Magpie Ungkap 8 Tren Komunikasi Bisnis Tahun Ular Kayu 2025

null
Milenial dan Gen Z akan lebih loyal kepada perusahaan yang membantu mereka berkontribusi terhadap permasalahan sosial dan lingkungan. (Foto: Magpie)

Seperti ular yang berganti kulit, komunikasi bisnis harus bertransformasi di Tahun Ular Kayu 2025 untuk menjangkau generasi digital native yang diproyeksikan mendominasi 75% angkatan kerja global. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan komposisi penduduk di Indonesia kini didominasi oleh Generasi Z dan Milenial masing-masing sebesar 27,94% dan 25,87%.

Magpie Public Relations pun membantu para pemilik brand dan pengambil keputusan menaklukkan tantangan di era baru ini. Melalui riset dan analisis komprehensif, Magpie mengungkap 8 tren komunikasi bisnis yang akan mendominasi tahun ini.

“Sebanyak 83% generasi milenial menginginkan brand yang lebih ethical. Mereka akan lebih loyal kepada perusahaan yang membantu mereka berkontribusi terhadap permasalahan sosial dan lingkungan,” ungkap Ibnu Haykal, Direktur Magpie Public Relations, dikutip Sabtu, 11 Januari 2025.

Tahun 2025 menjanjikan dinamika bisnis dan ekonomi yang menarik. Lebih dari itu, tahun ini menyambut Tahun Ular Kayu dalam astrologi Tionghoa yang dimulai pada 29 Januari 2025 dan berakhir pada 16 Februari 2026.

Shio ular dikenal dengan intuisi tajam, kemampuan analitis, dan perencanaan yang matang. Elemen kayu menambahkan karakter fleksibel, kreatif, dan rasa ingin tahu yang tinggi. Kombinasi ini menghasilkan energi unik yang berpotensi membawa perubahan signifikan. Tahun ini kian istimewa dengan kehadiran dua "lichun" atau awal musim semi yang dipercaya membawa keberkahan berlipat.

Di tengah aura fleksibilitas dan kreativitas yang dibawa elemen kayu, dunia digital pun tak luput dari perubahan. Namun, seperti ular yang menyembunyikan bisa di balik sisiknya yang indah, panggung digital 2025 menyimpan jebakan-jebakan mematikan bagi para brand. Satu kesalahan fatal bisa membuat reputasi dan kepercayaan konsumen hancur berantakan.

Haykal juga mengungkapkan lima kesalahan strategi marketing yang menjadi kecelakaan bagi brand-brand ternama sepanjang 2024 dan perlu diwaspadai pada 2025: pertama, mengabaikan riset dan pemahaman audiens.

Kesalahan pertama yang sering dilakukan adalah mengabaikan riset dan pemahaman mendalam tentang target audiens. Data dari SproutSocial (2023) menunjukkan bahwa 64% konsumen menginginkan brand memahami kebutuhan mereka dan memberikan pengalaman yang personal.

Kedua, konten yang tidak autentik dan tone deaf. Keaslian dan kepekaan sosial menjadi semakin penting bagi konsumen modern. Survei Edelman Trust Barometer (2024) menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap brand menurun, salah satunya disebabkan oleh persepsi bahwa brand lebih mementingkan profit daripada nilai-nilai sosial.

Ketiga, respons yang lambat dan tidak efektif terhadap krisis. Di era media sosial, krisis dapat menyebar dengan cepat dan luas. Penelitian dari Institute for Crisis Management menunjukkan bahwa perusahaan yang merespons krisis dengan cepat dan transparan memiliki peluang lebih besar untuk memulihkan reputasi mereka. Sayangnya, banyak brand yang gagal dalam hal ini.

Keempat, influencer marketing yang tidak tepat. Meskipun influencer marketing dapat menjadi strategi yang efektif, pemilihan influencer yang tidak tepat dapat berakibat fatal.

Nielsen melaporkan bahwa 92% konsumen lebih percaya pada rekomendasi dari individu yang mereka kenal, termasuk influencer, dibandingkan dengan iklan tradisional.

Kelima, greenwashing. Semakin banyak konsumen yang peduli terhadap isu lingkungan, dan brand seringkali memanfaatkan sentimen ini. Survei dari TerraChoice menemukan bahwa 95% produk yang mengklaim "ramah lingkungan" ternyata melakukan greenwashing. Praktik greenwashing ini dapat merusak kepercayaan konsumen dan merugikan brand dalam jangka panjang.

“Dari jebakan greenwashing hingga pentingnya memahami zilenial, jelaslah bahw strategi marketing modern menuntut pendekatan yang cerdas dan adaptif. Untuk itu, kami memberikan panduan holistik yang dirancang khusus dalam membantu para pemilik brand dan pembuat keputusan dalam menavigasi era transformasi digital ini. Panduan ini mengungkap delapan tren kunci untuk meraih hati dan pikiran generasi millenial dan Z,” jelas Haykal.

1. Millenial: generasi penentu yang mendominasi 75% tenaga kerja global

2. Metaverse: membangun brand di dunia virtual, 40% perusahaan global akan terlibat di 2025.

3. Autentik: kunci membangun kepercayaan, 70% konsumen lebih percaya pada brand yang orisinal.

4. AI for PR: 80% bisnis akan menggunakan Artificial Intelligence di 2025 untuk mengoptimalkan komunikasi dan menjangkau milenial secaraa efektif.

5. Video pendek: 70% pengguna internet menonton video online tiap minggu. Tentu ini acara jitu meraih perhatian segmen pasar gen Z.

6. Hyperlocal: 90% konsumen lebih terhubung dengan brand yang memahami budaya lokal, menyesuaikan pesan dengan konteks lokal di Indonesia.

7. CEO dan karyawan sebagai brand ambassador: meningkatkan engagement dan reputasi

8. Komunikasi krisis: benteng terakhir melawan serangan siber

Suci Marini Novianty M.Si, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya di Tangerang, mengungkapkan, gen Z dan milenial memiliki karakteristik unik dalam pola komunikasi mereka yang mengutamakan keaslian, preferensi terhadap pengalaman digital yang interaktif, dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial seperti keberlanjutan dan inklusi. Pendekatan berbasis metaverse dan AI for PR diperlukan untuk memenuhi kebutuhan generasi yang semakin digital-savvy.

“Namun, keberhasilan implementasi strategi ini memerlukan fokus pada konten yang tidak hanya imersif tetapi juga genuine dan bermakna. Generasi ini memiliki kepekaan yang tinggi terhadap 'gimmick' atau upaya promosi yang tidak selaras dengan nilai mereka, sehingga pengelolaan narasi merek yang otentik menjadi sangat penting,” ungkap Suci .

Selain itu, strategi hyperlocal adalah salah satu kekuatan utama yang relevan dengan konteks Indonesia. Menyesuaikan pesan komunikasi dengan budaya lokal tidak hanya memperkuat koneksi emosional dengan audiens, tetapi juga menunjukkan penghormatan terhadap keberagaman budaya yang ada. Kolaborasi dengan influencer lokal juga dapat memperluas jangkauan dengan cara yang lebih personal dan terpercaya.

Perusahaan juga harus berhati-hati dalam CEO activism dan employee advocacy. Meskipun langkah ini dapat meningkatkan reputasi, konsistensi antara tindakan perusahaan dengan pesan yang disampaikan sangat penting untuk menghindari tuduhan 'performative activism', tindakan aktivisme yang lebih berfokus pada penampilan atau pertunjukan daripada pada tindakan nyata yang menghasilkan perubahan sosial yang signifikan. (*)

# Tag