Rp1,7 Triliun Melayang, OJK Perangi Pinjol dan Investasi Ilegal

Rp1,7 Triliun Melayang, OJK Perangi Pinjol dan Investasi Ilegal

Seiring derasnya arus digitalisasi di sektor keuangan, tantangan perlindungan konsumen justru semakin kompleks.

Selama periode Januari hingga Maret 2025, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 1.236 pengaduan yang masuk terkait aktivitas entitas ilegal. Mayoritas di antaranya (1.081 kasus) berkaitan dengan pinjaman online ilegal, sementara sisanya menyangkut investasi bodong.

Maraknya laporan ini menjadi cerminan nyata bahwa praktik keuangan digital ilegal masih menjadi bayang-bayang serius bagi masyarakat yang belum sepenuhnya melek literasi finansial digital. Respons OJK pun tidak main-main.

"Alhasil, OJK menghentikan 1.123 entitas pinjaman online ilegal dan 209 penawaran investasi ilegal. Selanjutnya mengajukan pemblokiran terhadap 1.643 nomor kontak pihak penagih pinjaman online ilegal," tutur Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen dalam siaran pers pada Jumat (11/4/2025).

Langkah OJK juga didukung oleh sistem pengawasan lebih luas melalui Indonesia Anti-Scam Centre (IASC), pusat pemantauan dan pengendalian penipuan digital nasional yang berada di bawah koordinasi OJK.

Melalui kanal ini, sebanyak 79.969 laporan diterima dalam tiga bulan pertama 2025, mencakup berbagai jenis penipuan digital dari masyarakat di seluruh Indonesia.

Dari laporan tersebut, 82.336 rekening yang teridentifikasi sebagai sarana kejahatan keuangan telah dilaporkan, dan 35.394 rekening berhasil diblokir. Angka ini cukup mencengangkan, mencerminkan masifnya ekosistem digital yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.

Kerugian konsumen pun tak sedikit. OJK mencatat, sepanjang kuartal pertama tahun ini, total dana yang raib akibat praktik keuangan ilegal mencapai Rp1,7 triliun, sementara dana korban yang berhasil diamankan lewat proses pemblokiran hanya sebesar Rp134,7 miliar, kurang dari 10%.

Temuan ini menunjukkan jurang lebar antara skala kerugian dengan efektivitas pemulihan dana. Di sisi lain, fenomena ini menandakan masih perlunya sinergi yang lebih kuat antara regulator, lembaga penegak hukum, perbankan, serta pelaku industri digital.

Di tengah ambisi pemerintah untuk membangun ekonomi digital yang inklusif, tantangan perlindungan konsumen digital tidak boleh diabaikan. Edukasi finansial, literasi digital, serta penegakan hukum yang lebih progresif menjadi pilar yang tak terpisahkan. OJK telah menunjukkan langkah awal yang penting, namun dalam maraknya jebakan digital, publik juga perlu dibekali untuk lebih kritis, berhati-hati, dan melek risiko.

Karena dalam ekosistem keuangan digital yang serba cepat dan tak kasat mata, satu klik keliru bisa membawa dampak yang sangat nyata. (*)

# Tag