My Article

Generasi Pemberontak: Mendorong Produktivitas Team Work dengan Psychological Safety

Kun Wahyu Wardana, Direktur Kepatuhan SDM dan MR PT Asuransi Kredit Indonesia. (Foto : Dok pribadi).

Tak pelak Gen Z dan milenial telah muncul sebagai kekuatan baru yang mengubah dinamika dunia kerja. Generasi ini ditengarai menjunjung tinggi nilai-nilai pribadi dan mencari makna lebih mendalam dalam pekerjaan mereka.

Mereka bahkan dikenal berani menolak tugas atau pekerjaan yang bertentangan dengan prinsip dan keyakinan mereka. Fenomena ini menciptakan perspektif baru tentang “pemberontakan” di tempat kerja. Tentunya, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen SDM.

Seberapa besar kepercayaan diri Gen Z dan milenial dalam mempertahankan prinsip dan keyakinan mereka sehingga berani memosisikan berseberangan dengan atasannya?

Mengacu pada laporan Deloitte Global 2024 Gen Z and Millennial Survey, setengah dari Gen Z (50%) dan empat dari sepuluh milenial (43%) pernah menolak pekerjaan yang tidak sejalan dengan nilai pribadi mereka.

Alasan penolakan ini bervariasi, mulai dari dampak negatif perusahaan terhadap lingkungan hingga praktik yang tidak inklusif. Bahkan 44% Gen Z dan 40% milenial menolak tawaran pekerjaan dari perusahaan yang tidak selaras dengan keyakinan mereka.

Fenomena ini dijelaskan oleh Francesca Gino dalam bukunya Rebel Talent (2019). Rebel talent sejatinya merujuk pada individu yang berani menantang status quo, mempertanyakan regulasi yang ada, dan mengambil risiko untuk menciptakan inovasi serta perubahan positif.

Gino menekankan pemberontakan yang dimaksud bukanlah bersifat destruktif, melainkan sebuah bentuk pemberontakan yang konstruktif, di mana seseorang tidak hanya menolak regulasi yang ada, tetapi juga memberikan solusi baru yang lebih baik.

Senapas dengan apa yang diungkapkan Gino, bagi Gen Z dan milenial, pemberontakan mereka bukan sekadar bentuk penolakan, melainkan upaya aktif untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dengan mengusung nilai-nilai sebagai prioritas utama.

Meskipun pendekatan ini berbeda dari generasi sebelumnya seperti Gen X atau Baby Boomers, yang lebih mengutamakan stabilitas kerja, hal ini harus dilihat sebagai respons terhadap tantangan zaman.

Perubahan global seperti krisis iklim dan peningkatan kesadaran akan inklusivitas membuat generasi muda lebih cenderung menempatkan nilai-nilai pribadi mereka menjadi prioritas. Oleh karena itu, organisasi perlu beradaptasi dengan pendekatan ini untuk mendukung generasi baru sembari menjaga keberagaman perspektif lintas generasi.

Keberanian Gen Z menolak pekerjaan yang tidak sejalan dengan prinsip pribadi di lain pihak menambah kompleksitas organisasi. Ada risiko konflik antar generasi di tempat kerja, di mana Gen Z dan milenial mungkin dianggap terlalu idealistis atau tidak fleksibel, jika tidak mengatakan egois. Dalam jangka panjang, jika kondisi ini tidak terkelola dengan bijak dapat memengaruhi kolaborasi tim dan sinergi organisasi dalam mencapai tujuannya.

Terlalu sering menolak tugas bisa menyebabkan mereka dipandang sebagai generasi yang sulit bekerja sama, yang pada akhirnya memengaruhi citra diri dan reputasi profesional mereka. Oleh karena itu, keseimbangan antara mempertahankan integritas pribadi dan fleksibilitas menjadi kunci keberhasilan dalam dunia kerja yang dinamis.

Di sinilah letak pentingnya peran purpose (tujuan/makna). Purpose dapat berfungsi sebagai parameter untuk mempertemukan dan menyelaraskan nilai-nilai dari berbagai generasi, termasuk milenial dan Gen Z, dengan nilai-nilai organisasi. Purpose bukan hanya sekadar tujuan, tetapi arah yang memberi makna dan kemuliaan dalam melakukan sesuatu.

Dengan adanya purpose, ketika terjadi perbedaan atau penolakan tugas, hal tersebut bukan disebabkan oleh sikap egoistis semata, melainkan karena adanya perbedaan nilai yang tidak dapat dikompromikan.

Memperkuat purpose bagi organisasi merupakan keniscayaan dalam peran kepemimpinan (leadership). Dengan purpose yang jelas, pemimpin dapat mengakomodasi kebutuhan dan nilai-nilai berbagai pihak, sehingga tercipta keselarasan dan kolaborasi yang efektif untuk menciptakan kinerja organisasi yang unggul.

Peran Psychological Safety

Untuk memaksimalkan potensi inovatif dari rebel talent, organisasi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung melalui psychological safety. Amy Edmondson dalam bukunya The Fearless Organization (2019) menekankan pentingnya psychological safety di tempat kerja.

Lingkungan yang membuat karyawan merasa aman untuk berbicara jujur, mengungkapkan gagasan tanpa rasa takut dihukum atau dikucilkan adalah landasan bagi pembelajaran, inovasi, dan pertumbuhan tim.

Lebih lanjut Dr. Timothy Clark dalam bukunya of The 4 Stages of Psychological Safety: Defining the Path to Inclusion and Innovation (2019) menguraikan psychological safety merupakan kondisi seseorang dapat merasakan “(a) included, (b) safe to learn, (c) safe to contribute, and (d) safe to challenge the status quo, without fear of being embarrassed, marginalized or punished in some way”.

Perusahaan seperti Google, melalui proyek Aristotle, telah menunjukkan betapa pentingnya psychological safety untuk keberhasilan tim. Studi ini menganalisis lebih dari 180 tim selama dua tahun dan menemukan bahwa tim dengan tingkat psychological safety yang tinggi adalah yang paling berkinerja baik.

Psychological safety memungkinkan anggota tim untuk berani berbagi ide-ide baru, mengajukan pertanyaan kritis, dan melaporkan kesalahan tanpa takut dihakimi. Hal ini mendorong keberanian untuk menantang status quo, yang sangat terkait dengan karakteristik rebel talent.

Studi ini menjadi contoh karena memberikan bukti nyata bahwa organisasi yang mendorong keterbukaan dan keberanian karyawan untuk menantang norma lawas akan lebih sukses dalam berinovasi.

Di Indonesia, tantangan lintas generasi di tempat kerja juga semakin terlihat. Generasi Baby Boomers dan Gen X yang lebih mengutamakan stabilitas kerja kini harus berhadapan dengan Gen Z dan milenial yang menempatkan nilai-nilai pribadi di atas segalanya. Misalnya, di sektor teknologi dan startup, banyak perusahaan yang mulai mengadopsi pendekatan kerja yang lebih fleksibel dan mendukung psychological safety.

Namun, tidak semua perusahaan di Indonesia siap menghadapi tantangan ini. Masih banyak perusahaan yang berhaluan konservatif yang belum memahami pentingnya psychological safety, yang menyebabkan meningkatnya tingkat turnover di kalangan karyawan muda.

Oleh karena itu, perusahaan perlu menyadari bahwa generasi muda akan lebih memilih bekerja di tempat yang menghargai nilai-nilai pribadi mereka dan menyediakan lingkungan yang aman secara psikologis.

Perubahan Positif

Gen Z dan milenial telah membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pekerja yang mengikuti arus. Mereka mencari makna dalam pekerjaan mereka dan berani menolak tugas yang tidak sesuai dengan prinsip pribadi. Organisasi yang ingin tetap kompetitif harus belajar menyesuaikan diri dengan pendekatan ini.

Namun, ada tantangan yang perlu diperhatikan, seperti potensi konflik antar generasi. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan kerja yang aman secara psikologis sangat penting agar organisasi dapat memaksimalkan inovasi dan keterlibatan karyawan.

Pada akhirnya, Gen Z dan milenial bukanlah pemberontak dalam arti negatif. Mereka adalah pencari makna yang ingin menciptakan perubahan positif bagi diri mereka sendiri dan lingkungan di sekitar mereka sepanjang psychological safety dan leadership dalam organisasi menjadi jembatan untuk menyelaraskan nilai-nilai individu dengan tujuan organisasi​. (*)

Penulis: Kun Wahyu Wardana, Direktur Kepatuhan SDM dan MR PT Asuransi Kredit Indonesia.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved