Meracik Ingatan, Menghidupkan Tradisi: UI Gelar Festival Marandang, Gaet Komunitas Minang dan Seni Budaya

Meracik Ingatan, Menghidupkan Tradisi: UI Gelar Festival Marandang, Gaet Komunitas Minang dan Seni Budaya
Suasana pembukaan acara Festival Marandang 2025 oleh PPKB FIB UI di Depok, Jawa Barat pada 10 April 2025. Foto PPKB FIB UI

Di tengah hangatnya suasana halal bihalal pasca-Lebaran, suasana tradisional menyeruak di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tapi ini bukan sekadar perayaan. Ini adalah Festival Marandang 2025, sebuah ruang temu budaya yang memadukan kekuatan rasa, bunyi, dan ingatan.

Digagas oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB) FIB UI, festival ini menjadi lebih dari sekadar seremoni tahunan. Ia adalah pengejawantahan dari semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang dalam nadanya yang paling halus, bertumbuh menjadi pengabdian nyata: pelestarian budaya.

“Festival ini adalah bukti konkret kontribusi kami dalam menjaga, merayakan, dan mewariskan kekayaan budaya Nusantara,” ujar Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum, Dekan FIB UI, dalam nada yang tegas sekaligus puitis. Di balik kalimat itu tersimpan kerja panjang untuk menghadirkan kembali nilai-nilai Minangkabau dalam bingkai akademik yang hangat dan manusiawi.

Marandang, dalam ingatan banyak orang, memang kerap diidentikkan dengan rendang. Namun bagi PPKB, tradisi ini lebih luas dari sekadar proses memasak. Ia adalah pusaka tak kasat mata, sarat nilai dan makna.

“Festival ini menjadi upaya pelestarian budaya sekaligus bentuk edukasi kepada generasi muda,” ujar Dr. Lily Tjahjandari, M.Hum, Kepala PPKB FIB UI, sambil menekankan bahwa rendang, yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda, memuat filosofi hidup yang melekat dalam denyut masyarakat Minangkabau.

Gelaran budaya pun dibuka dengan gemulai langkah para penari piring dari Komunitas Bakul Budaya, gerak yang menceritakan keseimbangan antara keberanian dan harmoni. Dilanjutkan dengan paduan suara lembut dari Bundo Kanduang Ikatan Keluarga Minang, serta alunan angklung yang lirih namun menggetarkan dari Angklung Perempuan Indonesia. Tari panen dari Komunitas Ayodya Pala menjadi penutup yang mengangkat suasana gembira, bersahaja, dan penuh syukur.

Festival ini tak lahir sendirian. Ia ditopang oleh banyak tangan yang peduli dan sadar akan pentingnya menjaga budaya dalam wajah Indonesia yang terus bergerak. Di antaranya PT Tudung, Bambu Spa Indonesia, hingga komunitas-komunitas yang telah lama menjadi nafas dari ingatan kolektif: One Minang Saiyo, Bakul Budaya, dan Urban Spiritual Indonesia.

Dalam Festival Marandang 2025, rendang bukan hanya sebagai makanan, tapi sebagai narasi hidup. Sebuah upaya agar budaya tak sekadar dikenang dalam buku, tapi dihidupkan, dibagikan, dan diwariskan dengan penuh rasa dan cinta. (*)

# Tag