Economic Issues

Nilai Ekonomi Kelapa Sawit Diproyeksikan Rp775 Triliun Pada 2024

Nilai Ekonomi Kelapa Sawit Diproyeksikan Rp775 Triliun Pada 2024

Komoditas kelapa sawit mendominasi kinerja perekonomian Indonesia selama dua dekade terakhir. Pencapaian tersebut tercermin dari dua indikator, yakni ragam produk hilir, dan rasio ekspor bahan baku dengan produk hilirnya. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika menuturkan jenis produk hilir sawit pada 2010 hanya 54 jenis kemudian bertambah menjadi 193 jenis pada 2023 lalu.

Adapun rasio ekspor bahan baku dan produk hilir sawit juga kian melonjak. Pada 2010, rasionya 40% dan 60% (bahan baku dan produk hilir sawit), lalu naik sebesar menjadi 7% dan 93% pada 2023. Industri pengolahan sawit pun memberikan dampak positif pada penyerapan tenaga kerja langsung dan tidak langsung sebanyak 17 juta orang. Industri ini berkontribusi terhadap PDB (produk domestik bruto) nasional sebesar 3,5% dengan total ekspor nonmigas 11,6% atau setara Rp450 triliun pada 2023.

“Sedangkan, nilai ekonomi industri ini mencapai Rp193 triliun pada kuartal kedua tahun 2024 dan diproyeksikan menembus Rp775 triliun hingga akhir tahun ini,” ucap Putu dalam siaran pers seperti ditulis swa.co.id di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

Pertumbuhan industri pengolahan sawit menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa. Seperti di Dumai-Riau, Sei Mangkei-Sumut, Tarjun-Kalsel, Kotawaringin Barat-Kalteng, Bitung-Sulut, dan Balikpapan-Kaltim.

Industri pengolahan sawit telah mampu menggerakkan aktivitas produktif kegiatan usaha, khususnya di daerah terluar, tertinggal, dan terpencil (3T). Jadi, turut menjaga kedaulatan ekonomi khususnya terkait substitusi impor dan teritorial di perbatasan negara,” imbuhnya.

Putu mengemukakan, potensi pengembangan industri hilir kelapa sawit nasional masih sangat terbuka, khususnya pada pemanfaatan biomassa sawit yang selama ini masih belum optimal. “Sebab saat ini, hilirisasi masih bertumpu pada pengolahan produk minyak sawit sehingga laju hilirisasi masih bergantung pada ketersediaan bahan baku minyak sawit mentah,” ungkapnya.

Di sisi lain, pasokan minyak sawit mentah dari sektor perkebunan masih menghadapi tantangan, antara lain penurunan produktivitas akibat penyakit tanaman, kendala agroklimat dan perubahan iklim, penerapan gap yang belum optimal, dan luas perkebunan yang masuk usia tua sehingga perlu di-replanting. Tantangan berikutnya adalah menurunkan emisi karbon dari kegiatan usaha perkelapasawitan nasional, dan mengoptimalkan nilai ekonomi karbon yang menyertainya.

Oleh karena itu, aspek sustainability dan traceability menjadi prasyarat produk hilir kelapa sawit masuk skala pemasaran global, di tengah ancaman kampanye negatif dan hambatan perdagangan lainnya. “Yang terakhir namun tak kalah pentingnya, tantangan untuk mengangkat level kapabilitas hilirisasi nasional dapat dijawab dengan upaya research and development yang berorientasi pada komersialisasi skala industri,” ucap Putu.

Saat ini, Kemenperin telah menjalankan langkah-langkah pengembangan industri hilir berorientasi daya saing global. Terdapat tiga aspek utama langkah pengembangan, yaitu kebijakan pengamanan pasokan bahan baku untuk industri dalam negeri, injeksi teknologi produksi minyak sawit mentah, dan memberikan fasilitasi untuk investasi baru atau perluasan.

Ke depannya, Kemenperin mengupayakan langkah-langkah strategis lainnya, seperti membentuk konsorsium riset untuk produk hilir yang potensial, memberikan jasa layanan pengembangan teknologi pengolahan biomassa di BBSPJIA Bogor, dan membentuk peraturan ketertelusuran keberlanjutan dalam kerangka ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

Hilirisasi Sawit

Putu optimistis langkah perbaikan di sektor hilir akan menarik penuh produktivitas pada backward linkage sektor hulu sampai forward linkage pada konsumen akhir. Indonesia di 2029 memproyeksikan menghasilkan 240 ragam jenis produk hilir. Selain itu, nilai ekonomi kegiatan usaha kelapa sawit mencapai Rp1.146 triliun, yang berasal dari konsumsi dalam negeri dan ekspor.

Putu menjelaskan skenario ideal pengembangan industri hilir kelapa sawit tersebut membutuhkan dukungan penyediaan bahan baku minyak sawit mentah yang memadai. Dalam analisis Kemenperin, terdapat dua strategi untuk mendukung peningkatan produksi minyak sawit mentah, yaitu peningkatan OPP (Oil Palm Productivity) pada produktivitas kebun, dan peningkatan OER (Oil Extraction Rate) melalui injeksi teknologi pengolahan kelapa sawit.

Salah satu teknologi optimalisasi produksi minyak sawit mentah adalah SPPOT (Steamless-POMELess Palm Oil Technology), untuk menghasilkan minyak sawit mentah yang lebih bernutrisi, lebih efisien energi, lebih rendah emisi karbon, hingga minimal dalam timbulan limbah cair. Teknologi SPPOT ini memungkinan pabrik kelapa sawit dibangun modular skala kecil (5 – 10 ton TBS/Jam), dengan skema operasional – milik pabrik oleh petani rakyat secara BOT (Build Owned Transfer).

Kemenperin juga telah memasukkan teknologi SPPOT pada skema program restrukturisasi mesin/peralatan industri agro, sehingga pihak petani rakyat, koperasi, dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dapat mengklaim reimbursement sampai dengan 30 persen dari harga pembelian mesin kepada kemenperin.

“Melalui fasilitas ini, kami mengharapkan industri pengolahan buah kelapa sawit mengalami perubahan teknologi yang fundamental, yang akan meningkatkan perolehan minyak sawit mentah sebagai bahan baku industri hilir dalam negeri,” pungkasnya. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved