43% Perusahaan Beri Paternity Leave, Hari Cuti Ayah

43% Perusahaan Beri Paternity Leave, Hari Cuti Ayah
Ilustrasi: pekerja kantoran saat pulang kerja di Jalan Sudirman Jakarta (Foto: rm.id).

Di tengah dinamika dunia kerja yang terus berubah, satu jenis cuti perlahan mencuri perhatian: paternity leave.

Dulu sempat dianggap sebagai isu minor, kini cuti bagi ayah yang baru saja menyambut kelahiran anak mulai naik ke permukaan, tidak hanya sebagai hak, tapi juga sebagai bagian dari transformasi budaya perusahaan yang lebih manusiawi dan seimbang.

Berdasarkan data terbaru dari laporan Jobstreet by SEEK bertajuk “Rekrutmen, Kompensasi, dan Tunjangan 2025”, yang akan segera diluncurkan, paternity leave menjadi jenis cuti khusus yang paling menonjol sepanjang 2024.

Sebanyak 43% perusahaan telah menyediakan cuti ini bagi pegawai laki-laki yang membutuhkannya. Namun, kontrasnya terlihat jelas: jumlah yang sama, 43%, menyatakan bahwa mereka tidak menyediakan dan bahkan tidak berencana untuk menyediakan opsi cuti ini di masa mendatang.

Di antara dua kutub tersebut, terdapat 14% perusahaan yang telah atau berencana memberikan paternity leave sebagai kebijakan baru dalam 12 bulan ke depan. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun tren sudah mulai terbentuk, masih ada jurang kesenjangan besar antara kesadaran dan implementasi di lapangan.

Di balik angka, terdapat urgensi sosial yang tidak bisa diabaikan. Paternity leave bukan sekadar libur kerja, ia adalah langkah nyata agar sang ayah dapat berkontribusi dalam pengasuhan anak sejak hari pertama, serta menciptakan ikatan emosional yang kuat dalam masa-masa krusial awal kehidupan anak. Paternity leave menjadi salah satu cara agar sang Ayah juga dapat berkontribusi dalam mengasuh anak serta memberikan kesempatan bagi sang Ayah untuk mendapatkan quality time dan hubungan yang erat dengan anak.

Namun, kebijakan ini hanya akan efektif jika dirancang dengan cermat dan dijalankan secara konsisten. Perusahaan bisa mulai dengan menentukan durasi cuti yang sesuai, misalnya 2 hingga 8 minggu, serta menciptakan sistem internal yang mendukung pengambilan hak ini tanpa tekanan.

Tantangan berikutnya ada pada komunikasi internal. Pihak manajemen dan tim HR dituntut untuk menyosialisasikan kebijakan ini secara aktif kepada seluruh karyawan. Pihak manajemen perusahaan dan tim HR perlu aktif menginformasikan kebijakan ini kepada seluruh pegawai. Dorong para Ayah untuk memanfaatkan hak ini tanpa rasa takut akan stigma atau dampak negatif terhadap karir mereka.

Di tengah gelombang perubahan menuju dunia kerja yang lebih inklusif dan berempati, paternity leave bukan lagi sekadar tren. Ia bisa menjadi tolok ukur seberapa jauh perusahaan menghargai keseimbangan hidup karyawan, dan seberapa berani mereka melampaui norma yang selama ini menempatkan peran pengasuhan hanya di satu sisi. (*)

# Tag