Sri Mulyani: "Realisasi Pembiayaan Masih On Track!"
Di tengah dinamika ekonomi global yang belum sepenuhnya stabil, kepercayaan terhadap pengelolaan fiskal Indonesia mendapat angin segar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), menyampaikan bahwa realisasi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 masih sesuai jalur.
Bukan sekadar klaim, pernyataan tersebut didukung angka konkret: hingga akhir Maret, realisasi pembiayaan mencapai Rp250,0 triliun atau 40,6% dari target tahunan sebesar Rp775,9 triliun.
“Realisasi pembiayaan masih on track,” ujarnya singkat namun tegas, mengisyaratkan bahwa strategi fiskal tetap berjalan dalam koridor yang dirancang sejak awal.
Rincian pembiayaan pun menunjukkan kehati-hatian dalam eksekusi. Realisasi pembiayaan terdiri dari pembiayaan utang sebesar Rp270,4 triliun, sementara pembiayaan non-utang justru tercatat negatif Rp20,4 triliun.
Ini menandakan adanya pelunasan atau pengurangan kewajiban non-utang. Pembiayaan utang sendiri sebagian besar berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) secara neto sebesar Rp282,6 triliun, dikurangi dengan pinjaman (neto) sebesar minus Rp12,3 triliun.
“Pembiayaan utang senantiasa dilaksanakan secara hati-hati dan terukur dengan memperhatikan outlook defisit APBN dan likuiditas Pemerintah, serta mencermati dinamika pasar keuangan dan menjaga keseimbangan antara biaya dan risiko utang,” jelasnya lebih lanjut.
Dengan strategi seperti ini, kinerja fiskal kuartal pertama 2025 menunjukkan daya tahan. Defisit anggaran tercatat Rp104,2 triliun atau 0,43% dari Produk Domestik Bruto (PDB), angka yang masih dalam batas wajar dan aman.
Bahkan, keseimbangan primer, yang selama bertahun-tahun sulit dijaga tetap positif, berhasil mencatatkan angka surplus Rp17,5 triliun. Posisi kas pemerintah pun menunjukkan kekuatan fiskal, dengan surplus Rp145,8 triliun (SILPA).
Pendapatan negara dan hibah sampai Maret 2025 tercatat Rp516,1 triliun, mencerminkan realisasi yang cukup solid di tengah tantangan perlambatan ekonomi global. Di sisi lain, belanja negara sudah mencapai Rp620,3 triliun. Pola belanja yang menguat terutama di bulan Maret menjadi indikasi bahwa pemerintah menjaga irama fiskal tetap ekspansif, namun terkendali.
Lebih dari sekadar angka, APBN kembali menunjukkan perannya sebagai shock absorber bagi ekonomi nasional. Ketika ketidakpastian membayangi, kebijakan fiskal diandalkan untuk menjaga stabilitas dan daya beli masyarakat.
Dalam kuartal pertama, belanja diarahkan pada kebutuhan krusial: pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR), subsidi energi seperti BBM, LPG, listrik, dan pupuk, serta perlindungan sosial berupa PKH, bantuan sembako, PIP, hingga JKN.
“Realisasi tersebut didorong oleh Belanja Pemerintah Pusat yang mencapai Rp413,2 dan Transfer Ke Daerah yang mencapai Rp207,1 triliun atau 22,5% dari target APBN,” ungkap Sri Mulyani.
Lewat arah fiskal yang terukur, pemerintah tak hanya menjaga denyut ekonomi tetap stabil, tapi juga menanamkan sinyal kuat kepada pasar: bahwa Indonesia mampu mengelola pembiayaan secara disiplin, bahkan di tengah tekanan global yang tak kunjung reda. APBN, dengan segala tantangannya, sekali lagi menunjukkan dirinya bukan sekadar instrumen anggaran, tapi fondasi ketahanan ekonomi nasional. (*)