Penglipuran Bangkit Saat Lebaran: Kolaborasi Budaya, Komunitas, dan Ekowisata
Di balik hamparan bambu yang teduh dan jalan-jalan bersih berundak, Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli, Bali, kembali menegaskan dirinya sebagai magnet wisata budaya.
Selama libur Lebaran 2025, desa yang dinobatkan UNESCO sebagai salah satu desa terbersih di dunia ini disambangi lebih dari 35 ribu wisatawan. Angka ini menjadi angin segar setelah kunjungan sempat anjlok drastis sepanjang Ramadan.
“Hanya dikunjungi sekitar 700 wisatawan per hari dibandingkan hari biasa yang mencapai 4.700 orang. Bahkan dibandingkan bulan puasa tahun 2024, jumlah kunjungan tercatat menurun 22%, dari 1.700 menjadi 700 wisatawan per hari,” ujar Wayan Sumiarsa, Kepala Pengelola Desa Wisata Penglipuran.
Namun, penurunan itu tak bertahan lama. Sehari setelah Hari Raya Nyepi, tepatnya pada 30 Maret, geliat wisata kembali terasa. “Kunjungan wisatawan domestik tertinggi terjadi pada Kamis (3/4/2025), mencapai 7.556 orang dan 458 wisatawan mancanegara,” tambahnya.
Kebangkitan ini bukan terjadi secara kebetulan. Di baliknya ada strategi pelibatan budaya dan pengalaman otentik yang dirancang oleh warga dan pengelola desa. Salah satunya melalui pertunjukan Barong Macan — simbol pertarungan antara Dharma dan Adharma — yang digelar di tengah rimbunnya hutan bambu.
Pentas ini tidak hanya menjadi hiburan, tapi juga pengingat spiritual akan pentingnya menjaga harmoni dengan alam. Selama sepekan, dari 30 Maret hingga 6 April, pertunjukan digelar rutin pukul 11.00 WITA, menghadirkan atmosfer magis bagi setiap penonton yang hadir.
Tidak berhenti di situ, pengalaman menginap pun dikemas dengan nuansa lokal yang kuat. Wisatawan diajak menikmati makan malam tradisional di jalan utama desa—sebuah pengalaman yang membawa mereka lebih dekat dengan kehidupan warga. Suasana pedesaan yang asri, sunyi dari kebisingan kota, membuat banyak tamu merasa seolah kembali ke akar.
“Kami ingin menghadirkan sesuatu yang istimewa bagi wisatawan, di mana mereka tidak hanya sekedar menginap, tetapi juga merasakan kehidupan sehari-hari masyarakat Penglipuran yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan tradisi leluhur,” ujar Wayan.
Inisiatif warga tak berhenti pada sisi atraktif semata. Penyewaan busana adat Bali oleh masyarakat setempat bukan hanya memperkaya pengalaman wisatawan, tetapi juga menjadi motor kecil penggerak ekonomi desa. Pariwisata berbasis komunitas seperti ini telah lama menjadi kekuatan utama Penglipuran—memadukan nilai budaya, kearifan lokal, dan pemberdayaan ekonomi.
Bagi pecinta alam, hutan bambu seluas 45 hektare menjadi ruang kontemplatif sekaligus destinasi ekowisata yang menjanjikan. Bukan sekadar panorama, tapi cerminan bagaimana sebuah desa tradisional bisa menjaga warisan sekaligus menjadikannya aset ekonomi berkelanjutan.
Lebaran tahun ini menandai momen kebangkitan bagi Penglipuran—sebuah desa yang tak hanya menawarkan pemandangan indah, tetapi juga pelajaran tentang bagaimana budaya, komunitas, dan bisnis bisa tumbuh bersama. (*)