Trends

Harga CPO Diproyeksikan Melonjak, Berpeluang Menjadi Barang Komoditas Global Premium

Para narasumber di jumpa pers 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11/2024). (Foto : Vicky Rachman/SWA).

Harga crude palm oil (CPO) pada 2025 berpeluang meroket seiring kenaikan permintaan berkat industri biofuel di tengah produksi nasional yang cenderung stagnan. Di balik cerahnya prospek harga, terdapat risiko CPO kehilangan pamornya sebagai minyak nabati terbaik dengan harga yang rendah. Thomas Mielke, Executive Director ISTA Mielke Gmbh, meyakini harga CPO berpotensi meningkat di tahun depan.

Tetapi, dia memberikan catatan mengenai dampak negatif dari proyeksi peningkatan harga CPO di tahun 2025 itu mendapat respon negatif dari para konsumer. Pasalnya, peningkatan harga akan membuat para produsen biofuel enggan memakai CPO sebagai bahan baku utama.

Mielke melihat beberapa industri biofuel di Amerika maupun Eropa mengalami tekanan secara kinerja keuangan. Bahkan Brazil berniat memundurkan program mandatori biodiesel jika harga terus menanjak. “Apabila Pemerintah Indonesia memaksakan program B40, maka harga minyak nabati seperti CPO dan soya akan mengalami kenaikan setidaknya 10%-15% untuk memenuhi permintaan bagi sektor pangan maupun lainnya,” kata Mielke di 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11/2024).

Dia mencermati produktivitas CPO Indonesia yang cenderung stagnan sampai 2026. Mielke menilai kenaikan harga minyak nabati akan dimanfaatkan oleh produsen canola, rapeseed, dan sunflowers untuk memperluas wilayah. Di sisi lain, kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia tengah mengalami moratorium kendati sebagian sudah memasuki usia replanting yang berakibat pada penurunan yield.

Pada kesempatan ini, Dorab Mistry, Director Godrej International Ltd, memperkirakan harga CPO semester I/2025 bisa menembus level MYR5.000 per ton atau 5 ribu ringgit Malaysia/ton. Peningkatan harga terjadi seiring menurunnya produksi di Indonesia dan Thailand. Dia menganggap bila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut akan berdampak pada level kompetitif dengan minyak nabati lainnya.

Managing Director Glenauk Economics, Julian Mc Gill, menyampaikan saat ini CPO termasuk dalam minyak nabati premium seperti rapeseed. Menurutnya kenaikan harga CPO adalah refleksi dari minimnya ketersediaan di pasar. “Perlambatan pertumbuhan lahan perkebunan menyebabkan pasokan minyak sawit menjadi stagnan. Lihat, ekspor minyak sawit mencapai puncaknya pada 2019 dan tidak pernah kembali ke level tersebut,” jelasnya. Ekspor CPO Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 36,17 juta ton naik 4,2% secara tahunan.

Namun, dia khawatir bila tren kenaikan harga CPO terus berlanjut akan berdampak negatif bagi permintaan kelapa sawit. Dalam catatanya, ekspor soya bean telah mampu melampaui kinerja CPO di posisi 40 juta ton pada 2023.

Sementara itu, Managing Director Transgraph, Nagaraj Meda, mengamati tanda-tanda penurunan permintaan terhadap CPO dalam sedekade terakhir.Minyak kelapa sawit, lanjutnya, pada 2014 memiliki market share mencapai 45% terhadap pasokan minyak nabati dunia, sedangkan pada 2024 jumlah itu tergerus menjadi 37%.

Sebagai contoh pasar India yang menjadi tujuan ekspor utama CPO, antara 2012-2013 membukukan penyerapan 8,24 juta ton naik tipis pada 2023-2024 di posisi 9 juta ton. Di sisi lain, pada 2012-2013 total ekspor soyabean ke India 1,09 juta ton yang telah naik tiga kali lipat menjadi 3,5 juta ton. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved