Tertinggal di Era Kota Cerdas: Ketika Jakarta Disalip Ho Chi Minh
Di tengah gencarnya wacana digitalisasi dan transformasi kota, hasil Smart City Index 2025 dari IMD World Competitiveness Center (WCC) kembali mengingatkan bahwa mimpi Indonesia menjadi pemimpin kawasan dalam hal kota cerdas masih jauh dari kenyataan. Jakarta — yang seharusnya menjadi etalase kemajuan digital dan tata kelola urban — justru stagnan di peringkat 103, sama seperti tahun sebelumnya.
Yang lebih mencolok, Jakarta kini harus merelakan posisinya disalip oleh Ho Chi Minh City, kota di Vietnam yang tahun lalu masih berada di bawah Jakarta dalam peringkat yang sama. Sebuah catatan pahit bagi Ibu Kota yang selama ini digadang-gadang menjadi pusat inovasi dan teknologi di Tanah Air.
"Bagi warga Jakarta, tiga masalah penting yang perlu segera diselesaikan adalah polusi udara, kemacetan lalu lintas, dan masalah korupsi atau transparansi," ujar Arturo Bris, Direktur WCC dalam siaran pers, Rabu (9/4/2025).
Tiga persoalan tersebut bukanlah isu baru. Namun yang mencemaskan, masalah-masalah klasik itu tetap bertahan, bahkan menjadi penghambat utama transformasi Jakarta menuju kota cerdas. Padahal, smart city bukan hanya soal sensor, aplikasi, atau jaringan internet, melainkan juga soal keberanian memperbaiki tata kelola, memperkuat partisipasi warga, dan menghadirkan pelayanan publik yang efisien dan bersih.
Tak hanya Jakarta, dua kota lain dari Indonesia—Medan dan Makassar—juga belum menunjukkan perbaikan signifikan. Medan turun satu peringkat dari posisi 112 ke 113, sementara Makassar naik tipis dari peringkat 115 menjadi 114. Secara umum, ketiganya masih tertinggal dari kota-kota besar di Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi, dan tentu saja, Ho Chi Minh City.
Bahkan dalam lingkup regional, kota-kota di Indonesia hanya unggul dari Manila, Filipina. Dalam lima tahun terakhir, tren peringkat Indonesia dalam indeks ini menunjukkan kemunduran yang konsisten. Ketiga kota tersebut kini berada di luar daftar 100 kota teratas dunia dalam hal kecerdasan dan kesiapan digital.
Mundur perlahan, dan mungkin tak disadari.
Pertanyaannya kini, apakah stagnasi ini sekadar masalah teknis, atau cerminan dari absennya visi jangka panjang dalam membangun kota cerdas yang sesungguhnya?
Ketika kota-kota lain di Asia Tenggara berlomba merancang masa depan berbasis data, energi terbarukan, dan tata kelola digital yang transparan, Indonesia tampaknya masih berkutat dengan problem mendasar yang belum kunjung tuntas. Dan bila tak segera berubah arah, bukan tidak mungkin peringkat Indonesia akan terus merosot—dan mimpi menjadi pemain utama dalam lanskap kota cerdas hanya akan tinggal wacana di atas kertas strategi. (*)