Berkenalan dengan Ratu Bisnis Daging dari Cibubur
Memulai usaha jualan daging dari garasi rumahnya dengan niat bantu orang tua, kini grup bisnis yang dibangun wanita ini mencapai omzet bulanan lebih dari Rp 500 milliar. Simak liku-liku bisnisnya!
Membangun Dari Nol
Sosoknya belum terlalu populer, walaupun di sektor makanan, ia adalah salah satu pebisnis wanita sukses di Indonesia dan membangun grup bisnisnya sendiri dari nol. Diana Dewi, demikian namanya, baru terkenal belakangan ini karena 13 toko dagingnya yang tersebar di Jabodetabek -Toko Daging Nusantara- laris-manis dan viral di berbagai kanal media sosial. Padahal, sebelum mengembangkan jaringan toko ritel daging itu, bisnisnya sudah berkembang.
Tak salah, melalui perusahaan yang ia bangun, PT Suri Nusantara, bisnis Diana berjaya sebagai pemasok dan importir daging, serta punya puluhan pelanggan B2B. Omzet bisnis di grup usaha yang ia bangun (terdiri dari beberapa PT) kini sudah mencapai ratusan miliar per bulan.
Omzet tersebut diperoleh dari bisnis trading daging, ritel, kuliner, impor bahan pangan, pabrik pengolahan, hingga properti dan logistik, di bawah naungan Suri Nusantara Group.
Kisah bisnis Diana bak sebuah penggalan drama. Ia benar-benar memulainya dari nol. Sebelum tahun 1998, ia hanyalah seorang karyawan biasa, bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ia meyakini bahwa kesuksesannya saat ini tak bisa lepas dari doanya di depan Ka'bah ketika berhaji pada 1995.
Tahun 1995 itu, Diana menemani kedua orang tuanya untuk berhaji. Telah lama ia ingin menghajikan orang tuanya, dan saat itu keduanya masih sehat. Sebenarnya, ia sendiri saat itu baru berumur 30 tahun dan belum berkeinginan pergi haji. Namun, ustad di travel biro haji menyarankan agar sebaiknya ia mendampingi kedua orang tuanya berhaji. Jadilah Diana berhaji, dan untuk itu ia mengambil cuti tanpa gaji dari perusahaan tempatnya bekerja, sekitar dua bulan.
Waktu itu Diana bekerja di sebuah perusahaan swasta, masih single parent dan memiliki anak satu. “Saya butuh biaya, termasuk untuk mengurusi Ayah dan Ibu, jadi terasa berat banget. Bahkan, sepulang dari Tanah Suci, untuk makan dua bulan, tidak punya uang. Karena memang tidak punya simpanan sama sekali ketika pergi haji,” Diana mengenang.
Terlebih, saat itu ibunya terkena sakit diabetes yang mengharuskannya berobat dua minggu sekali dengan biaya yang tidak sedikit. “Saya bekerja untuk mengurusi orang tua saya,” ungkapnya.
Pada Febuari 1998, ibunya wafat. Ia pun kemudian berpikir untuk bekerja mandiri, agar bisa merawat ayahnya. Diana lalu memberanikan diri untuk mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dengan jabatan sebagai manajer (April 1998) dengan gaji sekitar Rp 1,7 juta waktu itu.
“Saya berpikir bahwa saya pasti bisa kerja, tidak harus muluk-muluk. Gaji saya saat itu Rp 1,7 juta, kalau dibagi 20 hari, berarti dapat Rp 85.000 per hari. Apa iya saya tak tidak bisa cari uang Rp 85.000 per hari? Dengan jualan sesuatu produk atau bahkan sopir taksi? Itu keyakinan saya pada waktu itu,” katanya.
Sebenarnya, Diana melihat dirinya kurang cocok untuk pekerjaan marketing, “Saya cenderung pendiam, lebih kuat di analisis data,” ungkapnya.
Memanfaatkan Momentum
Setelah resign dari perusahaan swasta itu, ia sempat diwawancarai sejumlah perusahaan besar, khususnya perusahaan yang menjual produk makanan, dan dia diminta bergabung dengan mereka. Namun, dari banyak wawancara itu, tak satu pun yang cocok. Blessing in disguise, di sana ia merasakan manfaat silaturahmi.
Pada saat diskusi dan wawancara, ia selalu menekankan bahwa untuk menjadi karyawan ia akan berpikir dulu karena memang belum berkeinginan untuk kembali bekerja menjadi karyawan. Yang menarik, dari wawancara itu baru terbuka matanya, bahwa ternyata banyak produk daging dan olahannya yang bisa dijual. Produknya ada dan tersedia.
Dari sana, ia mengatakan ke perusahaan-perusahaan yang mewawancarainya “Bisakah kalau saya membantu jualin produknya saja? Tapi, pembayarannya diberi tempo 30 hari? Jadi, saya menawarkan diri menjadi agen marketing bagi perusahaan tersebut,” katanya sambil mengenang.
Gayung bersambut. Ternyata, ada perusahaan yang memberinya kesempatan untuk menjadi agen pemasaran dan menjualkan produknya, serta memberi tempo pembayaran 30 hari. Ia pun mulai jualan daging meskipun dengan skala yang masih sangat kecil, memanfaatkan garasi mobil di rumahnya di Cilangkap, Jakarta Timur.
Ya, ia memulai jualan dari sebuah garasi, dan hanya berperan sebagai pemasok biasa. Namun, ternyata konsumen banyak yang menyukai produk yang ia jual. Apalagi, saat itu menjelang Idul Fitri.
“Saya siapkan daging-daging, biasanya saya supply untuk ibu-ibu pengajian. Jadi, ibu-ibu pengajian menjadi marketing freelance dengan sistem konsinyasi,” katanya. Dari pengajian ini mereka kumpulkan teman-teman mengaji, membeli daging 1-2 kg dari Diana. Karena besoknya hari raya, sehingga stok pun habis.
Diana masih teringat, ia memulai bisnis sebelum krisis moneter 1998, tapi tak lama kemudian terjadi krismon. Krismon rupanya membawa berkah tersendiri baginya.
Waktu krismon, banyak konsumen yang datang mencari daging kepadanya karena saat itu memang sedang terjadi kelangkaan daging. Ia mengiyakan permintaan pembelinya, tapi meminta pembayaran di depan.
Di sisi lain, sebenarnya ia sudah diberi kepercayaan oleh pemilik pabrik dan boleh membayar dalam tempo 30 hari. Taktik bisnisnya, setelah mendapat uang muka pembayaran dari pelanggan, ia tidak langsung membayarkannya ke pabrik, agar bisa memegang dana cash.
Saat itu stok sapi sempat kosong. Karena ia memegang cash, ia bisa mengambil inisiatif untuk membeli sapi hidup dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk dibawa dan dipotong di Jakarta. “Kebetulan saya tahu di mana RPH (rumah potong hewan) yang bisa saya gunakan. Jadi, saya beli sapi hidup dari Jawa Tengah, lalu di Jakarta kami potong, dengan modal uang cash tersebut.”
Jurus itu menjadi ampuh karena saat krismon memang sering terjadi kekosongan daging di pasar. Para importir saat itu juga kesulitan dengan nilai dolar yang melambung. Mereka juga bermasalah dengan pemasoknya di luar negeri.
Jadi, momentumnya memang pas. Ia membeli sapi dari Jawa Tengah menggunakan truk, membeli langsung dari peternak minimal 10 ekor sekali beli, biasanya dari peternak Wonogiri dan Salatiga. “Sapi penuh dua truk bisa habis dalam waktu tiga hari,” katanya mengenang.
Saat itu ia sudah mulai banyak melayani perusahaan katering dan pabrik besar yang membutuhkan daging dengan kuantitas besar. Mereka mau melakukan pembayaran di muka hingga Rp 100 juta. Di sisi lain, ia juga tetap menjual daging ke pelanggan ibu-ibu pengajian. Tak hanya daging sapi, ia pun mulai menyediakan produk-produk lain, seperti daging ayam. Dengan modal bisnis seperti itu, pada tahun 2010, perputaran bisnisnya sudah sekitar Rp 24 miliar per bulan.
Ketika ditanya berapa modal awal memulai bisnisnya, Diana menjawab, hanya modal satu frezeer (saat itu harganya Rp 300 ribu), dan uang Rp 1,5 juta untuk modal jualan daging ayam, nugget-nugget dan daging yang dikemas per 1 kg.
Namun, memang perkembangan bisnisnya sangat cepat. Permintaan datang dari supermarket, perusahaan katering, dan pabrik-pabrik. “Bisa dibayangkan kalau satu pabrik karyawannya 10 ribu orang, pesanan mereka dalam ton, dan seminggu bisa dua kali,” kata wanita yang aktif pada kepengurusan KADIN Jakarta ini.
Untuk pengadaan daging, awalnya ia biasa membeli dari para importir dan RPH karena ia belum punya izin impor sendiri saat itu. Ia baru mulai menjadi importir tahun 2011. Ia tertarik menjadi importir agar bisa menekan harga jual menjadi lebih rendah. Ketika ia belum bisa mengimpor sendiri, sangat banyak kendala.
Umumnya, para importir tak suka bila Diana akan “naik kelas” dari pedagang daging biasa. Ia misalnya pernah tak boleh utang ambil daging, dan pernah tidak diberi pasokan daging sehingga tak ada dagangan. Itu terjadi tahun 2010, padahal perputaran bisnisnya sudah sekitar Rp 24 miliar per bulan.
Saat itu para importir memang biasa melakukan monopoli di luar negeri; daging yang boleh masuk ke Indonesia mesti melalui jalur mereka. “Awalnya, saya nggak tahu, dengan polosnya ingin jadi importir. Ditahan semua,” katanya.
Ia lalu mengurus izin impor sendiri, dan meminta kuota. Itu pun prosesnya sangat sulit. “Pertama kali saya dapat kuota hanya 40 ton per tahun. Padahal, kebutuhan saya per hari saja 10 ton saat itu. Tapi itu bagian dari perjalanan.”
Untuk menutup kekurangannya, ia pun membeli dari importir-importir yang ada, dan mau tak mau, harus dengan harga beli yang sudah tinggi. Namun, ia kemudian mulai bisa impor secara bertahap sejak tahun 2011, setelah mendapatkan izinnya.
Mendirikan Toko
Bisnisnya terus bergulir. Pada tahun 2011 pula, Diana mulai mendirikan toko kecil di Kranggan, Bekasi, yang merupakan cikal bakal Toko Daging Nusantara. Tokonya kecil dengan bangunan bertingkat, khusus menjual daging.
Ia saat itu memang ingin punya toko yang khusus menjual daging yang halal, berkualitas baik, dan harganya rasional. Toko ini harus selalu buka untuk memudahkan para ibu berbelanja. “H-1 Lebaran kami masih buka. Karyawan libur hari H dan H+1 Lebaran,” ujarnya.
Kehadiran toko itu ternyata makin memperkuat bisnis daging yang sudah dibangun Diana dari sisi branding -walaupun sebelum memiliki toko itu, dalam satu hari ia sudah bisa menjual sekitar 10 ton (beragam daging). Bila harganya saat itu rata-rata Rp 80 ribu per kg, berarti per hari omzetnya mencapai Rp 800 juta atau sekitar Rp 24 miliar per putaran bulan.
Bisnis toko ritel inilah yang membuat kiprah bisnis Diana kini makin dikenal. Terlebih kini ia sudah memiliki 13 Toko Daging Nusantara yang per outlet-nya luas dan selalu ramai oleh pembeli. Branding bisnisnya makin kuat.
“Untuk membangun sebuah toko, kami memang cari tanah strategis. Paling tidak, saat ini investasi satu toko membutuhkan dana Rp 70 miliar, seperti toko di Kramat, Supomo, Kemang, dan Kosambi,” katanya.
Toko-toko dagingnya belakangan ini memang menjadi viral di Jabodetabek. Maklum, ukuran tokonya memang besar dan daging yang dijual sangat lengkap. Biasanya per toko butuh lahan 2.000 m2 -karena juga ada kebutuhan space untuk lokasi cold storage.
Toko-toko itu umumnya memang berlokasi di tanah milik sendiri alias ia membeli tanah tersebut sebelum mendirikan toko daging. “Saya tidak mau sewa tanah karena kalau nanti sudah ramai, harga sewanya pasti naik terus,” Diana menjelaskan taktik bisnisnya.
Saat ini ia telah punya 13 toko, dan sampai akhir 2024 ini ditargetkan akan menambah dua toko lagi (di Bogor dan Purwokerto) sehingga ada 15 toko. Tahun depan, rencananya akan menambah tujuh toko lagi di Semarang, Kalimantan Timur, Yogyakarta, Sawangan, Makassar, dan Cirebon.
Investasi pembangunan per toko sekitar Rp 70 miliar -sudah termasuk biaya beli tanah. Kalau tanahnya sudah ada, biaya investasi untuk pembangunan toko hanya sekitar Rp 50 miliar.
“Paling tidak, di tahun 2025 butuh Rp 350 miliar, karena tanahnya sudah dibeli semua, tinggal membangun saja,” katanya. Untuk pendanaan investasi, ia mengandalkan dana bantuan dari bank (Bank Madiri dan Bank BCA).
Menurut Diana, secara konsep di setiap lokasi toko memiliki tiga entitas bisnis, yaitu toko daging, restoran, dan grosir (dalam satu lingkungan). Grosir ini bisa untuk para pedagang yang ingin beli. “Dalam tiga entitas itu, kami bisa mendapatkan, ya kurang-lebih Rp 1 miliar per bulan/toko,” katanya. Perkiraan kebutuhan daging per toko per hari 5 ton.
Biasanya, dari sisi kontribusi penjualan, dari usaha toko daging kontribusinya sekitar 30%, usaha restoran 10%, dan yang terbesar dari grosir sekitar 60%. Saat ini pihaknya juga sudah punya fasilitas potong sapi (RPH) yang sudah menjadi unit bisnis tersendiri. Begitu juga cold storage, bisa disewakan, dan telah menjadi unit bisnis sendiri.
Terkait promosi, diakuinya, awalnya lebih banyak menggunakan jaringan ibu-ibu pengajian sebagai member dan terus mencari konsumen. Namun sekarang, strategi marketing-nya sudah berbeda, makin bayak menggunakan kanal media sosial. “Kami harus inovasi. Zaman sekarang itu adalah media sosial dan digitalisasi. Kami lakukan itu,” katanya.
Kini pelanggan bisnisnya terdiri dari segmen B2B dan B2C. Untuk toko, memang jalur untuk ritel dan pelanggannya kalangan ibu rumah tangga, termasuk ibu rumah tangga yang punya usaha katering.
Kontribusi terbesar memang dari B2B, bisa mencapai 90% dari bisnisnya. “B2C hanya 10%, itu untuk branding saja, Toko Daging Nusantara, sehingga orang semakin kenal,” ungkapnya.
Selama ini pelanggan B2B-nya adalah pabrik olahan, seperti pabrik bakso, sosis, burger, dan kebab ‒perusahaan-perusahaan yang butuh daging. Selain itu, juga ada hotel, restoran, dan katering. “Persaingan menggarap B2B juga sangat ketat, terutama sesama importir,” katanya.
Untuk bisnis ritel daging, pihaknya sudah mengembangkan loyalty program dengan pola membership. Jumlah member kini mencapai 100 ribu orang di 13 toko itu, dan tahun depan ditargetkan memiliki 200 ribu member. Keuntungan sebagai member, selain mendapat poin, akan diberi informasi bila ada event-event khusus ataupun diskon. Pihaknya juga bekerjasama dengan beberapa bank, antara lain Bank DKI, BRI, BNI, Mandiri, BCA, untuk memudahkan konsumen melakukan pembelian.
Bisnis Cold Storage
Selain toko daging, diam-diam Diana juga sudah memiliki bisnis penyewaan cold storage (di Cikarang) dengan kapasitas 40 ribu ton. Yang disewakan hanya 10%, sisanya digunakan sendiri. Harga sewa Rp 9/kg/hari. Rencananya, akan menambah satu unit cold storage baru di Muara Baru, Jakarta Utara.
Sudah ada pula bisnis rumah potong hewan di Subang dan yang sekaligus juga peternakannya. Di sana sudah ada 3.000 ekor sapi. Untuk peternakan ayam saat ini belum ada, baru sebatas trading.
Tak hanya itu, pihaknya kini juga sudah mulai masuk ke bisnis processing atau pengolahan daging dengan pabrik di Cikarang Delta II, dengan bendera PT Garindo Food International. Produknya mulai dari bakso, sosis, patty, hingga nugget.
Diana mengakui, bisnis tokonya memang populer dan ngetop, tapi secara revenue, bisnis utamanya adalah sebagai supplier dan importir daging yang dipasok secara B2B. Wajar, omzet bulanan bisnisnya itu menembus angka di atas Rp 500 miliar dan mempekerjakan ratusan karyawan. (*)