Deindustrialisasi Dini dan Risiko Indonesia Terjebak dalam Middle-Income Trap: Peran Ekonomi Gig

null
Erry Donneli (Dok. Pribadi)

Indonesia tengah menghadapi fenomena deindustrialisasi dini, di mana peran sektor manufaktur dalam perekonomian menurun sebelum negara mencapai status negara maju. Pada saat yang sama, gig economy berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi digital dan meningkatnya jumlah pekerja informal.

Namun, apakah ekspansi ekonomi gig dapat menggantikan peran sektor manufaktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, atau justru memperburuk risiko middle-income trap?

Deindustrialisasi Dini di Indonesia

Data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia turun dari 30% pada awal 2000-an menjadi hanya 18,67% pada tahun 2023.

Meskipun saat ini mulai mengalami peningkatan tahun 2024 sebesar 18,98% namun kontribusi ini belum signifikan. Penurunan ini mengindikasikan bahwa Indonesia semakin bergantung pada sektor jasa, termasuk ekonomi gig, sebelum mencapai tingkat industrialisasi yang optimal.

Deindustrialisasi dini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang karena produktivitas sektor jasa lebih rendah dibandingkan manufaktur. Minimnya penciptaan lapangan kerja berkualitas tinggi juga menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi serta masih banyaknya ketergantungan pada tenaga kerja informal yang tidak memiliki jaminan sosial.

Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia berisiko mengalami stagnasi ekonomi dan terjebak dalam middle-income trap, di mana negara gagal naik ke level pendapatan tinggi karena lemahnya basis industri.

Pertumbuhan Ekonomi Gig: Peluang atau Ancaman?

Ekonomi gig mengalami pertumbuhan signifikan di Indonesia. Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2019, terdapat antara 430 ribu hingga 2,3 juta orang yang bekerja di sektor gig sebagai mata pencaharian utama, setara dengan 0,3-1,7 persen dari total angkatan kerja di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sekitar 1,2 juta pekerja gig bekerja di sektor transportasi, sementara sisanya berada di sektor jasa lainnya. Fleksibilitas kerja dalam ekonomi gig memungkinkan pekerja menentukan jam kerja sendiri, sehingga menjadi alternatif bagi mereka yang kehilangan pekerjaan selama pandemi COVID-19.

Selain itu, akses yang lebih luas ke layanan digital telah meningkatkan konsumsi digital, mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk masuk ke ekosistem e-commerce. Pada tahun 2023, sebanyak 22 juta UMKM telah bergabung dalam ekonomi digital, atau sekitar 33,6 persen dari total UMKM, dengan target pemerintah mencapai 30 juta UMKM digital pada tahun 2024.

Namun, di balik manfaatnya, ada beberapa tantangan besar dalam ekonomi gig seperti minimnya Perlindungan Sosial. Banyak pekerja gig belum terlindungi oleh program jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Menurut data BPS per 31 Desember 2024, dari 61,08 juta pekerja informal yang memenuhi syarat, baru sekitar 9,9 juta yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, dengan hanya 3,1 juta di antaranya merupakan pekerja rentan. Artinya, sekitar 27 juta pekerja rentan belum mendapatkan perlindungan jaminan sosial.

Salah satu pekerja Gig saat ini adalah Ojek Online (Ojol) dimana berdasarkan informasi mengenai penurunan pendapatan rata-rata pengemudi ojek online di Jakarta dari Rp6 juta pada 2018 menjadi Rp3,5 juta pada 2023 meskipun data tersebut belum dapat diverifikasi secara spesifik.

Namun, secara umum, pekerja gig sering menghadapi ketidakpastian pendapatan akibat faktor seperti perubahan kebijakan platform dan peningkatan jumlah mitra.

Kemudian, status pekerja gig sebagai kontraktor independen membuat mereka tidak memiliki jaminan kerja yang stabil, sehingga menyulitkan akses ke fasilitas keuangan seperti pinjaman atau kredit perumahan

Dampak Ekonomi Gig terhadap Middle-Income Trap

Alih-alih membantu Indonesia keluar dari middle-income trap, ekonomi gig justru berpotensi memperburuk ketimpangan sosial dan memperlambat pertumbuhan ekonomi karena pekerja gig sulit meningkatkan keterampilan mereka ke pekerjaan berupah tinggi karena sistem kerja berbasis tugas jangka pendek.

Ekonomi berbasis manufaktur lebih stabil dalam menciptakan lapangan kerja produktif dibandingkan sektor jasa informal. Peningkatan jumlah pekerja informal mengurangi penerimaan pajak negara, yang seharusnya digunakan untuk investasi dalam infrastruktur dan pendidikan.

Cara untuk menghindari dampak negatif deindustrialisasi dini dan ekonomi gig, Indonesia perlu merancang kebijakan yang menyeimbangkan keduanya. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain dengan merevitalisasi manufaktur dimana Pemerintah harus memberikan insentif pajak bagi industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Lalu, meningkatkan investasi dalam teknologi industri 4.0 agar manufaktur tetap kompetitif.

Regulasi dan perlindungan pekerja gig juga harus jelas. Perlu menerapkan skema jaminan sosial wajib bagi pekerja gig, seperti BPJS Ketenagakerjaan. Kemudian, menetapkan standar upah minimum dan jam kerja yang lebih adil bagi pekerja ekonomi digital. Juga, program pelatihan ulang bagi pekerja gig agar mereka dapat beralih ke pekerjaan lebih produktif.

Deindustrialisasi dini adalah ancaman nyata bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara ekonomi gig memberikan solusi jangka pendek terhadap pengangguran, ia tidak bisa menjadi solusi utama untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Indonesia harus membangun kembali sektor manufaktur yang kuat sambil memastikan pekerja gig mendapatkan hak-hak dasar mereka. Jika tidak diatasi dengan kebijakan yang tepat, ekonomi gig justru bisa memperparah jebakan pendapatan menengah dan menghambat Indonesia dalam mencapai status negara maju. (*)

Penulis: Erry Donneli, akademisi dan peneliti independen di LECO

# Tag