Dari PHK ke Oseng Mercon: Perjalanan Dyah Membangun Bolosego
Rasa pedas bagi orang Indonesia bukan sekadar sensasi. Ia adalah identitas. Dari Sabang hingga Merauke, lidah Nusantara telah terbiasa bersahabat dengan cabai, lada, dan beragam rempah yang membakar. Iklim tropis yang memicu keringat, tanah yang subur dengan aneka bumbu, serta tradisi kuliner yang diwariskan lintas generasi, menjadikan rasa pedas tak sekadar pelengkap, tetapi jiwa dari banyak hidangan.
Di tengah keragaman itu, oseng mercon tampil sebagai salah satu primadona. Dinamai “mercon” karena ledakan pedasnya yang seolah meledak di mulut, hidangan ini mencuri hati para penikmat rasa ekstrem. Bukan hanya soal rasa, tapi juga pengalaman yang ditawarkannya: pedas yang menggugah, menyala, dan tak mudah dilupakan.
Fenomena ini tak luput dari perhatian Dyah Laily Fardisa. Ketika pandemi memaksanya menghadapi kenyataan pahit berupa pemutusan hubungan kerja, perempuan asal Yogyakarta ini memilih jalur berbeda.
Alih-alih terpuruk, ia menangkap peluang dari kegemaran orang Indonesia akan rasa pedas. Berbekal pengalaman di dunia digital marketing, ia memutuskan untuk membangun usaha kuliner dari rumah dengan cara memasarkan produk secara online. Pada 2020, lahirlah Bolosego, sebuah bisnis oseng mercon yang dimulai dari dapur kecil namun menyimpan cita rasa besar.
Bolosego tampil berbeda sejak awal. Dyah memilih untuk memfokuskan produknya pada menu oseng mercon iga sapi, sebuah inovasi yang masih jarang ditemui, bahkan di kota asalnya sendiri. Cita rasa khas Jogja yang melekat pada produk Bolosego menjadikannya unik dan tidak mudah ditiru. Meskipun dibanderol dengan harga premium, Bolosego tetap mendapat tempat di pasar karena kekuatan rasa yang ditawarkan mampu melampaui sekadar adu harga.
Menariknya, bisnis ini lahir bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Dyah justru memulainya dengan semangat kolaborasi. Ia menggandeng seorang ibu juru masak legendaris yang sempat berhenti berjualan, dan dari sanalah jalinan pemberdayaan dimulai.
Tak hanya itu, Dyah juga melibatkan para ibu rumah tangga usia produktif dan ibu-ibu sepuh di Desa Bangunrejo, menciptakan ekosistem produksi yang tak hanya efektif tetapi juga berdampak sosial.
“Kami menggunakan bahan baku utama seperti daging yang berkualitas, kami juga memastikan bumbu dan rempah 100% didapat dari pasar lokal sekitar Merapi. Kini Bolosego memberdayakan sekitar 150 pekerja, separuhnya adalah perempuan, termasuk para ibu muda usia produktif di Desa Bangunrejo yang berperan mengupas bahan dapur yang dapat dikerjakan dari rumah dan dikirim kembali ke pabrik setelah selesai,” ujarnya dalam konferensi pers Hari Kartini bersama Tokopedia, Senin (21/4/2025).
Perjalanan Bolosego yang semakin bertumbuh didorong pula oleh pemanfaatan platform digital. Sekitar 70% omzet online Bolosego berasal dari TikTok Shop by Tokopedia, begitu juga dengan Tokopedia yang turut memberi kontribusi besar. Bolosego sangat aktif memanfaatkan fitur live shopping, dengan 16 sesi live streaming setiap hari, didukung oleh tim khusus dan panduan ketat untuk menjaga kualitas siaran.
Di balik pertumbuhan Bolosego, peran perempuan sangat besar. Bagi Dyah, Hari Kartini bermakna menjadi perempuan yang kuat dan bahagia, agar bisa menguatkan sesama. Ia berharap semakin banyak perempuan Indonesia berani mengambil peran dalam dunia bisnis tanpa terbatasi status atau stereotip.
Dengan semangat pemberdayaan, kejujuran, dan inovasi, Bolosego terus berkembang, menjadi contoh bagaimana UMKM bisa tumbuh besar sambil tetap membumi dan memberi dampak nyata bagi masyarakat. (*)