Svida Alisjahbana, Sang Penggiat Ekonomi Kreatif Menyuarakan Hal Ini Untuk Menterinya Prabowo Subianto

Chairman Jakarta Fesyen Week, Svida Alisjahbana di Jakarta, Senin (21/10/2024). (Foto : Syifa Nur Layla/SWA).

Presiden Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri di Kabinet Merah Putih periode 2024-2029 di Istana Negara, Jakarta Pusat pada awal pekan ini. Sejumlah kementerian era Prabowo kini jumlahnya beranak pinak, salah satunya adalah Kementerian Kebudayaan yang dinahkodai oleh Fadli Zon dan Kementerian Ekonomi Kreatif dengan Teuku Rifki Harsya.

Sebagai Chairman Jakarta Fesyen Week, Svida Alisjahbana, berpendapat industri fesyen adalah satu kesatuan antara budaya dan ekonomi kreatif. Budaya adalah hulu dari fesyen lantaran nenek moyang Indonesia sudah banyak melahirkan dan mewariskan budaya yang otentik seperti kain tenun. Sementara fesyen menjadi perjalanan akhir budaya atau hilir sehingga menciptakan ekonomi kreatif.

Svida memiliki harapan besar terhadap keberlangsungan denyut industri fesyen Tanah Air di tangan kedua kementerian tersebut. "Kementerian Kebudayaan harus mengamankan budaya Indonesia sehingga tak diakui dan direnggut semena-mena oleh negara lain. Perlu sekali mengidentifikasi kebudayaan di seluruh penjuru Indonesia. Semoga itu terwujud," ucapnya saat dijumpai swa.co.id di Jakarta, Senin (21/10/2024).

CEO GCM Group tersebut mencontohkan aset budaya dan kreatif di Kebudayaan Melayu, seperti di Palembang dan Padang yang mempunyai kain tenun Pandai Sikek yang sangat cantik. Bahkan kain itu mendapat julukan Ratu Kain Songket dengan benang emas dan peraknya. "Unesco sudah mengatakan Indonesia adalah the biggest pluralist culture in the world. Betapa kita memang sudah telat menyadari ini, tetapi semoga Kementerian Kebudayaan punya gebrakan besar tentang ini," tutur Svida dengan nada berapi-api.

Berangkat dari perkataan UNESCO, Svida ingin pluralisme kebudayaan Indonesia bisa dibuktikan dengan rekor muri indikasi geografis budaya terbesar di dunia. Selain mempertahankan budaya, untuk bisa menguatkan ekonomi kreatif maka membutuhkan dorongan promosi yang masif.

Svida bercerita kala dirinya berangkat bersama 8 desainer lokal ke Fashion PR Firms di New York, Amerika Serikat, banyak kejadian diluar prediksi. Mulai dari ledakan pengunjung hingga banjir transaksi langsung terjadi. "Hal pertama, kami selalu melihat kemampuan desainer. Setelahnya melihat apakah dia sudah kuat memproduksi secara koleksi dan manufakturnya, kemudian akses modal. Kalau tidak punya semua, tidak bisa. Jadi, ketika buat negeri, butuh apa? promosi," pungkasnya. (*)

# Tag