Hubungan Dagang Indonesia-Uni Eropa, Peraturan EUDR Berpotensi Ditunda
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan Uni Eropa pada pekan depan mengumumkan penundaan EUDR (European Union Deforestation Regulation). Hal ini disampaikan Eddy Martono, Ketua Umum Gapki saat ditemui awak media di sela-sela 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Outlook (IPOC) 2024 di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali, pada Kamis, (7/ 11/2024). "Kebijakan EUDR berpotensi diundur di pekan depan," ujar Eddy.
Parlemen Uni Eropa tidak bisa menjelaskan sistem dalam implementasi benchmarking sebagaimana disyaratkan dalam EUDR. Sistem yang tidak hanya mendiskriminasi industri kelapa sawit nasional dan Indonesia secara umum tersebut berpotensi diberlakukan oleh negara lain.
Itulah mesimpulan dari sesi kedua IPOC 2024 pada Kamis kemarin yang menampilkan empat pembicara, yakni izal Affandi Lukman, Pietro Paganini, Ian Suwarganda, Andri Hadi, dan dimoderatori Agus Purnomo, penasehat bidang sawit untuk Golden Agri-resources (GAR).
Pada kesempatan ini, Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa, Andri Hadi mengatakan pemberlakuan benchamarking ini akan berpotensi bermasalah. “Karena bahkan di suatu negara sendiri, hal itu susah untuk dilakukan dengan sistem benchmarking yang sama. Sama dengan negara-negara lain, Indonesia itu juga mempunyai wilayah yang berbeda. Tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan misalnya pada suatu kebun kopi di Sumatra dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur,” kata Andri.
Andri menjabarkan dampak benchamarking ini maka memicu suatu negara dikategorikan sebagai high risk dalam hal deforestasi ini, maka konsekuensinya adalah kemungkinan negara-negara mitra dagangnya di luar Uni Eropa bisa ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut. “Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan one size fit all (satu ukuran diberlakukan untuk semua). Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda,” katanya.
Pendapat senada disampaikan oleh Pietro Paganini, professor dan pengamat minyak nabati dari Universitas John Cabot di Roma, Italia. Dia menyampaikan negara-negara produsen sawit harus mengintensifkan perundingan dengan Uni Eropa (UE) dalam semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik untuk mematuhi peraturan bebas deforestasi (EUDR), yang penerapannya diperkirakan tidak hanya akan di Eropa saja tapi juga di luar Eropa.
Selanjutnya, Ian Suwarganda, penasehat bidang sawit untuk Golden Agri-resources (GAR) mengkngatkan bahwa saat ini negara-negara lain tampaknya sedang mempersiapkan aturan yang sama. “Saya kira negara-negara seperti Amerika Serikat , Cina dan India pun sedang berusaha merumuskan peraturan yang mirip dengan EUDR itu,” katanya.
Sekretaris Jenderal Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) mengatakan pelaksanaan EUDR itu akan pasti berdampak pada negara-negara Asia Tenggara, kecuali Brunai Darussalam. “Ada 7 komoditas yang terdampak oleh EUDR ini, termasuk sawit, kopi dan karet. Indonesia adalah produsen terbesar sawit di dunia, Vietnam produsen besar kopi, sementara Thailand karet,” katanya.
Dia mengatakan pemberlakuan EUDR ini tidak hanya akan berdampak pada ekspor Indonesia ke Eropa, tapi juga impor Indonesia dari Eropa. “Ini karena EUDR itu mensyaratkan bebas deforestasi bagi semua barang komoditi pertanian, Perkebunan dan kehutanan di Eropa, baik barang impor dan ekspor,” katanya.
Menurutnya, pemberlakuan EUDR nilai ekspor Indonesia ke Eropa yang terpengaruh akan mencapai US$4,4 miliar dalam berbagai produk pertanian, Perkebunan dan kehutanan.(*)