Tren Ekonomi Indonesia Kuartal I 2025: Antara Pertumbuhan dan Tantangan Fiskal

Ilustrasi pergerakan harga saham dan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Main Hall Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta pada Jumat (28/2/2025). Foto Nadia K. Putri/SWA
Ilustrasi pergerakan harga saham dan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Main Hall Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta pada Jumat (28/2/2025). Foto Nadia K. Putri/SWA

Pada Februari, Inflasi Indonesia adalah minus 0,1% secara tahunan, angka negatif pertama dalam lebih dari dua dekade terakhir, dari 0,8% di bulan Januari dan rata-rata tahun 2024 sebesar 2,3% secara tahunan. Penurunan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan didorong oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kontraksi rata-rata 0,6% secara bulanan di bulan Januari dan Februari. Salah satu pemicunya adalah diskon tarif listrik pemerintah untuk pelanggan tertentu yang berakhir bulan lalu.

Tidak hanya tarif listrik, disinflasi dari sisi penawaran tercermin dari penurunan rata-rata 7,7% secara tahunan pada inflasi yang diatur pemerintah di bulan Januari-Februari, yang mencerminkan harga yang dikendalikan oleh pemerintah, tercermin juga dari inflasi energi yang mengalami kontraksi rata-rata 16% secara tahunan pada periode yang sama. Harga bahan makanan pokok dan bahan makanan tidak tahan lama juga turun, meskipun kenaikan harga pada segmen makanan tertentu (seperti cabai) sudah terlihat pada minggu lalu.

Inflasi inti melampaui inflasi umum yang naik 2,5% secara tahunan, menandakan kekuatan dari sisi permintaan yang stabil. Seiring dengan berlalunya dampak subsidi listrik, DBS Group Research memperkirakan inflasi umum akan kembali turun, kembali ke target Bank Indonesia (BI) sebesar 1,5-3,5%.

“Awal yang lemah pada inflasi tahun ini dan asumsi bahwa inflasi akan kembali ke target mengharuskan DBS Group Research untuk merevisi ke bawah perkiraan tahunan menjadi 1,2% secara tahunan vs 2,2% sebelumnya,” kata Radhika Rao, Senior Economist Bank DBS, Rabu (5/3/2025).

Terkait implikasi kebijakan, Bank Indonesia akan mempertimbangkan berbagai tujuan. Tren deflasi menandakan urgensi untuk menurunkan suku bunga, tetapi rupiah tetap rentan terhadap pergerakan dolar (minggu lalu, Rupiah jatuh ke posisi terendah sejak Covid), terus mempertahankan posisinya sebagai regional yang berkinerja buruk dengan penurunan sebesar 2,3% pada tahun berjalan (year to date).

Secara terpisah, seorang staf Presiden menyatakan bahwa BI telah berkomitmen untuk membeli obligasi senilai Rp130 triliun untuk membiayai program stimulus perumahan pemerintah tahun ini. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran atas monetisasi utang secara de facto.

Selain itu, indeks saham domestik melonjak tajam kemarin, menjadi kenaikan terbesar dalam lima tahun terakhir, karena adanya aksi jual saham, setelah pasar tergelincir ke dalam bearish market minggu lalu. Dalam menghadapi pasar yang bergejolak, regulator keuangan menunda rencana untuk memperkenalkan short selling hingga akhir tahun ini, dibandingkan dengan jadwal triwulan kedua sebelumnya.

Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan keempat tahun 2024 membaik menjadi US$1,1 miliar (0,3% dari PDB) dari sebelumnya US$2 miliar (0,6% dari PDB) pada triwulan ketiga. Namun, defisit transaksi berjalan sepanjang tahun 2024 melebar menjadi US$8,9 miliar (0,6% dari PDB) dibandingkan US$2 miliar (0,1% dari PDB) pada tahun 2023. Pelebaran ini disebabkan oleh surplus perdagangan barang yang lebih kecil, kesenjangan pendapatan primer yang meningkat, dan defisit jasa yang lebih luas.

Secara keseluruhan, surplus neraca pembayaran mencapai US$7,2 miliar pada tahun 2024, lebih tinggi dibandingkan US$6,3 miliar pada tahun 2023. Kenaikan ini didorong oleh peningkatan arus masuk investasi asing (FDI), program pembiayaan eksternal, dan arus portofolio yang positif.

“Bank sentral memproyeksikan defisit transaksi berjalan pada 2025 berada dalam kisaran minus 0,5% hingga minus 1,3% dari PDB, dengan perkiraan DBS Group Research berada di titik tengah kisaran tersebut. Stabilitas neraca perdagangan eksternal menjadi faktor positif bagi aset rupiah,” ungkapnya.

Prospek Fiskal

Defisit fiskal Indonesia tahun 2024 ditutup pada -2,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih sempit dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar minus 2,7%, didukung oleh kenaikan pendapatan sebesar 2,0% dan lonjakan pengeluaran sebesar 7,3%. Sebagian besar perluasan yang diasumsikan pada defisit 2024 (vs defisit 2023 sebesar minus 1,6%) disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk mengakomodasi program-program unggulan pemerintah yang akan datang. Namun, pengeluaran bersih kemudian dipangkas untuk membatasi skala selisih defisit.

Perkiraan defisit tahun 2025 adalah minus 2,5% dari PDB, bertumpu pada pendapatan yang lebih tinggi untuk mendanai program-program kesejahteraan dan belanja sosial. Namun, sebuah jalan untuk meningkatkan pendapatan sepertinya akan mengecewakan setelah peluncuran kenaikan tarif PPN sebesar 1% yang dijadwalkan secara luas ditunda, dan hanya memberlakukan kenaikan tersebut pada barang dan jasa mewah.

“Para pejabat saat ini berharap untuk mengumpulkan Rp1,5-3,5 triliun dalam bentuk penerimaan tambahan vs potensi Rp15 triliun pada peluncuran yang lebih luas. Para pejabat harus menyeimbangkan antara kebutuhan untuk meningkatkan pengumpulan pajak dan juga memperhatikan kebutuhan untuk mempertahankan daya beli rumah tangga berpenghasilan rendah, mengingat sifat pajak tidak langsung yang regresif,” ucapnya. (*)

# Tag