Mampukah Hyundai Jadi Pemain Utama di Segmen Ramah Lingkungan pada 2028 Mendatang?
PT Hyundai Motor Indonesia (HMID) tak mau setengah hati. Sejak kembali masuk ke Indonesia pada 2020 lalu, raksasa otomotif Korea Selatan ini telah menyiapkan dana US$4 miliar untuk pembangunan pabrik perakitan, pabrik baterai dan infrastruktur lainnya. Selain itu, HMID berencana peluncuran 15 model baru di Indonesia hingga 2028—dari mesin konvensional (ICE) hingga kendaraan listrik (EV).
Langkah ini merupkan bagia dari strategi untuk menjadi pemain utama di segmen ramah lingkungan. Namun, di balik optimisme itu, tersimpan pertanyaan : Mampukah Hyundai menyeimbangkan bisnis mesin pembakaran yang masih menguntungkan dengan transisi ke elektrifikasi, sambil membangun ekosistem yang matang?
Komitmen Hyundai terlihat dari pengumuman Fransiscus Soerjopranoto, Chief Operating Officer HMID di Jakarta, Kamis (20/3/2025) yang menjanjikan kombinasi produk ICE, hybrid, dan EV.
Sayangnya, porsi pasti model ramah lingkungan dalam 15 model tersebut masih menjadi misteri. Jika mengacu pada peluncuran 2025—seperti Ioniq 5 Limited Edition dan Creta Facelift hybrid—Hyundai seolah bermain aman: mempertahankan ICE untuk segmen massal, sambil merangkak masuk ke elektrifikasi lewat produk premium.
Padahal, untuk memenuhi target pemerintah (2 juta kendaraan listrik pada 2030) dan mengurangi emisi, porsi hybrid/EV harus lebih dominan.
Di sisi infrastruktur, Hyundai tak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi dengan pemerintah dan swasta menjadi kunci, terutama dalam penyediaan charging station.
Sepanjang 2024, hanya ada sekitar 1.200 stasiun pengisian listrik publik di Indonesia—jumlah yang jauh dari cukup untuk mendukung lonjakan EV. HMID mengaku sedang menjajaki kerja sama dengan PLN dan startup energi terbarukan untuk memperluas jaringan.
Di Cikarang, pabrik Hyundai sudah menggunakan 20% energi surya, tapi ini baru sebagian kecil dari kebutuhan ekosistem besar. “Kami terbuka untuk bermitra dengan siapa pun, termasuk kompetitor, demi mempercepat adopsi EV,” tegas Frans, panggilan akrab Fransiscus.
Namun, tantangan terberat justru datang dari dalam. Meski berkomitmen pada elektrifikasi, Hyundai masih bergantung pada penjualan ICE yang menyumbang 75% pendapatan mereka di Indonesia sepanjang 2024.
Model seperti Stargazer dan Creta tetap menjadi penyokong keuntungan, sementara kontribusi Ioniq 5 belum signifikan dibanding penjualan mobil konvensional. Situasi ini memunculkan dilema: bagaimana memangkas ketergantungan pada mesin konvensional tanpa menggerus profitabilitas?
Belum lagi persaingan dengan merek China seperti BYD dan Wuling menjadi tantangan bagi HMID. Hyundai Ioniq 5, yang dibanderol Rp 1,2 miliar, harganya lebih mahal dibandingkan Wuling Air EV (Rp 300 jutaan) atau BYD Dolphin (Rp 500 jutaan). Untuk menutup celah ini, Hyundai berencana meluncurkan EV murah berbasis platform khusus Asia Tenggara pada 2027.
Tapi, apakah konsumen mau menunggu?
Sementara itu, langkah mereka mengembangkan hybrid—seperti pada Creta dan Staria—bisa menjadi senjata dua mata: menjembatani konsumen ke elektrifikasi, sekaligus mempertahankan pasar yang masih skeptis terhadap EV.
Di tengah segala upaya itu, satu hal yang tak boleh dilupakan: waktu terus berjalan. Target 2028 hanya menyisakan tiga tahun bagi Hyundai untuk membuktikan diri.
Jika proporsi hybrid/EV minim, kolaborasi infrastruktur lamban, dan ketergantungan pada ICE tak berkurang, ambisi hijau mereka bisa tenggelam dalam bayang-bayang mesin konvensional.
Namun, bila Hyundai konsisten menjalankan peta jalan ini—dengan dukungan regulasi pemerintah—bukan tidak mungkin mereka akan memimpin gelombang kedua transisi elektrifikasi Indonesia, setelah gelombang pertama dipicu merek China. (*)