Perlambatan Ekonomi Global Menjadi Risiko Indonesia untuk Tahun Depan
Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan yang moderat sebesar -0,6% dari PDB pada tahun 2024. Dengan asumsi penurunan surplus perdagangan barang sebesar 20% tahun ini dan defisit pada kategori barang tak terlihat, DBS Group Research memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan tahun 2025 mencapai -0,8% dari PDB.
Di sisi pembiayaan, arus FDI neto diperkirakan akan tetap kuat tetapi melambat mulai tahun 2024, dikombinasikan dengan arus masuk portofolio yang moderat dan defisit moderat di pos-pos lainnya. Secara kumulatif, hal ini akan menyebabkan surplus BOP secara keseluruhan mencapai seperlima dari rata-rata enam tahun terakhir.
Stok cadangan devisa naik ke rekor tertinggi, yakni US$157.1 miliar di bulan Maret, meskipun ada intervensi valuta asing yang kuat dari bank sentral. Penarikan pinjaman luar negeri sektor publik kemungkinan besar menambah cadangan devisa, disamping dana-dana di bawah kewajiban repatriasi pendapatan ekspor yang terpilih.
Berita tentang penundaan 90 hari dalam peluncuran tarif membantu meningkatkan sentimen risiko di pasar Indonesia, bahkan ketika tarif dasar 10% tetap berlaku. Ekspor Indonesia ke AS mencapai ~2% dari PDB, salah satu yang terendah di kawasan ini, selain Filipina dan India.
Meskipun hal tersebut akan membatasi dampak langsung terhadap perekonomian, tingkat tarif resiprokal yang sangat tinggi yang diumumkan pada putaran pertama cukup mengejutkan. AS telah mengumumkan tarif 32% untuk Indonesia, yang dipengaruhi oleh kesenjangan neraca perdagangan dan bukan hanya karena perbedaan tarif bilateral.
Amerika Serikat menyumbang ~10% dari total ekspor, di bawah Tiongkok dan negara-negara Asean. Ekspor utama ke AS meliputi tekstil, makanan laut, alas kaki, minyak kelapa sawit, elektronik, dan lain-lain. Khususnya, sektor-sektor padat karya memiliki eksposur yang sangat besar terhadap ancaman tarif, terutama karena lebih dari separuh ekspor tekstil dan furnitur Indonesia ditujukan ke AS, di samping lebih dari sepertiga ekspor alas kaki.
DBS memprediksi, jika tarif diberlakukan kembali, ada risiko nyata bahwa dampaknya terhadap unit-unit manufaktur lokal dapat meningkat lebih lanjut. Padahal manufaktur lokal juga sudah berada di bawah risiko dari tren perlambatan produksi dan guncangan deflasi dari ekspor China.
“Analisis dampak oleh DBS Group Research (jika tingkat tarif yang tinggi diberlakukan kembali) menunjukkan dampak langsung sebesar 0,5% dari PDB terhadap pertumbuhan tahun ini dan sekitar setengahnya pada tahun depan, di samping dampak lanjutan dari pertumbuhan global yang lebih lambat. Dalam ekonomi global yang rapuh, kami memperkirakan para pembuat kebijakan domestik akan meningkatkan upaya untuk mendorong permintaan,” kata Senior Economist Bank DBS Radhika Rao, Selasa (2/4/2025).
Hambatan non-dagang kemungkinan besar turut mempengaruhi keputusan tersebut. Laporan estimasi Perdagangan Nasional USTR mencatat bahwa rata-rata tarif MFN di Indonesia mencapai sekitar 8% pada tahun 2023, sambil menyuarakan keprihatinan atas kenaikan tarif impor yang progresif dan proses penilaian pajak domestik yang rumit.
Selain itu, laporan tersebut juga menyoroti hambatan non-perdagangan seperti mekanisme perizinan impor, pembatasan kuantitatif, keterbatasan akses di industri farmasi, serta praktik perdagangan negara.
Persyaratan konten lokal pada teknologi informasi dan komunikasi tertentu untuk menjual produk juga disebut sebagai hambatan, yang kemungkinan besar mengacu pada negosiasi dengan Apple dalam beberapa bulan terakhir. “Dominasi Tiongkok dalam lanskap perdagangan dan investasi di Indonesia diperkirakan akan menjadi titik puncak yang potensial,” ungkapnya. (*)