Akselerasi Program Biodiesel, Ini Jurus Pengusaha Sawit dan Pemerintah Dorong Produktivitas Sawit Nasional
Seluruh pemangku kepentingan industri kelapa sawit sepakat mendorong produktivitas kebun swasta dan rakyat untuk meningkatkan produksi crude palm oil (CPO) agar program jangka panjang pemerintah mampu terlaksana. Demikian salah satu poin sesi pertama di 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11/2024).
Berdasarkan data Riset Perkebunan Nusantara (RPN), 13,6 juta hektare (ha) dari total 6,94 juta hektare lahan kelapa sawit milik petani itu diantaranya ditanami oleh pohon-pohon yang berusia di atas 25 tahun. Adapun, tanaman muda dengan usia di bawah 3 tahun mencapai 1,64 juta ha dan tanaman dewasa antara 4 -25 tahun seluas 3,94 juta ha. Hal itu membuat produksi CPO nasional mengalami stagnansi dan cenderung menurun di masa depan.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengatakan salah satu hal penting yang perlu segera direalisasikan adalah peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Dengan begitu, stagnansi produksi kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir bisa diselesaikan.
Menurutnya, seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat menerapkan praktik budidaya yang baik dan berkelanjutan. Peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit, lanjutnya, dapat mendukung program biodiesel pemerintah yang ditargetkan menjadi B50 pada 2026, tanpa menganggu ekspor CPO.
Hal senada disampaikan, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman. Dia mengungkapkan pemerintah juga berupaya mendorong produktivitas kelapa sawit nasional. Hal itu terlihat dari tambahan dana bantuan replanting yang semula Rp30 juta per ha menjadi Rp60 juta/ha. “Bantuan itu kami tingkatkan dengan harapan bisa mendorong para petani ikut serta program replanting. Kalau dulu bantuan Rp30 juta per ha membuat mereka harus mencari pendanaan lain hingga tanaman menghasilkan, maka dengan Rp60 juta per ha ini bisa sampai tanaman menghasilkan,” jelasnya.
Eddy menambahkan bantuan replanting telah menjagkau 156.000 petani atau setara dengan 350 ribuha lahan. Adapun, lahan potensial yang bisa di-replanting mencapai 2 juta ha di Indonesia. Secara jangka panjang, BPDPKS menargetkan program replanting bisa meningkatkan produksi CPO petani mencapai 8 juta ton per tahun guna mendukung program strategis pemerintah. “Pada 2045, program replanting produksi CPO Indonesia berpotensi tembus 83,4 juta ton. Apabila program ini tidak berjalan maka produksi CPO nasional berisiko menurun dalam beberapa tahun ke depan,” jelasnya.
Ketua Perhimpunan Ilmu Pemuliaan dan Perbenihan Sawit Indonesia, Edy Suprianto, menyampaikan peningkatan produktivitas akan menjadi tantangan utama industri kelapa sawit dalam beberapa tahun ke depan. Pasalnya, salah satu upaya paling efektif meningkatkan produktivitas ialah melalui program replanting. “Permintaan CPO akan terus meningkat sedangkan waktu yang kita butuhkan untuk mendorong produktivitas melalui replanting ialah 5 tahun,” ungkapnya.
Edy menambahkan selain selain replanting, peningkatan produktivitas bisa dengan menerapkan praktik agronomi yang lebih baik seperti pengelolaan air, pupuk, serta pengendalian hama dan penyakit.
Pada kesempatan ini, Professor University of Nebraska-Lincoln, Patricio Grassini, menyebutkan Indonesia berpotensi meningkatkan yield kelapa sawit seperti yang terjadi pada komoditas padi dan jagung.“Perlu lebih intensif meningkatkan produktivitas sehingga tantangan seperti keterbatasan lahan bisa teratasi, beban tenaga kerja terselesaikan dan kita semua terhindar dari kampanye isu-isu lingkungan,” ungkapnya.
Berbasis data dari risetnya, Patricio memproyeksikan replanting dan intensifikasi itu berpeluang meningkatkan produktivitas CPO naik menjadi 8 ton per ha dari 3,4 ton per ha pada saat ini. Dengan begitu, produksi CPO nasional dapat terkerek hingga 108 juta ton per tahun dengan potensi pemasukan US$97 miliar per tahun.(*)