Beralih Haluan, Istri Nelayan Beralih Menjadi Pengusaha UMKM
Nasib para buruh perempuan pengupas rajungan ada dua hal yang tidak tentu. Jam kerja dan penghasilan harian. Jika sedang musim, dan rajungan hasil tangkapan nelayan, yang juga suami-suami mereka, sedang melimpah, ibu-ibu ini bisa mengantongi Rp300 ribu dalam sehari. Namun, lebih sering mereka hanya mendapat Rp100 ribu setelah seharian bekerja selama 14 sampai 16 jam. "Sebelumnya, belasan jam kami mengupas rajungan yang baru keluar dari boks pendingin hasil tangkapan suami-suami kami. Kadang tangan sampai kapalan. Pinggang sakit karena duduk berjam-jam. Masuk angin sudah biasa," kenang Iin Inani, ibu beranak tiga yang sebelumnya seorang buruh harian di sebuah sentra rumahan pengupasan rajungan.
Iin, pada keterangan tertulisnya itu, mengisahkan profesinya dan istri-istri nelayan di Dusun Pasir Putih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang. Profesi nelayan ibarat mempertaruhan nasib kepada alam. Hasil rajungan tangkapan kapal kecil berawak 3-5 nelayan hanya sekitar 5-10 kilogram saja. Sementara untuk sekali melaut, kapal besar harus punya modal Rp25 juta sampai Rp30 juta, untuk belanja makan, minum, alat tangkap, dan solar.
Tidak ada yang menjamin modal itu berbuah untung. Meskipun bisa membawa pulang 1,5 – 2 ton rajungan, kadang hasil ini tidak seberapa, setelah dikurangi modal dan dibagi rata dengan 10 nelayan awak kapal. Itu mengapa di kampung-kampung nelayan menjamur bisnis bank emok (pinjaman keliling dengan bunga tinggi yang dioperasikan atas dasar kepercayaan antarindividu).
Dengan pendapatan yang pas-pasan, istri-istri nelayan rela kerja serabutan demi menopang ekonomi keluarga, termasuk menjadi buruh harian atau meramu hasil laut tangkapan suami menjadi makanan yang dijajakan dari keliling kampung.
Selain menjadi buruh pengupas rajungan, Iin menjual pempek rajungan dan bakso ikan remang. Dari pagi sampai malam, ia berjalan kaki keluar-masuk kampung. Sayang, penghasilannya belum cukup. Sampai kemudian hadir program Jam Pasir, yang diinisiasi Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), singkatan dari Jaga Alam Melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Jam Pasir).
Selain fokus pada rehabilitasi lingkungan melalui pencegahan abrasi, restorasi mangrove dan pengelolaan kawasan eduwisata, program Jam Pasir juga memiliki tujuan memberdayakan para istri nelayan dan membangun UMKM.
Kegiatan yang dimulai sejak 2018 itu memberikan pelatihan para emak-emak mengenai keterampilan yang langsung dimentori pengusaha muda. "Dibantu PHE ONWJ, kami belajar meningkatkan kualitas dagangan kami. Bagaimana membuat cita rasanya lebih enak dan kemasan lebih menarik. Kami juga diajari cara menentukan harga jual produk setelah dikurangi biaya produksi," jelas Iin, yang juga adalah Ketua Kelompok UMKM Pasir Putih Desa Sukajaya.
Produk hasil kreasi yang mereka jual beraneka ragam. Ada kerupuk ikan teri, sate bandeng, ikan bakar, kerupuk rajungan, terasi ikan, sambal cumi, siwang, amplang, pempek rajungan, bakso ikan remang, dendeng ikan japuh, dodol mangrove, basreng rajungan, kerupuk ikan remang, jus mangrove, udang krispi, dan bola-bola susu.
Saat ini, 25 kelompok UMKM telah terbentuk. Hasilnya, para pelaku usaha ini mendapat tambahan pendapatan sekitar Rp 135 juta per tahun. General Manager PHE ONWJ, Muzwir Wiratama, menegaskan program Jam Pasir adalah bentuk komitmen Perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, terutama para nelayan, yang adalah tetangga wilayah kerja Perusahaan. Dengan memberdayakan UMKM, perusahaan tidak hanya membantu mereka meningkatkan pendapatan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru. "Melalui program Jam Pasir, kami ingin memberdayakan perempuan untuk lebih mandiri dan memiliki penghasilan sendiri. Kami berharap program ini dapat menginspirasi lebih banyak perempuan untuk berani berwirausaha," kata Wira.
Kini, Iin tidak perlu lagi bangun pagi buta untuk berangkat sebagai buruh pengupas rajungan. Ia mengoperasikan usaha kecilnya dari rumah. Sesekali keluar untuk membeli bahan baku, atau mengirim produknya ke pelanggan dan beberapa pusat jajanan.
Setahun belakangan, suami tercintanya berhenti melaut. Ia didiagnosa pembengkakan jantung. Dokter meminta suaminya mengurangi aktivitas fisik. Tidak boleh terlalu capek. Praktis, kini Iin berperan ganda sebagai ibu dan tulang punggung keluarga.
“Dari program bersama PHE ONWJ, saya belajar bahwa perubahan bisa dimulai dari diri sendiri, sekecil apa pun langkahnya. Yang penting, kita tidak menyerah. Saya sangat berterima kasih kepada PHE ONWJ yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk berkembang. Semoga ke depan, usaha kecil kami semakin maju dan bisa memberikan kontribusi yang lebih besar bagi keluarga dan masyarakat,” ujar Iin.(*)