Waspada, Krisis Air Akibat Perubahan Iklim

null
(Kiri-kanan): Sigit Reliantoro Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Diana Kusumastuti Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) dan Retno Marsudi, Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Isu Air, disela-sela diskusi Forum Air Indonesia 2025 dengan mengusung tema "Konservasi Sumber Air untuk Generasi Mendatang" di Jakarta (26/3). (Foto:Dok/Forum Air Indonesia)

Cuaca ekstrem dan perubahan iklim merupakan variabel yang memicu persoalan air yang semakin kompleks. Saat ini, krisis air bukan lagi isu masa depan, melainkan sudah nyata dirasakan. Peningkatan populasi, urbanisasi, dan perubahan tata guna lahan menjadi penyebab utama semakin terbatasnya sumber daya air.

Meskipun Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti pembangunan sistem penyediaan air minum, revitalisasi sumber air, serta pembangunan bendungan dan embung di berbagai wilayah.

Dalam diskusi Forum Air Indonesia 2025 dengan mengusung tema "Konservasi Sumber Air untuk Generasi Mendatang", forum ini bertujuan mendorong aksi kolektif dalam pelestarian sumber daya air guna menjamin keberlanjutan pasokan air bagi generasi kini dan mendatang.

Konservasi air juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's), khususnya poin ke-6: Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air bersih serta sanitasi yang berkelanjutan untuk semua. Forum ini diharapkan menjadi titik temu antara kebijakan, inovasi teknologi, pendekatan komunitas, dan investasi untuk menjawab persoalan air secara menyeluruh.

Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU), Diana Kusumastuti, menuturkan, pihaknya berupaya meningkatkan kapasitas tampungan air melalui konservasi dan revitalisasi sumber air seperti danau, situ, dan air tanah.

Diana mengatakan cakupan akses air minum yang aman baru mencapai 43% dan memenuhi standar hanya 40,2%. "Kami berupaya meningkatkan sistem penyediaan air minum yang terintegrasi dengan sanitasi," kata Diana dalam siaran pers yang diterima swa.co.id di Jakarta, Kamis (27/3/2025).

Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Sigit Reliantoro, mengatakan ketersediaan air di Indonesia tidak merata. Jawa dan Bali-Nusa Tenggara masuk kategori kritis, dengan defisit air di Jawa mencapai 118 miliar meter kubik per tahun. Sebaliknya, Sumatera dan Kalimantan masih memiliki cadangan air yang cukup.

Dari sisi kualitas, pemantauan terhadap 2.195 sungai menunjukkan hanya 2,19 % titik yang memenuhi baku mutu air, sementara 96% tercemar ringan dan sebagian kecil tercemar berat. “Pencemaran ini menyulitkan penyediaan air bersih karena membutuhkan teknologi pengolahan yang lebih canggih dan berbiaya tinggi," kata Sigit.

Mengingat mayoritas sungai Indonesia berada dalam beragam tingkatan cemaran, dia menyebut untuk memenuhi kebutuhan air diperlukan teknologi pengolahan. Selain itu perlu juga dilakukan pemulihan ekosistem untuk memastikan terjadinya konservasi air.

Diakui Sigit, kejadian banjir yang terjadi di Bekasi baru-baru ini dipengaruhi faktor kehilangan tutupan hutan di DAS Kali Bekasi, yang tersisa hanya 3,53$.

Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Isu Air, Retno Marsudi, menegaskan krisis air ini membutuhkan kerja sama global antara pemerintah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lainnya. “Air adalah sumber kehidupan dan elemen utama dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," katanya.(*)

# Tag