Transformasi Edukasi di Era AI, Turnitin Gandeng UPH
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan seperti pisau bermata dua. Di satu sisi kehadirannya membantu dalam pembelajaran atau pekerjaan, di sisi lain membuat manusia kerap menggunakannya sebagai jalan pintas. Pelajar maupun mahasiswa yang saat ini mengenal generative AI seperti ChatGPT juga kerap menggunakannya untuk mengerjakan tugas yang sarat plagiarisme.
Menanggapi hal ini, Universitas Pelita Harapan tidak pernah berhenti untuk memberikan edukasi mengenai AI dan perannya dalam dunia belajar dan mengajar. Bersama Turnitin, software pendeteksi tulisan hasil AI, UPH menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Elevating Learning and Teaching: The Synergy of AI and Assessment .
Dr. Rijanto Purbojo, Director of Center for Teaching and Learning (CTL) UPH memberikan sambutannya. Ia menjelaskan bahwa acara kali ini sebagai wujud kerja sama antara UPH dengan Turnitin selama hampir lima (5) tahun dalam melakukan similarity check di level institusi.
“Di tengah kemajuan teknologi AI, banyak dari kita kagum akan pengaruh yang diberikan. Teknologi yang terus berkembang perlu kita manfaatkan sekaligus antisipasi dampaknya, misalnya plagiarisme. Untuk itu melalui kerja sama dengan Turnitin, kami mengimplementasikan similarity check di Learning Management System (LMS) agar mahasiswa dan dosen dapat mengakses dan menggunakannya kapan saja. Similarity check bertujuan untuk mencegah plagiarisme dan mengedukasi mahasiswa untuk tetap mengutamakan integritas dalam penulisan karya ilmiah seperti tugas, tesis, maupun makalah,” jelas Rijanto dikutip dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/10/2024)
James Thorley selaku Regional Vice President - APAC, Turnitin turut menyampaikan sambutannya. Turnitin memercayai bahwa AI akan membuat dunia lebih baik, khususnya pendidikan. “Gunakanlah AI sebagai alat bantu ketika kamu sudah memiliki pengetahuan terlebih dahulu. Kamu tidak akan digantikan oleh AI, tetapi orang lain yang mampu menguasai teknologi AI akan menggantikanmu,” pesannya.
Membuka paparannya, Astha sebagai pembicara mengatakan bahwa belajar tidak akan ada habisnya. Ia menjelaskan bahwa proses belajar seharusnya adalah proses fleksibel, mudah diakses, dan terjangkau. Hal ini sangat penting mengingat Indonesia sedang menuju golden age dan membutuhkan masyarakan dengan level pendidikan tinggi.
Pandemi Covid-19 lalu adalah momen yang mengharuskan masyarakat untuk fleksibel dan mengganti pola belajar dan mengajar dengan mengandalkan teknologi di rumah masing-masing. Terlebih dengan kemajuan teknologi AI saat ini bukanlah hal yang harus ditakutkan. Mari ubah perspektif kita. Mungkin bukan AI yang membawa dampak buruk, tapi cara kita memanfaatkan AI yang keliru. Kita harus paham ke depannya ada perkembangan pekerjaan dan skill baru, maraknya rek rekrutment pekerja lepas atau kontrak untuk kebutuhan ekonomi gig (kontrak jangka pendek), bergantinya sistem manual ke sistem otomatis (AI) sehingga pekerja dituntut untuk mau terus mengembangkan, memantapkan, dan meningkatkan skill untuk karir mereka. "Untuk itu ke depannya dibutuhkan kemampuan utama seperti critical thinking, strategic team planning, kreativitas, empati, dan juga basic digital skills. Kemampuan ini tentunya tidak dapat digantikan oleh AI. Meski begitu, AI dan big data memiliki peran besar dalam pembelajaran,” ucap Astha.
Lebih lanjut, David dan Carrie juga menyampaikan betapa pentingnya orisinalitas dalam membuat suatu karya tulisan. Apalagi dengan ChatGPT yang sangat mudah digunakan oleh pelajar dan berpotensi menghasilkan plagiat karya.
David menjelaskan bahwa tantangan bagi pengajar di era digital adalah untuk jeli dalam memeriksa tugas siswanya. Agar mengetahui tugas yang murni dikerjakan siswa, Turnitin memiliki beberapa fitur yang bisa digunakan untuk memeriksa keaslian tugas siswa yaitu AI Writing Detection, Similarity Detection, dan Integrity Flags yang bisa digunakan untuk menemukan manipulasi teks.
Menambahkan David, Carrie juga menjelaskan bahwa perkembangan teknologi yang terlampau cepat seringkali membuat manusia harus mau dan mampu beradaptasi dengan cepat juga. “Kehidupan tidak lagi sama saat ChatGPT diluncurkan, sehingga Turnitin harus mengubah prioritas untuk fokus ke pengembangan deteksi AI writing. Integritas menjadi semakin rumit dan kompleks di era AI,” ucap Carrie.(*)