Tarif Baru Bayangi Pertumbuhan: ADB Prediksi Perlambatan Ekonomi Asia-Pasifik

null
Prakiraan pertumbuhan PDB negara-negara di Asia dan Pasifik oleh ADB. (dok ADB)

Meski dunia tengah bergerak cepat di tengah lonjakan teknologi dan pemulihan ekonomi pascapandemi, laju pertumbuhan kawasan Asia dan Pasifik ternyata mulai kehilangan momentum.

Dalam laporan Asian Development Outlook (ADO) April 2025, Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan kawasan ini hanya akan tumbuh 4,9% tahun ini—turun tipis dari capaian tahun lalu sebesar 5,0%.

Angka itu mungkin masih terdengar solid. Apalagi permintaan domestik tetap kuat, dan permintaan global terhadap semikonduktor melonjak berkat perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan. Namun, di balik angka-angka itu, ada tekanan yang kian terasa: tarif baru, ketidakpastian perdagangan global, dan gejolak geopolitik.

Belum sempat kawasan ini benar-benar bernapas lega, Amerika Serikat pada awal April mengumumkan kebijakan tarif baru yang berpotensi mengubah peta perdagangan dunia. ADO April 2025 memang disusun sebelum pengumuman itu keluar. Namun, laporan tersebut sudah memberikan sinyal bahwa risiko seperti ini bukan sekadar bayang-bayang—melainkan kemungkinan nyata yang bisa menggerus daya tahan ekonomi kawasan.

“Berbagai perekonomian di kawasan Asia dan Pasifik yang sedang berkembang ditopang oleh fundamental yang kuat, sehingga menjadi landasan bagi ketangguhan di tengah lingkungan global yang menantang ini,” kata Kepala Ekonom ADB Albert Park, Rabu (9/4/2025).

Namun, bahkan fondasi yang kokoh pun diuji ketika badai kebijakan datang tiba-tiba. Albert Park menekankan bahwa kenaikan tarif, ketidakpastian arah kebijakan AS, dan meningkatnya ketegangan geopolitik merupakan kombinasi tantangan yang tak bisa diabaikan.

“Kenaikan tarif, ketidakpastian tentang kebijakan Amerika Serikat, dan kemungkinan meningkatnya ketegangan geopolitik merupakan tantangan yang signifikan terhadap prospek. Ekonomi-ekonomi Asia harus mempertahankan komitmen mereka untuk membuka perdagangan dan investasi, yang telah mendukung pertumbuhan dan ketahanan kawasan ini.”

Sayangnya, kondisi internal di beberapa negara besar Asia juga tak sepenuhnya bersahabat. Pasar properti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), misalnya, masih mengalami tekanan. Negara dengan ekonomi terbesar di kawasan ini diproyeksikan hanya akan tumbuh 4,7% tahun ini dan 4,3% pada 2026—turun dari 5,0% tahun lalu.

Tetapi, tak semua berita bernada suram. Di Asia Selatan dan Asia Tenggara, tanda-tanda vitalitas ekonomi masih tampak jelas. India, misalnya, mencatat proyeksi pertumbuhan yang sehat: 6,7% tahun ini dan 6,8% pada tahun depan. Asia Tenggara juga stabil dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 4,7% untuk dua tahun berturut-turut, berkat permintaan domestik dan kebangkitan sektor pariwisata.

Di sisi lain, kawasan Kaukasus dan Asia Tengah mulai menghadapi tekanan dari lemahnya permintaan eksternal. Pertumbuhan di wilayah ini diperkirakan melambat dari 5,7% pada 2024 menjadi 5,4% tahun ini, dan 5,0% tahun depan.

Sementara itu, wilayah Pasifik masih bertumpu pada sektor pariwisata sebagai mesin utama pertumbuhan—meski kecepatannya kian melambat, dari 4,2% tahun lalu menjadi 3,9% tahun ini dan 3,6% tahun depan.

Laporan ADB kali ini mengilustrasikan bahwa meski Asia dan Pasifik memiliki ketangguhan struktural, dunia di sekitarnya bergerak terlalu cepat dan terlalu dinamis untuk hanya mengandalkan kekuatan lama. Fundamental yang kuat saja tidak cukup. Diperlukan respons kebijakan yang adaptif, komitmen terhadap keterbukaan, dan ketahanan jangka panjang.

Di tengah ketidakpastian global, jalan ke depan tampaknya akan semakin bergelombang. Bagi negara-negara di kawasan ini, pertanyaannya bukan lagi apakah akan terdampak, tetapi sejauh mana mereka siap bertahan — atau bahkan tumbuh — di tengah badai yang terus berubah arah. (*)

# Tag