Property

Mengapa Gen Z Sulit Memiliki Rumah Pertama?

Yuswohady, Managing Partner Inventure dan Aviliani Avi, pakar ekonomi dalam press conference Indonesia Industry Outlook 2025 dengan tema "Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?" secara daring, Selasa (22/10/2024).

Gen-Z semakin enggan membeli properti karena harganya yang kian melampaui batas kemampuan mereka. Meskipun tersedia opsi Kredit Pemilikan Rumah (KPR), prosesnya dianggap panjang dan melelahkan. Pendapatan Gen-Z tidak sebanding dengan kenaikan harga rumah, dan gaya hidup mereka yang nomaden—dengan banyak di antara mereka bekerja di sektor informal atau sering berpindah tempat kerja—semakin memperumit situasi.

Selain itu, sebagian besar Gen-Z tidak memiliki pendapatan tetap yang cukup untuk membayar cicilan rumah. Faktanya, dua dari tiga Gen-Z yakin mereka tidak akan mampu membeli rumah pertama dalam tiga tahun ke depan.

Itulah hasil temuan riset yang digelar Inventure. “Kenaikan harga properti yang tidak sebanding dengan pendapatan, biaya hidup yang terus meningkat, serta gaya hidup FOMO, FOPO, dan YOLO yang diikuti Gen-Z agar tetap relevan menjadi faktor utama yang menghambat mereka dalam membeli rumah. Gen-Z lebih memprioritaskan pengalaman seperti menonton konser, liburan, atau membeli gadget terbaru dibanding menabung untuk membeli rumah," ujar Yuswohady, Managing Partner Inventure, dalam acara press conference Indonesia Industry Outlook 2025 bertema "Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?" yang digelar secara daring pada Selasa (22/10/2024).

"Alasan utama yang mendominasi adalah harga rumah yang semakin tinggi (80%), diikuti pendapatan yang terlalu kecil (45%), dan pekerjaan yang tidak tetap (34%),” dia menambahkan.

Temuan Inventure

Kondisi perekenomian yang tidak stabil, harga rumah yang kian melejit namun pendapatan stagnan, bahkan membuat Gen Z semakin pesimis memiliki rumah. Jika Gen Z ingin membeli rumah pertama, skema paling realistis bagi Gen Z adalah cicilan dengan tenor yang cukup lama, yakni di atas 20 tahun. Hal ini tercermin dari riset Inventure 2024, bahwa prefrensi tenor cicilan rumah dengan durasi 15-20 tahun di angka 54% dan 20-30 tahun di angka 36%. Hal ini berbanding terbalik dengan durasi di bawah 15 tahun yang memiliki angka yang relatif rendah yaitu 10%.

Dalam kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian dan fakta bahwa harga rumah yang kian mahal, namun di sisi lain pendapatan Gen Z sebagai first jobber atau bagian dalam generasi sandwich membuat mereka berpikir keras untuk memiliki rumah. Apabila Gen Z berniat membeli rumah pertama, maka skema paling realistis bagi Gen Z adalah sewa dengan opsi rent-to-own. Ditunjukkan dalam survei skema kepemilikan rumah yang paling realistis dengan Gen Z di tengah himpitan ekonomi adalah rent-to-own di angka 38%, disusul sewa/kontrak di angka 34%. Sementara yang memilih KPR adalah paling rendah di angka 14%.

Menurut pakar ekonom, Aviliani Avi, agar Gen Z bisa memiliki rumah sendiri harus memiliki pekerjaan di sektor formal bukan di sektor informal seperti bekerja sebagai pekerja tenaga lepas. Tak hanya itu, Gen Z cenderung menerima semua informasi tanpa memfilternya, sehingga timbul anggapan dan pemikiran secara masif bahwa akan cara pandang bahkan kebiasaan hidup yang berbeda. Untuk menanggulangi stigma itu, perlu ada edukasi mengenai pentingnya memiliki papan atau rumah.

"Gen Z itu pandai melihat dari DP yang ditawarkan dan cicilan yang akan dibayarkan pada jangka waktu berapa lama. Gen Z mempunyai kemampuan membeli rumah jika sudah memiliki pekerjaan tetap di sektor formal. Apabila mereka menjadi orang yang memiliki penghasilan tidak tetap, maka perlu diatur skema pembayarannya agar memudahkan mereka pada saat melunasi cicilan," ujarnya. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved