Asep Rahmat Suwandha: Kembangkan Solusi Keuangan Berbasis Data di BPJS Ketenagakerjaan

null
Asep Rahmat Suwandha, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko BPJS Ketenagakerjaan (Foto: BPJS Ketenagakerjaan)

Pengelolaan keuangan di BPJS Ketenagakerjaan hampir sama dengan perusahaan lain pada umumnya. Namun, adanya regulasi menjadi tantangan tersendiri.

Asep Rahmat Suwandha yang menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko BPJS Ketenagakerjaan sejak 2021, mengidentifikasi sejak awal, ada beberapa hal yang menjadi karakteristik khusus perusahaannya yang menjadi tantangan.

Tantangan pertama, perusahaan ini memiliki enam entitas berbeda untuk pelaporan keuangan. Kedua, pengelolaan kustodian belum efektif dan efisien. Ketiga, kurangnya efektivitas fungsi kanal pembayaran. Keempat, desentralisasi pembayaran klaim. Kelima, belum optimalnya kinerja penerimaan iuran. Keenam, belum optimalnya Sistem Penganggaran.

Karakteristik khusus pengelolaan keuangan BPJS Ketenagakerjaan ada beberapa. Di antaranya, setiap program diatur oleh Peraturan Perundangan yang berbeda. Dana Jaminan Sosial dan Dana Badan memiliki pengelolaan keuangan (iuran, investasi, jaminan) yang tidak diperbolehkan tercampur satu dengan yang lain.

Selain itu, alur dana tiap-tiap program dikelola secara transparan dan akuntabel, sehingga standar akuntansi yang digunakan juga berbeda, disesuaikan dengan karakteristik masing-masing. Selanjutnya, dilakukan audit untuk mendapatkan opini di setiap entitas program.

Menurut Asep, BPJS Ketenegakerjaan sebagai penyelenggara program jaminan sosial bertujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak. Adapun Jaminan Sosial Ketenagakerjaan meliputi lima program: Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Setelah empat tahun menjadi CFO BPJS Ketenagakerjaan, Asep memiliki beberapa kontribusi penting di BMUN ini. “Jadi, begitu saya masuk, saya identifikasi fungsi-fungsi keuangan di BPJS Ketenagakerjaan yang masih manual, banyak penekanan administratif, cukup birokratif, tradisional, dan prosesnya lama. Hal ini bisa saya ukur secara kuantitatif. Sementara, dari sisi yang lain, misalnya dari sisi improvement dari segi waktu, biaya, dan lain-lain, juga mengalami perbaikan,” katanya.

Contohnya, soal mekanisme pembayaran klaim. “Ketika saya dan tim masuk, masih desentralisasi di seluruh cabang, yang mana saat ini ada 1.920 rekening yang dikelola dan harus kami konsolidasi, rekonsiliasi setiap rekeningnya, dan seterusnya,” kata Asep yang sedang menempuh pendidikan S-3 Ilmu Manajemen di Universitas Negeri Jakarta, ini.

Hasilnya, saat ini rekening yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan menjadi tujuh. Ini awalnya menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan saldo yang mengendap, biaya yang besar, processing time yang lama, dan seterusnya.

Kemudian, berapa kaitannya dengan efisiensi biaya untuk di kustodi misalnya. Jadi, sekarang memakai single custody, sehingga bisa hemat anggaran dan waktu, serta banyak produk informasi yang dihasilkan dari sini.

Perihal kerjasama BPJS Ketenagakerjaan dengan kanal-kanal, tidak hanya dengan bank-bank besar, bank-bank nasional, tapi juga dengan BPD (bank pembangunan daerah), financial technology agregator, dan seluruh kanal yang ada.

Dari sisi accounting, sistem ini di awal memang jadi problem besar. Akhirnya, Asep dan tim menggunakan professional hire untuk merekrut deputi pengembangan information technology (IT) dan operasional IT. Salah satunya untuk membangun digitalisasi, termasuk di accounting information system yang selama ini masih customized, sehingga menghasilkan laporan keuangan yang agak terlambat, banyak sekali catatan dari auditor.

Soal splitting iuran juga sering jadi permasalahan dari sisi akurasi dan alokasi di lima program jaminan sosial yang sering salah. Maka, Asep pun melakukan perbaikan.

Untuk sistem penganggaran di BPJS Ketenagakerjaan, kata dia, tidak hanya bicara soal compliance. Institusi ini ingin menurunkan CPE (cost per engagement) dari tahun ke tahun, dan hal tersebut sudah disampaikan kepada Menteri Keuangan yang selalu bertanya berapa cost for account, pesertanya berapa, bagaimana soal efektivitas anggarannya berdasarkan rencana yang sudah dibuat, bagaimana komplainnya, dan bagaimana soal pencapaian tujuan organisasinya.

“Beberapa inovasi diluncurkan BPJS Ketenagakerjaan dengan melakukan shifting dari kondisi awal ketika kami masuk, seperti kondisi bookkeeper manual, secara administratif birokratif, tradisional, dan pelayanan lama, menjadi strategic pattern dan value driver. Ini tools yang dipakai adalah melakukan analisis, baik yang finansial maupun nonfinansial, resources management, serta mengembangkan banyak solusi berbasis data,” Asep menjelaskan.

Contohnya, saat melakukan analisis di konteks penganggaran, maka di penerimaan iuran, partner relation management, dan Key Performance Indicators setiap bulan di-capture dan dikomunikasikan ke seluruh kinerja unit, baik di pusat maupun di wilayah, berdasarkan beberapa aspek.

Selain itu, juga mengelola risiko yang menjadi top priority, misalnya soal gagal bayar, salah bayar, validitas data kepesertaan, serta opini audit yang berpengaruh terhadap reputasi. Dan, reputasi tersebut menjadi top risk yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

“Solusi-solusi yang kami lakukan terkait dengan governance sangat penting buat kami compliance, based on data. Jadi, decision making based on data, kemudian performance accelerators dan pengembangan integrated finance,” Asep menjelaskan.

Kunci penting dalam pengelolaan keuangan dan manajemen risiko, menurutnya, ada tiga. Pertama, know what you are doing, yakni memastikan bahwa kita sadar dan tahu dengan apa yang kita kerjakan dan aspek risikonya, tahu mitigasi dan dampaknya kalau itu dilakukan.

Kedua, get clean and stay clean. Jadi, kita dapat input data peserta iuran, termasuk vendor, manajemen yang mendapatkannya dengan bersih, dan bagaimana kita menjaganya di dalam tetap bersih.

Ketiga, kontrol trust but verify. Jadi, percaya soal teamwork dan segala macam, tapi kita harus melakukan verifikasi apa yang dilakukan.

Hingga September 2024, BPJS Ketenagakerjaan memiliki 5.412 karyawan yang jumlahnya terus menurun karena institusi ini menganut negative growth, seiring dengan digitalisasi dan sentralisasi operasional.

“Jadi, jumlah karyawan sudah berkurang lebih dari 500 orang sejak kami bergabung dan itu tersebar di kantor pusat, 11 kantor wilayah, dan 324 kantor cabang. Selain itu, kami juga punya unit layanan di daerah-daerah atau kabupaten yang belum memiliki kantor cabang, yaitu biasanya diletakkan di unit pelayanan publik atau di Dinas Tenaga Kerja,” ungkap Asep.

Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga memiliki kerjasama dengan 6.244 fasilitas layanan kesehatan, khususnya untuk program jaminan kecelakaan kerja. Selanjutnya, ada delapan balai atau lembaga pelatihan kerja.

Secara organisasi, BPJS Ketenagakerjaan, lewat Keputusan Dewan Jaminan Sosial Nasional, diminta untuk memberikan bukti kinerja atas lima hal. Pertama, coverage berapa banyak tenaga kerja yang dilindungi. Per September 2024 tercatat ada 40,15 juta tenaga kerja, dan ditargetkan di akhir periode tahun 2026 bisa mencapai angka 70 juta tenaga kerja.

Kedua, laporan jumlah iuran yang diterima BPJS Ketenagakerjaan dari peserta setiap tahun. Per September 2024 tercatat total iuran sudah mencapai Rp 78 triliun dari target Rp 107 triliun di akhir 2024.

Ketiga, laporan jaminan. Seberapa besar BPJS Ketenagakerjaan membayarkan manfaat untuk kelima programnya. Hingga September 2024, jumlah manfaat yang telah dibayarkan mencapai Rp 42,57 triliun dari angka yang ditargetkan Rp 62 triliun di tahun 2024.

Keempat, dana investasi. Seberapa besar BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana investasi atau AUM. Adapun per September 2024, lembaga ini sudah mengelola dana investasi sebesar Rp 776,76 triliun dari target hingga akhir tahun 2024 sebesar Rp 812,66 triliun. Adapun target hingga akhir 2026 sebesar Rp 1.000 triliun.

Kelima, hasil investasi. Jadi, setiap dana yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan diharapkan memberikan hasil investasi yang optimal. Hingga September 2024, hasil investasi lembaga ini mencapai Rp 38,45 triliun dari target Rp 55,28 triliun hingga akhir 2024. (*)