Pro Kontra THR untuk Pekerja Gig, Bagaimana Solusinya?
Belakangan tuntutan THR menjelang Lebaran untuk pekerja menjadi buah bibir yang hangat. Lantas, bagaimana untuk pekerja lepas atau mitra kerja di era ekonomi gig atau sejenisnya? Ekonomi gig adalah sistem ekonomi di mana individu bekerja secara fleksibel berdasarkan proyek, tugas, atau permintaan tertentu, tanpa adanya kontrak kerja tetap seperti dalam pekerjaan konvensional.
Pekerja gig adalah individu yang memperoleh penghasilan berdasarkan tugas atau proyek tertentu tanpa hubungan kerja tetap. Di Indonesia, mereka mencakup berbagai profesi, seperti mitra pengemudi, kurir, pekerja lepas (desainer, penulis, programmer), penyedia jasa (teknisi, tukang, tenaga kecantikan), pekerja kreatif (influencer, content creator), instruktur dan konsultan online, serta pelaku bisnis di ekosistem marketplace.
Penelitian terbaru yang dirilis oleh SBM ITB 2023 menunjukkan bahwa sektor ekonomi gig berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, sekitar Rp382,62 triliun atau setara dengan 2 persen dari total PDB Indonesia tahun 2022. Salah satu manfaat signifikan dari ekonomi gig bagi pekerja adalah kebebasan dalam menentukan waktu dan tempat kerja, yang tidak tersedia dalam pekerjaan formal.
Dengan fleksibilitas ini, banyak pekerja gig dapat menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan komitmen lain, seperti pendidikan, pengasuhan anak, atau pekerjaan sampingan lainnya. Selain memberikan fleksibilitas, ekonomi gig juga berkontribusi dalam pengembangan keterampilan pekerja. Dalam beberapa kasus, keterampilan yang diperoleh di sektor gig bahkan dapat membuka peluang bagi mereka untuk memulai usaha sendiri.
Polemik mengenai status mitra dan tuntutan pemberian THR kepada aplikator terus menjadi sorotan di berbagai media massa di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya ekonomi digital, muncul perdebatan mengenai apakah mitra pengemudi seharusnya diklasifikasikan sebagai pekerja tetap atau gig yang masih dalam hubungan kemitraan sebagaimana yang berlaku saat ini.
Terhadap tuntutan THR ini, pemerintah pun mulai terlibat dengan menciptakan beberapa inisiatif hingga berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital yang tentunya juga menuai pro dan kontra. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif. Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri ini ke depan.
Apalagi saat ini, perusahaan berbasis platform digital masih menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas.Bisa saja perusahaan memilih untuk menaikkan harga tarif layanan yang pada akhirnya berdampak pada konsumen. Perusahaan juga bisa melakukan penghapusan program-program benefit untuk mitra yang selama ini telah diberikan, atau bahkan terpaksa melakukan PHK secara massal untuk mengurangi biaya operasional.
Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara (Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia), menyampaikan berdasarkan pengalaman kasus di Inggris, ketika Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan bagi mitranya, harga layanan naik 10-20%. Namun, dampaknya adalah penurunan permintaan hingga 15%, yang justru merugikan pengemudi dan perusahaan. "Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, ada potensi efek domino yang dapat menekan industri ini secara keseluruhan," ujar Agung dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (26/2/2025),
Tuntutan THR bagi mitra pengemudi platform digital di Indonesia menimbulkan polemik di kalangan industri dan akademisi. Menurutnya, industri on-demand telah berupaya menjaga kesejahteraan mitra melalui berbagai program seperti bantuan modal usaha dan beasiswa. Ia mengingatkan bahwa regulasi yang tidak seimbang dapat menghambat pertumbuhan bisnis dan berisiko mengurangi program kesejahteraan jangka panjang bagi mitra.
“Selain itu, sektor ini telah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dengan fleksibilitas kerja yang menjadi daya tarik utama. Data menunjukkan bahwa jutaan pekerja gig, termasuk 1,8 juta di layanan ride-hailing, bergantung pada model bisnis ini, dan kebijakan yang tidak tepat dapat menyebabkan mereka kehilangan akses terhadap sumber pendapatan utama mereka,” jelas Agung.
Pakar hukum Prof. Dr. Aloysius Uwiyono dan ekonom Wijayanto Samirin menyebutkan, mitra pengemudi tidak memenuhi unsur hubungan kerja berdasarkan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku, sehingga THR tidak bisa dipaksakan tanpa implikasi hukum.
Hanif Dhakiri, mantan Menteri Ketenagakerjaan, menegaskan bahwa status kemitraan mitra pengemudi tidak menjadikan mereka berhak atas THR, dan kebijakan populis tanpa dasar hukum dapat merugikan iklim investasi serta keberlanjutan industri digital. Jika sektor ini terhambat akibat regulasi yang kurang tepat, jutaan mitra berisiko kehilangan akses terhadap pekerjaan fleksibel yang telah menjadi sumber penghidupan mereka.
Sebagai alternatif, dia menyarankan perlindungan sosial berbasis kontribusi bagi pekerja gig. Regulasi yang responsif dan inklusif menjadi kunci agar sektor ini tetap tumbuh tanpa mengorbankan kesejahteraan mitra maupun keberlanjutan industri.
Sejauh ini, setiap platform ride-hailing memiliki pendekatan unik dalam mendukung mitra pengemudi mereka. Grab menawarkan berbagai keuntungan melalui GrabBenefits, termasuk diskon servis kendaraan, asuransi kesehatan dan kecelakaan, akses kredit, serta dana santunan bagi keluarga mitra dalam situasi darurat.
Sementara itu, Gojek menitikberatkan pada perlindungan mitra dengan asuransi kecelakaan, posko aman, serta program loyalitas berbasis insentif. Mereka juga menawarkan bantuan finansial seperti sembako murah dan akses kredit, serta fasilitas tambahan seperti diskon merchant dan layanan GoPay.
Untuk Lalamove, mengutamakan bonus misi dan insentif bagi pengemudi berperforma tinggi, serta akses informasi pesanan untuk memaksimalkan penghasilan. Mereka juga bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaaan untuk perlindungan sosial dan memiliki program referral yang memberikan insentif kepada mitra yang mengajak rekan bergabung.
Aloysius mengatakan dialog yang terbuka tentang solusi menjadi hal penting agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, terlebih pada momen Lebaran. Dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan. Hal ini menjadi faktor utama dalam menarik minat pelaku usaha serta investor dalam jangka panjang. "Dalam konteks ini, peran pemerintah idealnya berfokus pada pengawasan untuk memastikan keseimbangan dan kepastian hukum tanpa melakukan intervensi langsung dalam hubungan privat kemitraan,” ujar Aloysius.
Wijayanto menekankan bahwa status mitra pengemudi bervariasi—sebagian menjadikannya pekerjaan utama, sementara lainnya sebagai pekerjaan sampingan. Oleh karena itu, solusi yang diterapkan harus mempertimbangkan kebutuhan yang beragam. Dia juga mengingatkan bahwa fleksibilitas merupakan daya tarik utama pekerjaan ini, dan jika mitra ingin diperlakukan seperti pekerja konvensional, mereka berisiko kehilangan fleksibilitas tersebut, atau bahkan jutaan mitra dapat kehilangan pekerjaan. (*)