Perjalanan Kopi Kintamani: dari Tanaman Sela ke Panggung Dunia
Kopi Kintamani merupakan salah satu kopi khas Indonesia menjadi daya tarik global. Ditanam di dataran tinggi Kintamani, Bali, kopi ini dikenal dengan cita rasa unik berciri khas buah-buahan (citrusy).
I Gusti Ngurah Rupa, Perwakilan dari Unit Usaha Produktif Catur Paramitha di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali bercerita sebenarnya sejak dahulu, masyarakat sudah menanam kopi namun belum melakukan budidaya. Kopi hanya ditanam sebagai tanaman sela untuk menahan tanah. Karena pada saat itu tanaman pokok petani berupa jagung dan kedelai.
“Memang nenek moyang kami sudah menanam kopi, cuma belum berbudidaya. Kan beda, menanam sama budidaya itu beda,” jelasnya kepada swa.co.id saat ditemui di Kintamani, Bali, beberapa waktu lalu.
Perkembangan Bisnis Kopi Kintamani
Masyarakat mulai berbudidaya kopi sejak adanya proyek pemerintah bernama PRPTI (Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Industri). Dalam program ini, pemerintah memperkenalkan cara budidaya kopi. Saat itu petani mulai mempelajari budidaya kopi termasuk pemilihan varietas bibit. Namun saat itu, belum memikirkan kualitas dari kopi tersebut.
“Kopi kita belum memperhatikan kualitas, sudah matang bener atau baru setengah matang bahkan masih hijau sudah kita petik waktu itu, ” ungkapnya.
Berjalannya waktu, di tahun 2002, petani kopi mulai dibanjiri permintaan dengan kualitas tinggi. Sejak itu, masyarakat mulai memperhatikan kualitas kopi dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh berbagai pihak.
Menurutnya, pascapanen menjadi kunci dalam membangun cita rasa kopi. Proses fermentasi yang tepat menghasilkan cita rasa spesifik, seperti rasa asam citrus pada kopi Kintamani. Proses pengeringan dilakukan di atas para-para (jaring) dengan jarak tertentu dari tanah untuk menghindari aroma asing yang dapat merusak kualitas.
Selain proses budidaya dan pascapanen, tahapan roasting juga menentukan cita rasa akhir kopi. Tingkat roasting, seperti light, medium, atau dark roast, memengaruhi keseimbangan asam, manis, dan pahit dalam kopi. Setiap roaster memiliki metode khas yang dapat mengubah karakter rasa kopi, meskipun berasal dari bahan baku yang sama.
Permodalan Perbankan
Kemudian, melihat adanya potensi bisnis di industri kopi, pada tahun 2009 terjadi interaksi antara petani, BUMN dan perbankan untuk memberikan akses permodalan kerja. Sebelumnya para petani ini masih takut untuk menggunakan uang bank dan menurutnya, bahkan bank pun tidak terlalu berani investasi di kopi karena adanya ketakutan terhadap ketidakpastian hasil panen.
Tetapi setelah mengetahui bahwa petani kopi ini sudah melakukan budidaya kemudian pasca panen yang benar, memiliki mutu yang bagus dan permintaan pasar yang tinggi baik di lokal bahkan global, perbankan juga mulai berani memberikan akses permodalan.
“Bahkan sekarang kalau kita mengakses perbankan itu sudah bisa dengan surat keterangan berkebun saja, sudah bisa mengakses perbankan terutama KUR,” tuturnya.
Dia menyebutkan, melalui KUR, petani bisa mendapatkan pinjaman mulai dari Rp10 juta hingga Rp25 juta, dengan plafon maksimal Rp100 juta tanpa jaminan. Di tahun 2017, Jamkrindo hadir untuk memberikan akses kredit murah dengan bunga yang sangat murah dengan nilai Rp 1 miliar untuk 32 orang di dalam kelompok taninya. Dana tersebut digunakan untuk membeli pupuk dan pengelolaan kebun.
Menurutnya, berkebun kopi memerlukan investasi besar dan waktu yang cukup lama sebelum menghasilkan. "Dari penanaman hingga panen, butuh waktu 3 tahun, sementara hasil maksimal baru bisa dicapai setelah 6 tahun," jelasnya.
Bahkan untuk investasi awal di pertanian kopi bisa mencapai Rp40-50 juta per hektar yang mencakup untuk pembelian bibit, pengolahan lahan, pemupukan, dan pemangkasan. Biaya itu tidak kembali dalam 5 tahun pertama, karena kopi memerlukan pemeliharaan terus-menerus.
Dengan adanya dukungan pemerintah dan perbankan ini menciptakan sinergi yang mendukung keberlanjutan pertanian kopi. Dengan akses permodalan yang lebih mudah dan bantuan alat yang memadai, petani kini lebih percaya diri untuk mengembangkan usaha mereka, sekaligus meningkatkan kualitas kopi yang dihasilkan.
Dalam kondisi ideal, satu hektar kebun dapat menghasilkan 4-5 ton glondong merah per tahun. Saat ini, di Desa Wanasari Kenjung, dia memimpin delapan kelompok tani dengan 57 anggota yang melola sekitar 350 hektare lahan kopi. Setiap tahunnya, rata-rata menghasilkan 45 ton cherry merah.
Tantangan Petani Kopi
I Gusta menjelaskan bahwa tantangan cuaca juga menjadi faktor penting yang memengaruhi produktivitas. Meski demikian, dengan dukungan pemerintah, akses permodalan, dan teknik pengolahan modern, dia optimistis dukungan ini akan terus mendorong kopi lokal, seperti kopi Kintamani, untuk bersaing di pasar global.
Selain itu, hambatan terbesar lainnya adalah keterbatasan modal kerja. Dia menyebutkan untuk memproses ceri kopi dari lahan seluas 1 hektar, dibutuhkan biaya signifikan.
"Jika harga ceri kopi berada di angka Rp10 ribu/kg, dengan hasil panen 4 ton, petani hanya memperoleh Rp40 juta. Jumlah itu juga masih harus dipotong biaya operasional kebun dan kebutuhan hidup sehari-hari," ungkapnya.
Selain itu, investasi untuk membeli mesin pengolahan kopi atau meningkatkan infrastruktur juga sering kali tidak terjangkau bagi kelompok tani. Oleh karena itu, menurutnya, kemitraan dengan perbankan, BUMN, atau lembaga keuangan seperti Jamkrindo menjadi solusi penting.
Pasar dan Permintaan Kopi Kintamani
Kopi Kintamani tidak hanya diminati di pasar lokal seperti Bali, Surabaya, dan Jakarta, tetapi juga diekspor ke negara-negara seperti Jepang dan Australia. Meski memiliki potensi besar, ekspor sering kali menghadapi tantangan seperti sertifikasi dan regulasi internasional. Untuk mengatasi hambatan ini, kelompok tani bekerja sama dengan eksportir yang memiliki pengalaman di pasar global.
Di pasar lokal, kopi Kintamani dijual dengan merek Kopi Arabika Kintamani Jempolan. Harga roasted bean Rp200 ribu per kg, dan bubuk kopi Rp225 ribu per kg.
Ke depannya, dia meyakini tren kopi di Indonesia bahkan di dunia terus meningkat sehingga permintaanya setiap tahun pun semakin tinggi. Hal ini, mendorong kelompok taninya untuk menghasilkan kopi yang berkualitas tinggi sehingga mulai dari budidaya yang menggunakan benih unggul hingga memperhatikan tahapan-tahapan pascapanen.
Ia juga berharap bisa bekerjasama dengan para mitra dan pemerintah daerah melalui pembinaan-pembinaan baik budidaya maupun pascapanen, mengingat adanya perkembangan teknologi di industri kopi. (*)