Bisnis Pusat Data Berkembang, Bagaimana Proyeksi APJII?
Pusat data atau data center berperan dalam percepatan digitalisasi di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengamati, pasar pusat data di Asia Tenggara diproyeksikan bertumbuh mencapai 2.733 megawatt di tahun 2028. Sementara di Indonesia, pasar pusat data tumbuh mencapai US$3,7 miliar (Rp57,7 triliun, kurs US$1 = Rp15.615), dengan investasi mencapai US$634 juta (Rp9,8 triliun) pada 2024.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memperkirakan, pertumbuhan industri yang pesat dan adanya regulasi perlindungan data akan memperbesar peluang bisnis pusat data tersebut. Ketua Umum APJII, Muhammad Arif mengatakan, Indonesia mampu melahirkan pusat data yang dapat menampung data-data dari seluruh perusahaan di Indonesia.
“Indonesia punya kelebihan listrik yang luar biasa di Jawa, bahkan di Batam juga. Bahkan di Jawa sendiri masih oke. [Sebab] sekarang sudah ada pembangunan waduk [Cirata dan Jatiluhur]. Tinggal bagaimana aturannya, regulasinya ramah dengan iklim investasi,” jelas Arif di gedung pusat data BDCC JST1, Jatinegara, Jakarta pada Rabu (9/10/2024).
Selain regulasi yang ramah investasi dan bisnis, Arif dan pihak terkait juga melobi pemerintah agar pemerintah mau berinvestasi perusahaan pusat data di Indonesia, termasuk insentif yang dapat mendorong investasi masuk ke industri pusat data.
“Paling penting itu kepastian hukum,” sambung Arif.
Arif juga mempermasalahkan pajak yang terbilang tinggi untuk berbisnis di Indonesia dan tarif listrik yang lebih ramah untuk bisnis pusat data.
Komisaris Utama Bersama Digital Data Center (BDDC), Setyanto Hantoro, juga mengamini pernyataan Arif. Menurut Setyanto, kepastian hukum, tarif listrik hingga pajak yang mendukung ekosistem bisnis pusat data akan memperpanjang umur bisnis itu sendiri.
“Karena ini investasi jangka panjang, 1 megawatt kurang lebih antara US$10 juta (Rp156,1 miliar) sampai US$11 juta (Rp171,7 miliar). Indonesia saat ini, hitungan kasar saya, butuh sekitar 600-700 megawatt. Maka, investasi besar butuh kepastian hukum,” tegas Setyanto.
Kemudian, BDDC berencana untuk menyiapkan pusat data berbasis kecerdasan buatan (AI). Meskipun begitu, investasi pusat data berbasis AI itu membutuhkan desain pusat data yang berbeda dengan biaya investasi yang besar.
“Kami sedang menyiapkannya. Investasi dan desainnya berbeda, lebih mahal. Proyeksi sudah disiapkan,” pungkas Setyanto.
Saat ini, BDDC yang merupakan portofolio Saratoga telah meresmikan operasional pusat data BDDC JST1 (Jakarta Selatan Timur) di Jatinegara, Jakarta Timur, DKI Jakarta pada Rabu (9/10/2024). Pusat data itu berkapasitas 5 megawatt, yang juga menjadi Indonesia Internet Exchange (IIX) Kedua di Jakarta (IIX-JK2). IIX merupakan sebuah jaringan interkoneksi nasional yang dikelola oleh APJII. Pusat data BDDC JST1 merupakan upaya swasta untuk mendukung pemerintah dalam layanan onshore data center demi kedaulatan digital nasional. (*)