BPA di Air Minum Galon Tidak Terbukti Ilmiah Penyebab Gangguan Kesehatan
Misinformasi terkait masalah kesehatan yang disebabkan oleh BPA (Bisphenol-A) yang terkandung dalam AMDK (Air Minum dalam Kemasan) masih terus beredar di masyarakat. Berbagai informasi terkait bahaya BPA seringkali disajikan secara tidak utuh, cenderung sensasional, dan yang paling berbahaya, tidak didasari bukti-bukti ilmiah.
BPA sendiri adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi. Karena manfaatnya, BPA tidak hanya dipakai pada kemasan air minum, namun juga banyak ditemukan pada barang-barang di sekitar kita. Selain kemasan pangan, BPA dipergunakan untuk thermal paper pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.
Minimnya pemahaman masyarakat terhadap BPA, termasuk jenis-jenis plastik yang digunakan sebagai bahan kemasan pangan membuat misinformasi menjadi semakin mudah tersebar dan menimbulkan pemahaman yang salah. Untuk menghindari meluasnya penyebaran informasi yang salah, masyarakat diimbau untuk membiasakan diri mencari informasi secara utuh dan menyeluruh, serta selalu mencari informasi pembanding.
Dr. Devie Rahmawati, M.Hum., pengamat sosial di Universitas Indonesia, menjelaskan misinformasi atau hoax seringkali menggunakan wajah atau potret ahli sebagai bentuk afirmasi. "Meskipun secara konteks keahliannya mungkin tidak relevan atau bahkan ahli tersebut tidak ada (fiktif),” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Devie menekankan dampak bahaya dari misinformasi. “Bisa terjadi kebingungan, kegagalan, kebodohan, sampai konflik sosial. Jangan mudah termakan oleh isu beredar yang belum bisa dipercaya kebenarannya. Ada banyak cara untuk melakukan cek fakta,” tegasnya. Misinformasi yang banyak beredar mengatakan bahwa BPA dapat luruh di air minum kemasan galon dan dapat membahayakan kesehatan. Padahal, beberapa penelitian ilmiah membuktikan sebaliknya.
Prof. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.T.P., DEA, Guru Besar Ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan di IPB UNiversity, menyampaikan sejauh ini belum ada studi yang membuktikan kandungan BPA ditemukan pada air minum dalam kemasan galon. “Penelitian terbaru yang dilakukan peneliti ITB justru tidak menemukan BPA di galon air minum dari empat merek yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” paparnya.
Hasil penelitian menunjukkan kandungan BPA di galon air minum sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh. Potensi luruh hanya terjadi pada kondisi yang sangat ekstrem, misalnya, jika dipanaskan dalam suhu lebih dari 250 derajat celcius. Proses produksi AMDK tidak ada proses pemanasan yang terjadi. Hanya mungkin terpapar matahari pada proses distribusi, itupun dengan suhu di bawah 50 derajat celcius. Oleh karena itu, risiko migrasi BPA ke air minum dari kemasannya akan sangat kecil.
Sementara itu, Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan dari Tzu Chi Hospital dr. Ervan Surya, Sp.OG, mengatakan hingga saat ini belum ada studi ilmiah yang konklusif mengenai pengaruh luruhan BPA terhadap infertilitas. Bahkan berdasarkan hasil studi yang beliau temukan, tidak ada korelasi antara BPA dengan gangguan kesuburan.
“Infertilitas dapat terjadi karena pengaruh gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, dan olahraga yang terlalu berat. Merokok sudah jelas-jelas terbukti sebagai salah satu penyebab gangguan kesuburan, namun sepertinya masyarakat tidak khawatir akan hal ini, malah cenderung panik dengan isu lain yang belum terbukti kebenaran fakta ilmiahnya, contohnya BPA ini,” tambah Ervan.
Dalam kesempatan yang berbeda, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Ahli Endokrin-Metabolik Dr. dr. Laurentius Aswin Pramono Sp.PD-KEMD, mengatakan, belum ada sama sekali kesepakatan bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada bukti penelitian ilmiah pada manusia, yang ada hanya penelitian di laboratorium dengan hewan. Isu bahwa BPA menyebabkan diabetes, kolesterol tinggi, kanker, infertilitas dan lain-lain, adalah mitos yang menyesatkan.
Tubuh manusia juga memiliki kemampuan untuk memetabolisme berbagai zat kimia termasuk BPA. BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh, akan dibuang dan tidak akan terakumulasi di dalam tubuh. “Hati atau liver bisa memecah rantai BPA, kemudian BPA akan dibuang melalui saluran pencernaan lewat BAB. Ada sebagian yang masuk ke ginjal, dan akan dibuang melalui urin,” jelas Aswin.
Di Indonesia, pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan regulasi ambang batas aman migrasi BPA, yaitu maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg). Ketika sebuah produk telah beredar di pasaran, artinya produk tersebut telah mendapatkan izin dan mematuhi regulasi pemerintah yang berlaku, sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat.
Aswin menambahkan air minum yang dikemas dalam galon polikarbonat adalah produk yang sudah dikonsumsi lintas zaman selama bertahun-tahun. Tidak ada bukti kuat selama ini yang menunjukkan adanya risiko bagi kesehatan masyarakat. Masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu karena terpengaruh isu-isu kurang jelas, sementara faktor risiko kesehatan yang jelas-jelas sudah terbukti seperti kebiasaan merokok, kurang berolahraga, pola makan yang buruk, dan mengkonsumsi alkohol justru diabaikan. (*)