Economic Issues

Memperkuat Rantai Pasok Energi Terbarukan di Indonesia

Pengembangan manufaktur energi terbarukan di Indonesia akan menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang baik. (Foto: Eva/Swa)

Pemanfaatan energi terbarukan yang masif akan berdampak padap engembangan industri manufaktur energi terbarukan, termasuk mendukung ekosistem hidrogen hijau yang lebih efisien dan berbiaya rendah. Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk mencapai kemandirian energi seperti yang diusung dalam Asta Cita Prabowo-Gibran, dengan meningkatkan bauran energi terbarukan dan memperkuat rantai pasoknya.

Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Muhamad Alhaqurahman Isa menyampaikan pada Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 dalam sesi “Workshop Accelerating Green Hydrogen Economy” (6/11/2024) bahwa pemerintah tengah menyusun peta jalan hidrogen yang direncanakan akan terbit pada awal 2025.

“Peta jalan ini disusun dengan pendekatan berbasis permintaan (demand driven). Proyeksi kebutuhan hidrogen pada 2060 mencapai 9,2 juta ton untuk kebutuhan domestik, sementara proyeksi produksi bisa mencapai 17 juta ton dengan ekspektasi sebagian produksi untuk pemenuhan kebutuhan ekspor. Tahap inisiasi antara 2025 hingga 2034 akan difokuskan pada persiapan, seperti peta jalan, studi kelayakan, FGD, dan perancangan insentif,” ujar Alhaqurahman.

Menyoal tentang pengembangan rantai pasok manufaktur energi terbarukan, menurut IESR, Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar. Potensi energi terbarukan Indonesia yang melimpah, mencapai 3.687 GW, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan energi domestik. Namun, untuk memanfaatkan potensi tersebut, diperlukan pengembangan rantai pasok manufaktur energi terbarukan agar energi terbarukan dapat diakses dengan biaya kompetitif dan terjangkau serta menjamin ketahanan energi secara berkelanjutan.

Selain itu, energi terbarukan dibutuhkan sebagai upaya penurunan emisi dalam menghasilkan energi bersih dan produksi hidrogen hijau. Khususnya teknologi energi terbarukan PLTS dan PLTB, terdapat minat pasar yang tinggi yang bisa dikembangkan di Indonesia, diperkuat dengan ketersediaan mineral kritis di Indonesia yang memadai.

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan IESR, mengungkapkan sebagai langkah awal, pemerintah dapat memanfaatkan potensi mineral kritis Indonesia sebagai bagian program “Hilirisasi” Melalui program tersebut, pemerintah dapat mengembangkan industri manufaktur PLTS, turbin angin dan baterai sebagai media penyimpanan energi listrik yang sangat bergantung dengan ketersediaan mineral kritis. Hal ini penting untuk dapat memenuhi kebutuhan PLTS dan PLTB domestik dan menjadikan pasar domestik sebagai pasar utama dan prioritas.

Pada peta jalan net zero emission (NZE) sektor energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Indonesia memproyeksikan kapasitas PLTS sebesar 115 GW pada 2060 yang diperkirakan membutuhkan estimasi investasi sekitar US$ 110,6 miliar. Indonesia berpeluang untuk memastikan investasi tersebut dipenuhi dari industri dan jasa domestik terutama untuk komponen modul surya, sistem dan komponen penyeimbangan pembangkit listrik (balance of system), biaya pengembangan (development cost), dan tenaga kerja yang terpusat di pasar domestik sehingga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi domestik.

Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah Indonesia yang berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mencapai delapan persen. Dengan kesiapan industri dan jasa yang baik, Indonesia berpotensi memanfaatkan sekitar 90 persen nilai investasi tersebut untuk pertumbuhan pasar PLTS domestik. Perhitungan ini hanya dari kapasitas dari pembangkit tenaga listrik yang diproyeksikan, belum termasuk kebutuhan untuk produksi hidrogen yang artinya bisa terus meningkat.

Rantai pasok untuk PLTS di Indonesia sudah berkembang, dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya seperti PLTB dan baterai. Program hilirisasi barang tambang, khususnya yang sudah diklasifikasikan sebagai mineral kritis juga berpotensi mempercepat pengembangan industri manufaktur energi terbarukan, terutama untuk baterai, modul surya, dan turbin angin.

"Kondisi ini dapat mendorong akselerasi adopsi energi terbarukan dan keamanan rantai pasok dalam menjamin adopsi itu terjadi sebagai bagian dari ketahanan energi nasional dan kemandirian rantai pasok teknologi energi terbarukan,” jelas Farid dalam sesi “Establishing Domestic Advantage in Renewable Energy Supply Chain,” di IETD 2024.

IESR menekankan pentingnya pembentukan ekosistem energi terbarukan mulai dari kerangka kebijakan dan regulasi yang mendukung pasar energi terbarukan di Indonesia. Keberadaan kebijakan ini akan memberikan rasa aman dalam berinvestasi. Sementara, peta jalan dapat memberikan arah kebijakan nasional yang jelas dan membentuk permintaan pasar domestik terhadap adopsi energi terbarukan.

Untuk itu, langkah penting yang diperlukan antara lain menyusun peta jalan untuk peningkatan pemanfaatan energi terbarukan serta industri manufaktur terkait sebagai bagian dari program hilirisasi. Pemerintah juga perlu menciptakan mekanisme yang jelas dan mudah diakses untuk pembiayaan, insentif, dan subsidi bagi industri energi terbarukan. Pemerintah perlu pula memanfaatkan bahan baku domestic melalui program hilirisasi dan memastikan kendali atas pasar produksi sejalan dengan kebutuhan dan prioritas nasional.

Untuk aspek pendukung, IESR mendorong pemerintah untuk segera menyusun strategi agar energi terbarukan semakin terjangkau, mempromosikan produk industri manufaktur lokal untuk memasuki pasar dengan mekanisme pengadaan khusus, mengurangi atau menghapus subsidi energi fosil, dan memperkuat kontrol atas penerapan Environmental, Social, and Governance (ESG).

Julio Retana, Ketua Tim UK Mentari menekankan bahwa pengembangan manufaktur energi terbarukan di Indonesia akan menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang baik. Julio mencontohkan, keberadaan manufaktur baterai dengan kapasitas produksi 140 GWh diproyeksi dapat berkontribusi pada kenaikan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 8-10 miliar, dan menciptakan penciptaan lapangan kerja sekitar lebih dari 530 ribu. Menurutnya, Indonesia sudah punya modalitas yang baik untuk menjadi pemimpin dalam manufaktur energi terbarukan.

Sesi “Workshop Accelerating Green Hydrogen Economy” didukung oleh Kedutaan Besar Inggris. Acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan berkolaborasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). IETD ketujuh ini berlangsung pada 4-6 November 2024 dengan tema “Mewujudkan Transisi Energi yang Berkeadilan dan Tertata.” IETD 2024 mencakup 11 sesi dengan beragam topik dan format, serta menghadirkan 50 pembicara, panelis, dan moderator nasional maupun internasional. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved