Teknologi, Kemitraan, dan Keberlanjutan: Pilar Kesuksesan Sunpride Selama Tiga Dekade

null
Cindyanto Kristian (tengah) menjelaskan rencana-rencana ke depan di acara BizzComm Podcast (Foto: Teguh S. Pambudi/SWA)

Tiga puluh tahun lalu, Sunpride hanyalah nama kecil dalam industri agribisnis. Kini, merek ini mendominasi rak buah di supermarket, dari Jakarta hingga Singapura. Rahasianya? Inovasi tanpa henti dan keberanian membaca peluang.

Sewu Segar Nusantara, perusahaan di balik Sunpride, telah menunjukkan ketangguhan dalam membangun ekosistem buah berkualitas di Indonesia. Menjadi pemimpin pasar selama tiga dekade bukanlah hal yang mudah, tetapi strategi jangka panjang dan adaptasi terhadap tren telah membawa mereka ke puncak industri.

CEO Sewu Segar Nusantara, Cindyanto Kristian, mengungkapkan bagaimana perusahaannya berkembang dari sekadar produsen lokal menjadi pemain utama di pasar internasional. Perjalanan ini dimulai dengan banyak eksperimen.

“Awalnya kami menanam semangka dan bahkan sempat dijuluki Raja Semangka dari Lampung,” ujar Cindyanto dalam acara BizzComm Podcast, kolaborasi SWA dengan LSPR Faculty of Business yang tayang di kanal YouTube @swamediainc.

Namun, perjalanan menjadi pemimpin pasar tak selalu berjalan mulus. Saat mencoba peruntungan dengan semangka, mereka menghadapi tantangan besar dalam distribusi dan daya tahan produk. Sunpride butuh strategi baru — dan di situlah pisang Cavendish mulai menarik perhatian.

“Dulu, ketika orang Indonesia berbicara tentang pisang, pilihannya hanya dua: pisang emas dan pisang ambon. Pisang Cavendish? Hampir tidak dikenal. Namun, kami melihat celah — dan kami siap mengisinya,” lanjutnya.

Keputusan ini terbukti tepat. Dengan pisang Cavendish, Sunpride tidak hanya memperkuat posisinya di pasar domestik, tetapi juga membuka peluang ekspansi lebih luas. Untuk membangun skala bisnis yang lebih besar, mereka tidak hanya mengandalkan kebun sendiri tetapi juga membangun jaringan kemitraan dengan petani lokal.

“Kami bekerja sama dengan lebih dari 1.000 petani di berbagai daerah, seperti Lampung, Blitar, dan Bali,” jelas Cindyanto.

Strategi ini memungkinkan mereka memperluas produksi tanpa harus bergantung pada investasi lahan yang masif. Lebih dari sekadar kemitraan bisnis, perusahaan juga memberikan pelatihan dan teknologi kepada petani untuk memastikan standar kualitas yang seragam. Konsistensi kualitas inilah yang menjadi keunggulan Sunpride, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di pasar ekspor.

“Indonesia punya tanah yang subur, iklim yang ideal, dan petani yang andal. Ironisnya, konsumsi buah kita masih jauh di bawah standar WHO. Ini yang ingin kami ubah,” kata Cindyanto.

Dengan data konsumsi yang hanya mencapai 10% dari angka ideal, Sunpride mengadopsi strategi komunikasi dan edukasi yang lebih proaktif. Kampanye ini dilakukan secara digital maupun melalui berbagai saluran pemasaran, memungkinkan mereka menjangkau segmen pasar yang lebih luas.

Keberhasilan di pasar domestik mendorong Sunpride untuk merambah pasar global. Saat ini mereka telah mengekspor ke Malaysia, Singapura, Jepang, China, Korea, hingga Timur Tengah. Namun, ekspansi ini tidak terjadi begitu saja. Mereka harus melewati berbagai sertifikasi dan uji laboratorium. Bahkan, auditor luar negeri datang langsung ke kebun untuk memastikan standar kualitas mereka.

Upaya ini membuktikan bahwa kualitas produk yang baik bukan hanya persoalan produksi, tetapi juga kepercayaan yang dibangun dengan konsumen dan regulator di berbagai negara.

Dalam menghadapi tantangan industri, inovasi menjadi kunci utama. “Kami tidak bisa hanya mengandalkan metode 30 tahun lalu. Teknologi big data sangat membantu kami dalam memprediksi pola cuaca dan mengoptimalkan hasil panen,” jelasnya.

Dengan analisis data yang lebih akurat, mereka dapat merancang strategi produksi yang lebih efisien dan tahan terhadap fluktuasi alam. Sunpride juga melakukan diversifikasi produk, tidak hanya berhenti di buah segar, tetapi juga memperkenalkan lini produk seperti jus buah, dried fruit, hingga peternakan sapi untuk memanfaatkan limbah hasil panen. Langkah ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga membangun citra sebagai perusahaan yang berkomitmen terhadap keberlanjutan.

“Kami melihat generasi muda semakin sadar akan pola hidup sehat. Oleh karena itu, strategi komunikasi kami kini lebih berfokus pada media sosial dan influencer,” ujarnya.

Dengan pendekatan ini, Sunpride berhasil menjangkau segmen yang lebih luas dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konsumsi buah berkualitas. Kesadaran ini sejalan dengan misi perusahaan untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar yang lebih sehat dan lebih mandiri dalam produksi buahnya sendiri.

Meskipun telah sukses di pasar ekspor, Sunpride tetap memprioritaskan pertumbuhan di dalam negeri. “Kami ingin Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Dengan semakin banyak masyarakat yang mengonsumsi buah lokal, industri ini dapat berkembang lebih pesat,” tegas Cindyanto.

Dari semangka di Lampung hingga ekspor ke Jepang dan Timur Tengah, Sunpride bukan sekadar bisnis buah—ini adalah perjalanan membangun budaya makan sehat di Indonesia. Dan bagi Cindyanto, ini baru permulaan. (*)

# Tag