,7. Jadi sangat luar biasa kalau bahan mentah itu atau raw material itu diolah,” kata Riyatno menegaskan.

Namun, untuk mendorong hilirisasi dan industrialisasi, Indonesia kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. “Setiap tahun dibutuhkan sekitar 16.000 tenaga kerja kompeten untuk sektor manufaktur, termasuk hilirisasi,” kata Riyatno.

Kendala lainnya adalah kebutuhan investasi yang besar. Untuk itu, dibutuhkan perluasan kerja sama internasional. Dalam hal ini, Kementerian Investasi/BKPM membuat perjanjian-perjanjian baik bilateral, multilateral, atau bilateral investment treaty.

Riyatno juga menyebutkan, hilirisasi menghadapi tekanan terkait dengan pelarangan ekspor komoditas mentah sebagai bahan baku. Indonesia digugat Uni Eropa melalui World Trade Organization terkait dengan larangan ekspor nikel beberapa waktu lalu.

Hingga kini, pemerintah sudah memberikan berbagai insentif untuk mendorong investasi di sektor hilirisasi, terutama di sektor perpajakan, kebijakan di sektor keuangan, dan Undang-Undang yang mendukung.Faizal menambahkan, investasi sebesar US$618 miliar tersebut tersebar di 28 komoditas unggulan Indonesia, di antaranya sektor mineral, batu bara, minyak bumi, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan. Komoditas tersebut dipilih karena Indonesia memiliki cadangan berlimpah.

"Seperti kita tahu bahwa nikel, potensi nikel kita nomor satu di dunia, timah potensinya nomor dua di dunia, bauksit nomor enam. Begitu pula dengan katakanlah sawit, sawit kita nomor satu di dunia, kelapa nomor satu, karet nomor dua, udang nomor tiga, ikan, tuna, cakalang, tongkol nomor satu di dunia, rajungan nomor dua, dan lain sebagainya," terang Faizal.

Faizal menjelaskan, selama tahun 2023, total nilai realisasi dari sektor hilirisasi mencapai Rp375,4 triliun. Capaian nilai tersebut berkontribusi sebanyak 26% dari capaian realisasi investasi pada 2023. Begitu pula pada Semester I tahun 2024 ini, 21,9% dari total realisasi di semester I/2024 berasal dari realisasi investasi perusahaan-perusahaan yang melakukan hilirisasi. Dengan roadmap hilirisasi tersebut, Indonesia diharapkan menduduki posisi lima besar negara produsen baterai untuk kendaraan listrik dunia, serta menjadi salah produsen stainless steel terbesar dunia.

Sedangkan Ketua Umum (Ketum) Indonesia Mining Association (IMA), Rachmat Makkasau, menyampaikan, Indonesia memiliki potensi menghilirisasi komoditas selain nikel di sektor pertambangan, yakni katoda tembaga di tahun 2025 mendatang.

Hal ini seiring dengan peresmian smelter tembaga dan pemurnian logam mulia PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan smelter PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik JIIPE, Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Jatim) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu. “Tembaga kita saat ini menguasai 3-4% market share di dunia, bahkan kalau (perusahaan) yang lain jalan, kita bisa punya pangsa pasar 7-10% di dunia. Kita punya kemampuan untuk mengontrol produk tembaga atau hilirisasi tembaga,” papar Rachmat.

Subkoordinator Pengembangan Investasi dan Kerjasama Sektor Batubara Kementerian ESDM RI, Yunita Siti Indrawati, menyatakan, tantangan terbesar proyek hilirisasi batu bara di dalam negeri adalah ketersediaan teknologi yang mampu mengolah batu bara menjadi produk yang bernilai tambah.

“Bukan hal yang mudah bagi perusahaan tambang batu bara untuk mencari mitra proyek hilirisasi batu bara. Sebab, belum banyak negara di dunia yang sudah melakukan atau mengembangkannya. Tantangannya, capex (capital expenditure atau belanja modal) merupakan komponen investasi yang besar dan juga ketersediaan teknologinya," katanya.

Terkait dengan persoalan nilai keekonomian dari proyek hilirisasi batu bara, Yunita menyebut pihaknya terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk penyediaan insentif. Insentif tersebut dapat berupa insentif pajak dalam bentuk tax allowance dan tax holiday maupun insentif lainnya. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved