Sepuluh Suara Baru dari Nusantara Siap Menggema di Panggung Ubud Writers
Di tengah riuh zaman dan derasnya arus digital, sepuluh suara muda dari penjuru Indonesia akan menyatu dalam satu panggung sastra: Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025.
Mereka bukan sekadar penulis, tetapi penutur zaman, penyaksi sunyi, dan penyulam cerita yang menyentuh akar kehidupan masyarakat kita hari ini. Dipilih dari 647 naskah yang dikirimkan dari Aceh hingga Papua, sepuluh nama ini kini mengemban misi: membawa kisah-kisah Indonesia ke panggung dunia.
Dalam keterangan resminya, Yayasan Mudra Swari Saraswati menyebut proses seleksi program Emerging Writers ini melibatkan tiga nama penting dalam dunia sastra Indonesia: Ni Made Purnama Sari, Shinta Febriany, dan Ratih Kumala. Bersama, mereka menyelami lapis demi lapis naskah yang datang dari berbagai rupa dan latar — tentang cinta dan luka, tanah dan adat, sejarah yang tak selesai, dan masyarakat digital yang semakin bising.
“Wacana adat tradisi cukup dominan menjadi bahasan,” ungkap Ni Made Purnama Sari, mencermati bahwa budaya lokal tak cukup sekadar menjadi dekorasi dalam sebuah cerita.
“Isu budaya—atau isu apapun itu—baiknya direpresentasikan secara cermat sebagai fokus utama penceritaan,” ujarnya. Sebuah pengingat bahwa sastra bukan hanya cermin, tapi juga belati yang menembus ke dalam.
Sejak pertama kali digelar pada 2008, program Emerging Writers telah menjadi pintu bagi para penulis muda untuk menjejakkan kakinya di dunia sastra regional dan internasional.
Tahun ini, proses seleksi dilakukan dalam dua tahap, dari ratusan karya disaring menjadi 30 besar, lalu dipilih sepuluh nama akhir — nama-nama yang akan ikut dalam pelatihan intensif, dan karya mereka dibukukan dalam antologi tahunan festival.
Bagi Ratih Kumala, kisah-kisah yang terpilih tahun ini bagaikan sinopsis dari sebuah novel besar. “Saya membayangkan cerpen-cerpen ini sebagai sinopsis yang kaya. Saya tak akan heran jika kelak kita menemukan versi novel dari kisah-kisah ini di rak buku,” katanya. Sebuah harapan yang lahir dari kekuatan narasi yang padat, jujur, dan mendalam.
Janet DeNeefe, pendiri dan direktur UWRF, melihat kisah-kisah ini sebagai cermin dari keberanian dan keberagaman Indonesia. “Melalui program ini, kami ingin membawa karya mereka ke panggung dunia dan membangun komunitas sastra yang lebih inklusif dan penuh warna,” ujarnya.
Agar para penulis dapat hadir dan berkembang, Yayasan Mudra Swari Saraswati membuka program Emerging Writers Patron, mengundang publik untuk turut serta dalam perjalanan ini. Dukungan finansial yang terkumpul akan digunakan untuk menerjemahkan karya-karya mereka, membiayai perjalanan, dan menyediakan akomodasi selama festival.
“Dengan dukungan yang diberikan, mereka memiliki kesempatan untuk berkembang dan menjadi bagian penting dalam ekosistem sastra Indonesia,” kata Janet.
Pada 29 Oktober hingga 2 November 2025, sepuluh suara ini akan melangkah ke panggung UWRF. Membawa kisah dari tanah asal mereka, mengajak dunia untuk mendengar, dan mungkin, mengingat bahwa dari negeri yang sering dilupakan peta, masih ada cerita yang ingin lahir.
Adapun sepuluh penulis yang terpilih dalam seleksi program ini adalah:
- Alief El-Ichwan (Bandung, Jawa Barat)
- Annisa Ivana (Jakarta)
- Charlotte Diana (Semarang, Jawa Tengah)
- Kukuh Yudha Karnanta (Surabaya, Jawa Timur)
- Ridwan Malik (Garut, Jawa Barat)
- Rie Arshaka (Banjarbaru, Kalimantan Selatan)
- Robbyan Abel Ramdhon (Mataram, Nusa Tenggara Barat)
- Rosul Jaya Raya (Bangkalan, Jawa Timur)
- Udiarti (Sragen, Jawa Tengah)
- Wawan Kurniawan (Makassar, Sulawesi Selatan) (*)