Economic Issues

Kumpul Jembatani UMKM Meningkatkan Inklusi Keuangan dan Kewirausahaan

Executive Lab Forum 2024 (Foto: Kumpul)

Kumpul mengadakan Executive Lab Forum 2024 dengan tema ‘Collaboration for Empowering Innovation & Global Reach’ di Jakarta, Senin (11/11/2024). Diskusi ini berfokus pada tiga isu utama, yakni keterbatasan akses pasar dan pertumbuhan UMKM, inklusi keuangan dan keterbatasan akses modal, serta kesenjangan gender dalam kewirausahaan.

Dengan format diskusi World Café, para peserta eksekutif merupakan perwakilan dari kementerian, perusahaan swasta, dan organisasi nirlaba. Diskusi menghadirkan narasumber dari Kumpul Impact Partners, yaitu Hanifah Makarim, Direktur Standarisasi dan Sertifikasi Usaha Kemenparekraf; Rudy Franto Manik, Chief Human Resources & Marketing FWD Insurance; Fuddy Heruzady, Synergy & Innovation BNI Ventures; dan Lalu Nofa Setiawan Putra, Senior Specialist of Economic Empowerment Amman Mineral.

Faye Wongso, Chairperson Kumpul membuka diskusi dengan mengangkat sejumlah tantangan dalam dunia wirausaha, seperti risiko kebangkrutan yang lebih tinggi pada usaha milik perempuan meskipun populasi gender seimbang. Selain isu kesetaraan, pengembangan wirausaha juga terkendala oleh minimnya anggaran R&D yang hanya 0,28% dari PDB, menghambat inovasi berbasis teknologi. Tantangan logistik dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan, turut menjadi kendala bagi UMKM.

Beberapa temuan dari hasil forum ini dipresentasikan oleh Sarita Anggun Kinanti, Associate Director Kumpul Impact, dengan rangkuman sebagai berikut: pertama, keterbatasan akses pasar dan pertumbuhan. Pasar Indonesia masih belum optimal dalam mengatasi kesenjangan supply dan demand. UMKM cenderung hanya dianggap sebagai produsen, yang mengerjakan seluruh proses produksi dari hulu ke hilir. Hal ini membatasi kapasitas mereka karena keterbatasan modal dan SDM.

Akibatnya, UMKM yang mengalami persaingan harga dan pasar. Peran UMKM perlu dialihkan ke fungsi spesifik dalam rantai pasok untuk membentuk ekosistem ekonomi sirkular yang lebih kuat. Startup dapat berperan sebagai penghubung antara UMKM dan konsumen, dengan memvalidasi kualitas produk dan menjaga standar mutu.

Direktur Standardisasi dan Sertifikasi Usaha Kemenparekraf, Hanifah, menyatakan bahwa pendekatan ekonomi Blue, Green, dan Circular (BGCE) dapat menjadi solusi bagi akses pasar di Indonesia. Blue Economy mendukung ekonomi dan konservasi maritim, Green Economy menekankan keberlanjutan ekonomi dan sosial. Kemudian, Circular Economy mempromosikan siklus produksi untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan manusia. Implementasi BGCE memerlukan komitmen investasi, SDM, infrastruktur, dan kebijakan yang kondusif.

Masalah pembiayaan juga menjadi hambatan besar bagi UMKM. KUR dengan bunga rendah seharusnya membantu, tetapi proses yang rumit membuat akses sulit. Salman Alibhai dari Bank Dunia mengusulkan skema “Graduasi KUR,” di mana UMKM yang sukses melunasi pinjaman pertama mendapat akses ke KUR komersial dengan syarat yang lebih fleksibel. Skema ini mendorong disiplin finansial dan membuka akses bagi UMKM yang tidak memenuhi syarat KUR konvensional.

Rama Hidayat dari AVPN (Asian Venture Philanthropy Network) menekankan pentingnya kemitraan lintas peran di dalam rantai pasok UMKM di Indonesia. AVPN dan Bappenas telah menjalin kolaborasi untuk memperluas akses pasar UMKM. "UMKM harus mulai berperan dalam segmen rantai pasok yang spesifik, seperti produksi bahan mentah, pemrosesan, pengemasan, jasa keuangan, logistik, hingga pemasaran," jelasnya. Pembagian peran ini memungkinkan peningkatan kapasitas dan kualitas secara konsisten, sejalan dengan visi pemerintah untuk membangun pertumbuhan ekonomi berbasis UMKM dan startup.

Kesimpulannya, UMKM di Indonesia perlu bertransformasi dari produsen mandiri menjadi bagian aktif dalam rantai pasok terintegrasi. Fokus yang tersegmentasi pada tiap bagian rantai pasok tidak hanya memperkuat ekosistem, tetapi juga meningkatkan daya saing UMKM dengan dukungan pembiayaan dan investasi yang berkelanjutan.

Benang merah kedua, inklusi keuangan dan keterbatasan akses modal. Sepertti kita ketahui, isu inklusi keuangan dan keterbatasan akses modal merupakan tantangan signifikan bagi banyak bisnis kecil di Indonesia, terutama bagi mereka yang berada di luar kota besar. Meskipun akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) sudah tersedia sebagai sumber pembiayaan bagi UMKM, transisi dari penerima KUR ke peminjam bisnis biasa tetap sulit bagi banyak pelaku usaha, terutama di daerah pedesaan. Faktor lain yang berpengaruh adalah standar kolateral (agunan), yang sulit dipenuhi oleh UMKM yang asetnya terbatas atau sulit dinilai.

Pendanaan dengan skema blended finance—kombinasi antara pinjaman dan investasi yang melibatkan dana publik dan swasta—dapat membantu menyerap risiko yang dihadapi institusi finansial dalam mendanai UMKM. Namun, ekosistem pendanaan sebagian besar terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta, di mana infrastruktur dan ekosistem startup lebih berkembang, sehingga UMKM di pedesaan tetap kurang terlayani. Banyak UMKM di daerah ini masih melakukan kegiatan secara manual dan mengalami kesulitan memenuhi persyaratan ketat dari lembaga keuangan yang diatur secara ketat oleh regulasi, yang menghambat akses mereka terhadap pembiayaan formal.

Sebagian besar dukungan finansial di pedesaan masih bergantung pada filantropi atau donasi dari lembaga sosial yang fokus pada pemberdayaan komunitas. Sayangnya, pendekatan ini tidak menawarkan solusi jangka panjang dan tidak berkelanjutan. Untuk mendorong keberlanjutan inklusi keuangan, dibutuhkan keterlibatan aktif dari bisnis besar dan investor yang mau mendukung UMKM dalam memenuhi standar permodalan dan kepatuhan tanpa sekadar bergantung pada bantuan filantropis.

Rangkuman ketiga, kesenjangan gender dalam kewirausahaan. Meskipun perempuan Indonesia memberikan kontribusi besar terhadap PDB, banyak dari mereka yang masih berada pada level usaha mikro. Menurut data Bank Dunia, perempuan mencakup 52% dari peserta aktif dalam perekonomian. Namun, hanya 5% yang berhasil berkembang ke skala usaha kecil dan menengah. Indonesia juga masih kekurangan basis data dan riset komprehensif mengenai bisnis yang dipimpin perempuan, yang menghambat upaya peningkatan partisipasi mereka dalam kewirausahaan. Hal ini membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya dalam jumlah bisnis yang dipimpin oleh perempuan.

Salman Alibhai, Senior Economist di Bank Dunia, dalam keynote speech-nya menekankan bahwa pengusaha perempuan di Indonesia menghadapi tantangan besar, termasuk rendahnya aset bisnis dan dominasi di sektor-sektor berproduktivitas rendah.

"Untuk itu, Bank Dunia menjalin kolaborasi dengan pihak swasta dan publik guna memantau kemajuan, serta mendorong dialog kebijakan dan aksi bersama dalam mendukung partisipasi perempuan di sektor swasta. Salah satu inisiatif konkret adalah kemitraan strategis antara KUMPUL dan Bank Dunia sebagai knowledge partner, untuk mendorong inovasi UMKM di Indonesia—melalui riset dan implementasi," tambah Salman.

Mega Prawita, Managing Director Kumpul, menyoroti tantangan yang dihadapi pengusaha dalam mengakses dana modal, baik melalui lembaga perbankan maupun platform P2P. "Di Indonesia, UMKM menghadapi kendala signifikan dalam mengakses pembiayaan, dengan 60% usaha kesulitan memperoleh kredit formal karena kurangnya agunan atau riwayat kredit, namun inisiatif seperti skema jaminan OJK dan kolaborasi publik-swasta bertujuan untuk mengatasi kesenjangan ini dengan membuat pinjaman lebih mudah diakses dan mendorong investasi berkelanjutan," ujar Mega. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved