Lanskap dan Tren Investasi Private Equity Tahun 2025 di Asia Tenggara dan Indonesia

null
Ilustrasi. Kawasan perkantoran di SCBD Jakarta. (foto Ubaidillah/SWA)

Deloitte baru saja menerbitkan Southeast Asia edition of the Private Equity (PE) 2025 Almanac, sebuah kajian mendalam yang mengulas tren private equity di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Laporan ini disusun berdasarkan basis data portofolio eksklusif Deloitte dan pemantauan pasar secara intensif sepanjang tahun.

Di Asia Tenggara, pada tahun 2024, tercatat sebanyak 69 transaksi yang didukung oleh Private Equity (PE) di Asia Tenggara dengan total nilai mencapai US$9,4 miliar, meningkat signifikan dibandingkan US$5,2 miliar dari 87 transaksi pada 2023.

Kontribusi Asia Tenggara terhadap total nilai transaksi PE di Asia Pasifik hampir dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir, meningkat dari 3,7% pada 2022 menjadi 4,1% pada 2023, dan mencapai 6,8% pada 2024.

Sektor Teknologi, Media & Telekomunikasi (TMT) mendominasi lanskap PE di Asia Tenggara pada 2024, menyumbang hampir 52% dari total nilai transaksi. Ini terjadi seiring dengan penguatan posisi kawasan ini sebagai pusat kecerdasan buatan (AI) dan pusat data.

Sektor konsumer tetap menjadi kontributor penting, dengan kontribusi sebesar 22% dari total nilai transaksi. Angka ini didorong oleh keyakinan investor terhadap demografi yang menguntungkan dan prospek pertumbuhan ekonomi yang solid di kawasan ini.

Prospek aktivitas PE di Asia Tenggara pada 2025 diperkirakan tetap positif, didukung oleh sejumlah faktor utama pertama daya tarik Asia Tenggara sebagai pasar investasi yang menjanjikan, berkat indikator demografi dan ekonomi yang kuat. Kedua proyeksi penurunan suku bunga di berbagai negara di Asia Tenggara.

“Kawasan ini juga memiliki ketersediaan dana investasi (dry powder) yang signifikan dan siap untuk diinvestasikan dan meningkatnya kematangan ekosistem PE di Asia Tenggara,” tulis Deloitte dalam laporannya, Selasa (15/4/2025).

Sementara Indonesia menjadi negara tujuan investasi PE terbesar kedua di Asia Tenggara pada 2024, melampaui Malaysia, dengan kontribusi 25% dari total nilai transaksi. Peningkatan investasi PE terutama didorong oleh sektor konsumen dan perawatan kesehatan, seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat dan tren penuaan penduduk yang menciptakan peluang konsumsi baru.

Beberapa transaksi penting pada 2024 antara lain akuisisi Yupi, produsen permen, oleh Affinity senilai US$1,2 miliar, serta akuisisi Rumah Sakit Internasional Siloam oleh CVC senilai US$1,1 miliar. Didukung pasar yang terus berkembang dan tren demografi yang kuat, Indonesia tetap akan menjadi tujuan investasi yang menarik di Asia Tenggara.

“Terlepas dari masalah geopolitik dan perdagangan global saat ini, kami optimis bahwa tren peningkatan aktivitas transaksi yang diamati pada Q4 2024 akan berlanjut hingga 2025,” tulis Deloitte.

Singapura siap untuk mempertahankan dominasinya di pasar M&A Asia Tenggara. Lokasinya yang strategis, lingkungan politik yang stabil, prospek ekonomi yang kuat, dan kepemimpinannya dalam transformasi digital menjadikan Singapura destinasi investasi yang menarik bagi modal regional dan global. Investasi di sektor yang terkait dengan AI, khususnya pusat data, diperkirakan akan tetap menjadi fokus utama. (*)

# Tag