Dari Co-Working ke Co-Creating: Evolusi Kumpul Membangun Ekosistem Wirausaha Berkelanjutan
Menandai satu dekade dalam pemberdayaan ekosistem kewirausahaan di Indonesia, platform Kumpul mengadakan Executive Lab Forum (ELF) yang kedua. Diskusi ini dikemas dalam format World Cafe, mempertemukan para eksekutif dari pemerintahan, industri, dan sektor nirlaba.
Mengusung tema “Circle of Connection: Building Sustainable Business Ecosystems,” forum ini diharapkan menjadi ruang kolaborasi untuk berdialog tentang keberlangsungan startup, etika penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI), dan inefisiensi di berbagai sektor industri.
Dalam forum ini, Kumpul merilis Impact Report yang menjadi salah satu capaian penting dalam perjalanannya selama satu dekade. Laporan bertajuk Kumpul Impact: A Decade of Growth dipresentasikan oleh Sarita Kinanti, Associate Director Kumpul Impact, sekaligus memperkenalkan entitas baru bernama Kumpul Impact: Yayasan Ruansa Dampak Bersama.
Yayasan ini berfokus pada dampak sosial, khususnya dalam pemberdayaan ekonomi berkelanjutan, kesetaraan gender, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Faye Wongso, Founder & Chairperson Kumpul, memaparkan evolusi Kumpul yang bermula dari inisiatif co-working space dan kini telah berkembang menjadi penggerak ekosistem kewirausahaan di Indonesia.
Faye menyoroti dua tantangan utama: kebutuhan akan inovasi deep-tech serta peningkatan partisipasi perempuan dalam ekosistem. Lewat berbagai program yang dijalankan, partisipasi dalam ekosistem ini meningkat dari 2,4% menjadi 58,55%.
“Inovasi AI yang etikal, pendanaan alternatif, dan perluasan akses pasar akan semakin krusial di tahun-tahun mendatang. Lalu, bagaimana kita, sebagai pemangku kepentingan bisa ikut berkontribusi?” ujar Faye dalam keterangan resmi (8/4/2025).
Faye merangkum hasil diskusi ELF ke dalam empat poin utama:
Pertama, connect for growth – pendalaman fondasi startup. Selama ini, banyak startup terlalu fokus pada ekspansi cepat dibandingkan keberlanjutan bisnis, yang memicu ketidakstabilan jangka panjang.
Di tengah semakin terbatasnya pendanaan dari modal ventura, model pembiayaan alternatif seperti blended finance, venture debt, dan investasi berdampak makin diminati. Namun, program inkubasi, pendampingan, dan kemitraan strategis tetap menjadi elemen krusial dalam mendukung keberhasilan startup, bukan hanya soal pendanaan.
Kedua, connect for innovation – inklusi digital & penggunaan AI yang etikal. AI menghadirkan peluang sekaligus risiko, termasuk misinformasi, bias algoritma, dan ancaman terhadap keamanan data.
Para ahli menekankan perlunya kerangka etika yang jelas, program literasi digital, serta kebijakan AI yang inklusif. Indonesia, yang memiliki potensi menjadi pusat AI regional, perlu menjembatani kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan demi adopsi AI yang berkelanjutan.
Ketiga, connect for ecosystem – mengatasi tantangan fragmentasi. Ekosistem kewirausahaan di Indonesia masih menghadapi tantangan fragmentasi; para pemangku kepentingan seringkali bekerja secara terpisah tanpa koneksi satu sama lain.
Untuk mendorong dampak sistemik, disarankan adanya pengambilan keputusan yang lebih terdesentralisasi, pendirian pusat-pusat inovasi regional, serta mekanisme pembiayaan yang inklusif, khususnya untuk wirausahawan di luar Jakarta.
Keempat, penutupan & peluncuran Tech Indonesia Advocates. Forum ditutup dengan peluncuran Tech Indonesia Advocates, bagian dari jaringan Global Tech Advocates (GTA), yang menghubungkan ekosistem Indonesia dengan 42 pemimpin teknologi global dari berbagai negara.
Leslie Sarma (APAC Lead, GTA), Faye Wongso, dan Mega Prawita memimpin peluncuran ini. Turut hadir secara daring, Russ Shaw yang menegaskan potensi Indonesia sebagai pusat digital di Asia Tenggara.
Melalui Executive Lab Forum, Kumpul berharap para eksekutif dalam ekosistem dapat berkomitmen menjawab berbagai tantangan terkini di sektor kewirausahaan Indonesia, serta mendukung keberlanjutan inisiatif pemberdayaan wirausahawan melalui dialog strategis. (*)