Berselancar dalam Badai
Dunia saat ini sedang berada dalam badai besar yang menghantam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, hingga kesehatan. Tidak ada yang tak terkena dampaknya, termasuk kelas menengah, yang selama ini dianggap sebagai tumpuan kekuatan perekonomian bangsa.
Kondisi kelas menengah yang seharusnya menjadi bonus demografi bagi banyak negara, termasuk Indonesia, kini menghadapi ancaman besar. Antara lain, kehilangan lapangan pekerjaan, merosotnya pendapatan, dan tekanan yang datang dari perkembangan teknologi, terutama kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Bagaimana kelas menengah bisa bertahan dan bahkan melewati badai ini? Jawabannya bukan dengan melawan arus, tapi dengan belajar “surfing” di atas badai tersebut.
Badai ekonomi global telah mengakibatkan ketidakstabilan yang memengaruhi banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat bagaimana perdagangan internasional melambat, permintaan konsumen menurun, dan banyak sektor industri mengalami penurunan tajam. Akibatnya, kelas menengah yang biasanya berada di antara sektor formal dan informal kini menghadapi risiko kehilangan pekerjaan.
Kondisi ini diperburuk dengan dampak dari revolusi teknologi yang diwarnai dengan kemajuan AI. Menurut laporan World Economic Forum, sekitar 85 juta pekerjaan mungkin hilang pada tahun 2025 akibat otomatisasi. Bagi kelas menengah, yang banyak bekerja di sektor administrasi, layanan pelanggan, dan bahkan bidang teknis, ancaman ini sangat nyata.
Selain itu, situasi politik dunia yang semakin tidak stabil, dengan ketegangan di antara negara besar dan kebijakan ekonomi yang berubah-ubah, menciptakan ketidakpastian yang memperparah kondisi. Di tengah badai ekonomi dan politik ini, kesehatan mental juga menjadi isu besar. Banyak yang merasakan tekanan psikologis akibat kehilangan penghasilan, ketidakpastian masa depan, dan tuntutan untuk beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang.
Kelas menengah yang selama ini dianggap stabil dan memiliki daya beli yang kuat kini dihadapkan pada tantangan yang lebih besar daripada sebelumnya. Pendapatan yang menurun dan meningkatnya biaya hidup menempatkan kelas menengah pada titik kritis. Seperti dikatakan oleh John F. Kennedy, “The time to repair the roof is when the sun is shining.” Namun, saat ini, tampaknya badai telah menghantam sebelum mereka sempat memperbaiki atap.
Indonesia selama ini dipandang memiliki bonus demografi yang menjanjikan, dengan usia produktif lebih besar daripada usia nonproduktif. Kelas menengah, yang menjadi tulang punggung ekonomi bangsa, diharapkan dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat. Namun, jika mereka tidak mampu menghadapi ancaman kehilangan pekerjaan dan penurunan pendapatan, bonus ini bisa berubah menjadi beban.
AI dan otomatisasi memaksa perusahaan mengurangi tenaga kerja manusia dan menggantinya dengan mesin yang lebih efisien. Dalam perdagangan, permintaan global yang menurun berdampak pada banyak industri, menyebabkan stagnasi atau bahkan kemerosotan pendapatan. Jika situasi ini terus berlangsung, kelas menengah yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi justru bisa terpuruk dan kehilangan potensinya.
Dalam situasi badai ini, kelas menengah harus belajar untuk tidak melawan arus, tetapi justru “surfing” di atas badai. Dengan strategi yang tepat, mereka dapat menghadapi tantangan dan keluar sebagai pemenang. Ada empat langkah penting yang harus diambil kelas menengah agar tidak sekadar survive tapi justru shining, yaitu:
S: Stay Agile. “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most adaptable to change.” (Charles Darwin). Kelas menengah harus fleksibel dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Mereka perlu belajar keterampilan baru, terutama yang relevan dengan teknologi, agar tetap relevan di pasar kerja yang semakin dinamis.
U: Utilize Opportunities. “In the midst of every crisis, lies great opportunity.” (Albert Einstein). Di balik setiap krisis, selalu ada peluang. Misalnya, perkembangan AI bisa menjadi ancaman, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk menciptakan peluang baru. Kelas menengah harus jeli melihat peluang yang ada di tengah krisis, seperti memulai bisnis digital, berinvestasi di sektor yang sedang berkembang, atau beralih ke pekerjaan yang lebih kreatif dan tidak mudah digantikan oleh mesin.
R: Resilience is Key. “The greatest glory in living lies not in never falling, but in rising every time we fall.” (Nelson Mandela). Ketahanan mental dan emosional sangat penting. Kelas menengah harus membangun kekuatan dalam menghadapi kegagalan dan kesulitan. Dengan sikap pantang menyerah, mereka dapat bangkit setiap kali mengalami kejatuhan, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi.
F: Focus on Long-Term Goals. “Patience, persistence, and perspiration make an unbeatable combination for success.” (Napoleon Hill). Daripada terjebak dalam masalah jangka pendek, kelas menengah harus tetap fokus pada tujuan jangka panjang mereka. Pendidikan, investasi, dan peningkatan keterampilan adalah langkah-langkah penting untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh di masa depan.
Badai ekonomi, politik, dan kesehatan memang menghantam keras kelas menengah, yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam pertumbuhan ekonomi dunia termasuk Indonesia.
Namun, dengan strategi SURF — Stay Agile, Utilize Opportunities, Resilience is Key, Focus on Long-Term Goals — kelas menengah bisa melewati badai ini dengan sukses. Seperti seorang peselancar yang tangguh, mereka tidak perlu melawan arus badai, tetapi dapat memanfaatkannya untuk mencapai pantai dengan selamat, bahkan lebih kuat daripada sebelumnya. (*)