Babak Baru Agritech Startup
Co-Founder & CEO Lokatani Abdul Choliq (Dok. Pribadi) Sektor agrikultur di Indonesia sedang mengalami transformasi signifikan. Ini terjadi karena hadirnya sejumlah agritech startup pertanian dan perikanan yang kini memasuki era baru, yang mengedepankan teknologi untuk menciptakan efisiensi, meningkatkan produktivitas, dan membawa dampak langsung pada kesejahteraan petani dan petambak.
Generasi baru pelaku bisnis ini, seperti Abdul Choliq dari Lokatani, Bayu Syerli Rachmat dari Elevarm, dan Liris Maduningtyas dari Jala Indonesia, membangun model bisnis yang inovatif. Tujuan mereka, menciptakan ekosistem agrikultur yang berkelanjutan.
Abdul Choliq, Co-Founder dan CEO Lokatani, memiliki visi besar sejak kecil. Tumbuh di lereng Gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah dari keluarga petani, ia bermimpi menciptakan model pertanian yang lebih efisien dan menguntungkan.
Dengan latar belakang pendidikan matematika di Universitas Indonesia, Abdul mengembangkan solusi berbasis optimasi dan teknologi IoT untuk mendukung hidroponik sebagai metode bertani yang presisi. “Dengan hidroponik, semua variabel bisa terukur. Nutrisi dan pH air dikelola secara presisi, memungkinkan hasil panen yang konsisten dan berkualitas,” ungkapnya.
Berdiri sejak 2019, Lokatani sekarang bekerjasama dengan 120 petani di Jabodetabek, memproduksi sekitar 58 ton sayuran setiap bulan, dari pakcoy hingga baby romaine. Model bisnis close-loop supply chain yang diterapkan memastikan kualitas hasil panen tetap terjaga, sekaligus memberikan pendapatan yang stabil bagi petani.
“Kami ingin petani tidak harus menunggu panen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan sistem pembayaran mingguan, cash flow mereka lebih lancar,” Abdul menjelaskan.
Bayu Syerli Rachmat, CEO Elevarm, membawa pendekatan holistik untuk mengubah wajah pertanian Indonesia. Berbekal pengalaman memimpin transformasi Bukalapak sebagai startup teknologi pertama yang go public, Bayu melihat potensi besar di sektor hortikultura Indonesia. Ia mendirikan Elevarm pada 2022 dengan fokus pada peningkatan produktivitas dan keberlanjutan.
“Elevarm berkomitmen menyediakan solusi yang berbasis riset mendalam, mulai dari benih berkualitas, pendampingan budidaya, hingga jaminan pembelian hasil panen,” kata lulusan Institut Teknologi Bandung itu.
Elevarm memadukan teknologi modern dengan praktik agrikultur tradisional, menciptakan ekosistem pertanian yang tidak hanya produktif tetapi juga ramah lingkungan. Melalui pendekatan ini, Elevarm membantu petani meningkatkan produktivitas mereka sekaligus mengurangi risiko operasional.
“Kami membangun mutual trust dengan petani. Kepercayaan ini penting untuk membangun hubungan jangka panjang yang berkelanjutan,” kata Bayu.
Di sektor aquatech, Jala Indonesia menjadi salah satu pionir dalam memberdayakan petambak udang melalui teknologi. Liris Maduningtyas, CEO sekaligus Co-Founder Jala, mendirikan perusahaan ini pada 2017 untuk membantu petambak meningkatkan produktivitas tambak mereka.
Menurut Liris, masalah utama petambak udang adalah kualitas air dan manajemen tambak yang kurang optimal. Dengan Jala App, pihaknya bisa memberikan data real time yang membantu mereka mengambil keputusan lebih cepat.
Jala App memungkinkan petambak memonitor kondisi tambak secara langsung dan mengelola data produksi mereka. Selain itu, perangkat IoT yang dikembangkan oleh Jala membantu mendeteksi anomali kualitas air, sehingga potensi kegagalan panen bisa diminimalisasi.
Sejauh ini, lebih dari 20.000 petambak telah menggunakan Jala App. Ada yang pendapatannya naik hingga 300% dan produktivitas tambaknya meningkat 900%.
Meskipun telah menunjukkan dampak signifikan, perjalanan para pelaku agritech ini tidak selalu mulus. Abdul Choliq mengakui bahwa pendanaan merupakan salah satu tantangan terbesar di awal perjalanan Lokatani.
“Kami bootstrapping selama empat tahun sebelum akhirnya mendapatkan pendanaan. Tantangan lainnya ialah bagaimana memastikan model bisnis yang kami bangun benar-benar berdampak pada petani,” katanya.
Bayu menambahkan, masalah utama di industri agritech adalah integritas mitra dan pengelolaan keuangan. “Banyak startup gagal karena kesalahan dalam memilih mitra yang tidak berkomitmen, atau karena kurang disiplin dalam manajemen cash flow,” ungkapnya. Elevarm mengatasi ini dengan fokus pada operational excellence dan seleksi mitra yang ketat.
“Kami belajar banyak dari agritech yang gulung tikar di Indonesia dan memastikan bahwa kami tidak melakukan kesalahan yang sama. Kami melihat peluang agritech di Indonesia masih sangat luas. Belum ada agritech yang berhasil bukan berarti tidak ada peluang sama sekali. Justru itu menjadi motivasi besar kami,” kata Bayu penuh semangat.
Liris juga menyoroti tantangan dalam mengubah paradigma petambak. Pihaknya pun perlu meyakinkan mereka bahwa teknologi bisa membantu meningkatkan hasil tambak. Proses edukasi ini memakan waktu, tetapi hasilnya sepadan.
Optimisme tetap menjadi bahan bakar utama bagi para pelaku agritech ini. Abdul melihat peluang besar dalam ekspansi pasar domestik, sementara Bayu sudah mulai menjangkau pasar internasional seperti Singapura dan Hong Kong.
Dengan pendanaan lebih dari US$ 16,3 juta, Liris berencana memperluas operasional Jala ke wilayah-wilayah potensial. Antara lain, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Ketiga agritech startup ini juga berbagi visi yang sama tentang keberlanjutan. Abdul menegaskan bahwa Lokatani ingin menjadi model bisnis pertanian yang bisa bertahan puluhan hingga ratusan tahun. “Orang tetap butuh makan, dan pertanian adalah fondasi ketahanan pangan,” ujarnya tandas.
Bayu menambahkan, Elevarm akan terus berinvestasi dalam riset untuk mendukung praktik agrikultur modern yang ramah lingkungan. Liris, di sisi lain, berfokus pada penciptaan ekosistem tambak yang efisien melalui pendekatan data-driven.
Transformasi yang dibawa oleh Lokatani, Elevarm, dan Jala Indonesia tidak hanya berdampak pada sektor agrikultur. Namun, juga menunjukkan bahwa inovasi teknologi dapat menciptakan perubahan nyata. Dari ladang hidroponik hingga tambak udang, generasi baru ini membuktikan bahwa sektor agrikultur Indonesia memiliki masa depan yang cerah, dengan peluang besar untuk terus berkembang secara berkelanjutan.
Abdul, Bayu, dan Liris adalah generasi baru agrikultur Indonesia. Mereka membawa semangat inovasi untuk memastikan bahwa petani dan petambak menjadi bagian dari solusi, bukan hanya sekadar pelaku. (*)