President University Kukuhkan Dua Guru Besar dalam Bidang Manajemen Keuangan

null
Pengukuhan guru besarnya bidang manajemen keuangan President University (Presuniv) di Hotel Holiday Inn, kawasan industri Jababeka, Cikarang, Bekasi. (Foto: Presuniv).

President University (Presuniv) mengukuhkan dua guru besarnya dalam bidang manajemen keuangan yaitu Prof. Chandra Setiawan, dan Prof. Purwanto, keduanya dosen di Fakultas Bisnis.

Prosesi pengukuhan dilakukan dalam sidang senat terbuka yang dipimpin oleh Ketua Senat, yang juga Rektor Presuniv, Handa S. Abidin, di Hotel Holiday Inn, kawasan industri Jababeka, Cikarang, Bekasi.

Jony Oktavian Haryanto, Sekretaris YPUP, dalam sambutan pembuka berharap sebagai guru besar, salah satu perannya adalah membawa kampusnya menjadi yang terdepan dalam mengembangkan riset dan pengabdian kepada masyarakat.

“Dengan dikukuhkannya Chandra dan Purwanto sebagai guru besar, saat ini Presuniv memiliki lima profesor yang dikukuhkan secara langsung oleh Presuniv,” kata Jony dalam siaran pers yang diterima swa.co.id, Senin (17/3).

Dalam orasi ilmiahnya sebagai guru besar, Chandra membahas Penyebab Kredit Macet (NPL/NPF) dan Efisiensi Bank: Perbandingan Bank Islam dan Konvensional di Asia, Timur Tengah plus Turkey.

Menurut Chandra, ada dua faktor yang mempengaruhi kegagalan bank, yakni tingginya angka pinjaman bermasalah (non-performing loan atau non-performing financing, NPL atau NPF) dan rendahnya tingkat efisiensi biaya yang merupakan proksi dari kualitas manajemen.

“Manajemen yang buruk jelas akan meningkatkan kemungkinan kegagalan bank,” katanya.

Diakui Chandra, risetnya mencakup analisis biaya dan efisiensi laba pada 767 bank konvensional dan 147 bank Islam di negara-negara yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam. Negara-negara itu terbagi dalam wilayah Asia (Bangladesh,Indonesia, Malaysia dan Pakistan), Timur Tengah (Bahrain, Yordania, Kuwait, Mauritania, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yaman), dan Turkey.

Chandra menambahkan analisisnya menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan non-parametrik untuk tahap pertama. Sedangkan tahap kedua, data dianalisis dengan model ekonometrik sederhana. Di tahap ini Chandra menganalisis hubungan antarwaktu NPL/NPF dengan efisiensi biaya serta efisiensi laba bank-bank konvensional dan bank-bank Islam.

Dalam risetnya, Chandra menggunakan empat hipotesis. Pertama, hipotesis “nasib buruk” atau bad luck yang dipicu oleh faktor eksternal. Faktor ini tidak dapat dikendalikan oleh manajemen bank.

Hipotesis kedua adalah “manajemen yang buruk" atau bad management. Rendahnya efisiensi perbankan adalah sinyal praktik manajemen bank yang buruk, seperti adanya permasalahan di pinjaman. Padahal, masalah pinjaman mestinya dapat dikendalikan oleh manajemen bank. Apalagi itu sudah menjadi kegiatan sehari-hari dalam bisnis perbankan.

Hipotesis ketiga, penghematan atau skimping. Menurunnya alokasi sumber daya untuk penjaminan dan pemantauan pinjaman bisa memengaruhi kualitas pinjaman.

Bank yang ingin memaksimalkan laba, menurut Chandra, bisa saja menekan biaya dalam jangka pendek dengan menurunkan alokasi sumber daya untuk penjaminan atau pemantauan pinjaman.

“Ini bisa berpotensi buruk terhadap kinerja pinjaman di masa depan,” katanya.

Keempat, perilaku tidak bermoral atau moral hazard. Di sini, bank-bank bermodal kecil meningkatkan risiko pinjamannya, sehingga menyebabkan pinjaman bermasalah menjadi lebih tinggi di masa mendatang.

Hasilnya, menurut Chandra, bank -bank konvensional di kawasan Asia ternyata memiliki rasio NPL 8,813%, sedangkan bank-bank Islam 6,596%. Data itu menunjukkan bahwa untuk kawasan Asia, rasio NPL atau kredit bermasalah dari bank-bank Islam lebih rendah ketimbang bank konvensional.

Akan tetapi,bank-bank konvensional di Asia ternyata memiliki skor efisiensi biaya 95%, lebih tinggi ketimbang bank-bank Islam yang 87,3%. Sedangkan untuk kawasan Timur Tengah dan Turkey, gambarannya kurang lebih sama.

Rasio NPL bank-bank konvensional di Timur Tengah dan Turkey mencapai 8,264%, atau lebih tinggi ketimbang bank-bank Islam yang 7,969%. Sementara, efisiensi biaya dari bank-bank konvensional, lanjutnya, mencapai 93,7%, lebih tinggi dari bank-bank Islam yang 88,4%.

Lain halnya dengan Purwanto dalam paparannya mengungkapkan pemerintah menggunakan layanan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), termasuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan.

Riset Purwanto fokus pada Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dan Koperasi Syariah (Kopsyah). Mengingat segmen pasar BMT dan Kopsyah memang masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah.

“Semakin kecil angsuran pinjaman, layanan BMT dan Kopsyah akan dapat menjangkau lebih banyak masyarakat miskin,” katanya.

Dengan profit margin yang kecil, berkisar 3%, menurut Purwanto, LKMS membutuhkan volume yang besar agar bisa beroperasi dengan efisien. Jika volume bisnisnya terlalu kecil, dari sisi operasional menjadi tidak efisien.

Untuk memperbesar volume, salah satu caranya adalah dengan menambah jumlah cabang. Namun, ia menekankan bahwa penambahan jumlah cabang akan efisien bila diikuti dengan penambahan jumlah layanan dan peminjam. “Itu bisa dilakukan dengan perluasan usaha, penambahan portofolio, pembiayaan dan pengerjaan proyek di berbagai sektor.

Di sisi lain, jika BMT dan Kopsyah menargetkan profit yang terlalu tinggi, itu akan membuat biaya pinjaman juga meningkat. Kalau biaya pinjaman terlalu tinggi, masyarakat jelas tidak akan memilih layanan tersebut karena dianggap terlalu eksploitatif atau menyerupai sistem suku bunga.

Sebaliknya, jika profitnya terlalu rendah, tak banyak orang yang tertarik untuk menanamkan modalnya di BMT atau Kopsyah. “Jadi, kalau ingin meningkatkan profitnya, BMT atau Kopsyah mesti meningkatkan benefit-nya,” katanya. (*)

# Tag