Regulasi Masih Jadi Hambatan Bisnis, Prabowo Minta Pertek Dihapus

null
Presiden Prabowo saat menghadiri Sarasehan Ekonomi di Jakarta. (Foto: Cahyo/Setpres)

Sudah lebih dari dua dekade terakhir, isu birokrasi berbelit menjadi momok bagi dunia usaha di Indonesia. Dari era Presiden SBY hingga kini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, keluhan soal lambatnya izin usaha, tumpang tindih aturan, dan “aturan teknis” yang menghambat investasi terus berulang. Namun dalam pernyataan terbarunya, Prabowo tampak ingin memutus rantai lama itu—dengan langkah yang lebih tegas.

Dalam acara Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025), Presiden menyampaikan sikap lugas terhadap praktik birokrasi yang dianggap menghambat. Ia secara langsung meminta penyederhanaan regulasi, bahkan cukup dengan Keputusan Presiden untuk perizinan, tanpa perlu tambahan aturan teknis dari kementerian.

“Jadi, perizinan saya minta menteri-menteri jangan ragu-ragu. Kadang-kadang, ini birokrat, saya kasih peringatan. Sudah dikeluarkan Keputusan Presiden, dia bikin lagi peraturan teknis. Kadang-kadang perteknya itu lebih galak daripada Keputusan Presiden,” ujar Presiden Prabowo.

Peraturan Teknis (Pertek), dalam praktiknya, sering kali berisi rincian implementatif dari regulasi yang lebih tinggi. Namun dalam banyak kasus, keberadaan Pertek justru menambah lapisan birokrasi baru. Pengusaha di lapangan sering mengeluhkan bahwa Pertek dapat menjadi alat kontrol tambahan yang memperlambat proses dan membuka celah penyimpangan.

Presiden pun menegaskan agar segala bentuk regulasi yang tidak masuk akal dihapus, dan proses bisnis dibuat sesederhana mungkin. Arahnya jelas: Indonesia harus menjadi negara yang ramah investasi dan efisien secara administratif.

“Sekarang saya beri garis kepada kabinet semua. Pertama, efisien, kerjanya harus efisien. Kedua, buang semua regulasi yang tidak masuk akal. Permudah semua proses untuk pengusaha,” tegasnya.

Pernyataan ini menjadi penting, terutama di tengah tantangan ekonomi global dan tekanan nilai tukar rupiah yang sempat melemah signifikan. Dalam situasi seperti ini, banyak pelaku usaha berharap pemerintah benar-benar memangkas hambatan-hambatan administratif yang tidak produktif.

Tetapi, penyederhanaan regulasi tidak cukup hanya pada niat politik. Implementasi di lapangan masih menjadi tantangan besar. Apalagi ketika kewenangan teknis tersebar di banyak kementerian dan lembaga. Dalam birokrasi yang sangat besar seperti Indonesia, harmonisasi kebijakan membutuhkan lebih dari sekadar keputusan pusat.

Presiden pun menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab dari seluruh jajaran pemerintah atas kebijakan yang mereka hasilkan. Ia tidak segan memberikan peringatan keras.

“Saya sudah berkali-kali bicara sama semua pejabat-pejabat itu. Kita perbaiki kondisi. Jangan ikut praktik-praktik yang justru akan membunuh rakyat kita sendiri. Ini saya kasih peringatan,” ucapnya.

Pernyataan Presiden Prabowo membuka peluang lahirnya iklim usaha yang lebih sehat dan efisien. Namun realisasinya masih harus dibuktikan: apakah kementerian dan lembaga benar-benar berani melepas ego sektoral dan berhenti menambah lapisan regulasi?

Bagi pelaku usaha, birokrasi bukan hanya soal waktu dan biaya, tetapi juga tentang kepastian. Maka, jika janji penyederhanaan regulasi ini betul-betul dijalankan, bukan tidak mungkin iklim investasi Indonesia bisa bergeser ke arah yang lebih progresif—bukan karena banyaknya aturan, tapi karena kesederhanaannya. (*)

# Tag