Guru Besar UI, Tekankan Perlunya Keilmuan yang Berfokus Pada Upaya Preventif
Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D, mengukuhkan tiga Guru Besar Tetap Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), pada Sabtu (16/11), di Balai Sidang UI Kampus Depok. Ketiganya adalah Prof. Dr. drg. Ririn Arminsih Wulandari, M.Kes.; Prof. Ir. Ahmad Syafiq, M.Sc., Ph.D; dan Prof. Dr. Drs. Tris Eryando, M.A. Dalam kesempatan itu, Prof. Syafiq dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Metodologi Gizi setelah menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Gizi Kesehatan Masyarakat: Filosofi dan Praktik”.
Prof. Syafiq menyebut bahwa di Indonesia, pendekatan yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan gizi lebih banyak menggunakan keilmuan gizi yang berfokus pada klinik, biomedik, dan kuratif, dibandingkan keilmuan yang berfokus pada upaya pencegahan. Misalnya, program penanganan stunting lebih ditujukan untuk pemulihan anak yang mengalami stunting, daripada pencegahan stunting pada populasi anak sehat. Hal ini menyebabkan kasus stunting terus bertambah meski ada sejumlah anak yang berhasil dipulihkan, yang menunjukkan beratnya bobot ke arah medik-kuratif dan kurangnya bobot kesehatan masyarakat-preventif.
Untuk itu, Prof. Syafiq menilai perlunya keterlibatan disiplin ilmu lain dalam upaya penanganan permasalahan gizi di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Deklarasi New Nutrition Science atau lebih dikenal dengan Deklarasi Giessen yang dikeluarkan oleh International Union of Nutrition Sciences pada 2005. Dalam deklarasi itu, disebutkan perlunya konsep Keilmuan Gizi Baru yang didefinisikan secara lebih luas dan ditambahkan dengan dimensi dan prinsip yang relevan agar mampu mengatasi tantangan dan peluang yang dihadapi manusia dalam abad 21.
Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, Prof. Syafiq menggunakan konsep Gizi Kesehatan Masyarakat sebagai untuk memperkaya dan memperluas wilayah gizi ke ranah pencegahan dan penyebab dasar, dengan mengombinasikan prinsip gizi dan prinsip kesehatan masyarakat. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan atau memelihara kesehatan optimal dari populasi dan kelompok target melalui peningkatan program, sistem, kebijakan, dan lingkungan.
Gizi Kesehatan Masyarakat dipraktikkan melalui tujuh belas langkah dalam suatu siklus ganda. Salah satu contohnya adalah penerapan analisis kapital dan analisis kapasitas di kabupaten di Indonesia dalam upaya pendampingan program percepatan penurunan stunting. Hasil penelitian Prof. Syafiq menunjukkan bahwa penilaian di level kabupaten, puskesmas, maupun kecamatan dari segi kapital—baik kapital sosial, kapital manusia, kapital natural, maupun kapital kultural—ternyata tergolong rendah. Dalam hal ini, nilai terendah ada di kapital kultural terkait kepercayaan dan norma sosial yang tidak mendukung program.
“Kami menemukan misalnya ada satu desa lokus stunting yang ‘menolak’ program penurunan stunting. Kapital rendah ini mengindikasikan perlunya upaya yang lebih intens dari segi advokasi dan edukasi dari pemerintah. Juga modifikasi program yang lebih melibatkan masyarakat melalui pendekatan kultural, misalnya melibatkan tokoh agama dan masyarakat setempat,” kata Prof. Syafiq dikutip dalam keterangan tertulis, Kamis (21/11/2024)
Tantangan Persoalan Gizi Nasional Lainnya
Sementara itu, hasil analisis kapasitas menunjukkan bahwa kabupaten memiliki nilai kapasitas terendah, terutama dalam identifikasi masalah. Untuk itu, prioritas kapasitas perlu dilakukan di level ini dengan materi yang lebih substantif dan ditujukan kepada pejabat kabupaten dalam program keilmuan di luar bidang gizi dan kesehatan. Di sisi lain, puskesmas dengan nilai kapasitas tertinggi perlu mendapatkan peran dan alokasi anggaran yang cukup agar bisa lebih berkontribusi terhadap program, karena jika alokasi anggaran untuk kabupaten banyak namun puskesmas sedikit, kemungkinan program penurunan stunting tidak berjalan sesuai harapan.
Selain tantangan tersebut, Prof. Syafiq juga melihat berbagai tantangan persoalan gizi lainnya, seperti prinsip kesetaraan dan keadilan gizi, keterjaminan pangan dan gizi, legislasi dan regulasi, serta gizi dan aspek lingkungan berkelanjutan, termasuk perubahan iklim, built environment, dan pengaturan fiskal. “Tentu, sudah seharusnya keilmuan gizi konvensional harus diperkaya, baik secara konseptual maupun secara metodologis, dengan ilmu-ilmu perilaku, sosial humaniora dan lainnya, sehingga kebijakan dan program-program gizi dapat lebih preventif, efektif, efisien dan berkelanjutan,” ujarnya.