Technology

Tangkal Penipuan, Waspadai Second Party Fraud yang Berdampak Negatif Terhadap Jasa Keuangan

Industri jasa keuangan di Indonesia tengah menghadapi gelombang baru terkait penipuan second party fraud yang menimbulkan risiko besar terhadap integritas sektor tersebut. Pada Januari 2023 hingga Februari 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghentikan lebih dari 3.000 entitas keuangan ilegal. Ini memberikan peringatan terhadap kerentatan dalam sistem tersebut. Kasus penipuan keuangan yang meningkat sebesar 25% pada tahun 2023 itu sebagian besar berasal dari minimnya literasi keuangan.

CEO 1datapipe, Carrey Anderson, mengatakan hal ini menegaskan rentannya sektor jasa keuangan Indonesia, terutama di era meningkatnya second party fraud. Tidak seperti penipuan identitas tradisional atau third-party attack, second-party fraud ini melibatkan kompromi yang disengaja oleh seseorang yang dengan sukarela memberikan informasi pribadi mereka untuk memungkinkan penipuan, sering kali dengan imbalan kompensasi finansial.

“Pasar negara berkembang seperti Indonesia sangat rentan karena adopsi digital yang tinggi dan rendahnya literasi keuangan, sehingga menyediakan lingkungan yang ideal bagi pelaku penipuan. Berdasarkan data dari Asosiasi Fintech Indonesia, platform fintek menghadapi upaya penipuan yang semakin canggih seperti second-party fraud,” ungkap Carey di Jakarta, Kamis (28/11/2024).

Pasar berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan unik dalam memerangi second-party fraud . Carey, pada keterangan tertulisnya itu menyebutkan beragam faktr peningkatan second party fraud yangberkembang pesat di Indonesia disebabkan kombinasi rendahnya literasi keuangan serta tingginya adopsi digital menawarkan lingkungan yang tepat untuk dimanfaatkan oleh pelaku penipuan.

Pada Agustus 2024, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Singapura sebagai pusat investasi digital di Asia Tenggara. Walau demikia, data Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan literasi keuangan kurang dari 50%. Kesenjangan literasi keuangan membuat banyak orang Indonesia rentan terhadap skema perekrutan yang modusnya mereka dibujuk meminjamkan rekening mereka untuk kegiatan terlarang. Hal ini menjelaskan mengapa second-party fraud meningkat di Indonesia

Laporan gabungan oleh Kroll dan the ACFE mengungkapkan bahwa sebesar 32% dari organisasi yang disurvei mengalami kerugian melebihi Rp1miliar per tahun akibat insiden terkait penipuan. Second-party fraud lebih merugikan bagi penyedia layanan keuangan karena jenis penipuan tersebut lebih sukar dipahami dan juga membebani proses sengketa, yang secara bertahap mengikis kepercayaan antara lembaga keuangan dan nasabahnya.

Pelaku penipuan makin sering memasukkan penipuan identitas sintetis ke dalam skema mereka, sehingga makin sulit bagi bank untuk membedakan antara aktivitas yang sah dan aktivitas penipuan. "Pengembangan teknik penipuan yang terus-menerus ini menimbulkan ancaman berkelanjutan terhadap stabilitas keuangan dan menekankan perlunya strategi deteksi penipuan berlapis yang waspada,” ucapnya.

Menghadapi meningkatnya second-party fraud, kata Carey, manajemen perusahaan memiliki alat untuk meningkatkan pertahanan yang efektif. Strategi multi faset yang kuat sangat penting agar organisasi tetap yang lebih unggul dibandingkan pelaku penipuan. Pendekatan ini dibangun dengan meningkatkan proses Know Your Customer (KYC) yang terletak pada pemanfaatan deteksi penipuan yang didukung AI dan analisis perilaku untuk melampaui verifikasi identitas dasar.

Selain itu, memerangi second-party fraud memerlukan keterlibatan dan kesadaran publik. Masyarakat harus sepenuhnya memahami risiko dan implikasi hukum dari keikutsertaan dalam skema penipuan. “Mendeteksi penipuan dengan pendekatan berlapis sangat penting. Pendekatan ini melibatkan pelacakan jejak digital, menghubungkan akun lintas layanan keuangan, dan menggunakan machine learning untuk mengidentifikasi perilaku dan pola yang mencurigakan,” imbuh Carey.

Dia mengatakan penanganan kerumitan second-party fraud memerlukan pertahanan kolaboratif di seluruh ekosistem keuangan. Dengan membangun basis data terpusat dari akun-akun penipuan yang ditandai dan dapat diakses oleh bank-bank anggota, lembaga dapat menciptakan pertahanan terpadu terhadap penipu.

Seiring dengan berkembangnya penipuan, tanggung jawab untuk melindungi sistem keuangan Indonesia berada di tangan lembaga dan konsumen. Dengan merangkul teknologi canggih dan mendorong literasi keuangan yang lebih baik, industri dapat bekerja sama untuk menjaga integritas ekonomi digital negara ini. “Berbagi informasi membantu untuk tetap unggul dalam skema penipuan yang terus berkembang dan membekali mereka dengan berbagai alat untuk merespons dengan cepat, mengurangi risiko, dan melindungi lembaga maupun konsumen,” sebut Carey. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved