Spotify: Seluk-Beluk Bisnis Jualan “Suasana Hati”

null

Spotify didirikan pada tahun 2006 di Swedia oleh Daniel Ek dan Martin Lorentzon sebagai tanggapan terhadap maraknya pembajakan musik digital yang terjadi kala itu.

Layanan digital ini resmi diluncurkan pada tahun 2008, menawarkan model streaming berbasis langganan dan iklan yang memungkinkan pengguna mengakses jutaan lagu secara legal.

Dengan mengandalkan algoritma canggih, Spotify kini telah merevolusi cara orang mendengarkan musik. Saat ini, Spotify menjadi platform streaming musik terbesar di dunia dengan ratusan juta pengguna aktif dan telah mengubah industri musik secara global.

Streaming telah menyumbang 84 persen dari pendapatan rekaman musik, dengan Spotify, yang merupakan layanan terbesar, menguasai 30 persen pasar, dengan lebih dari 615 juta pengguna dan 239 juta pelanggan berbayar.

Menilik sejarahnya, pada pertengahan tahun 2010-an platform media digital secara umum menyamakan keberadaan diri mereka dengan gerakan demokrasi dan ekspresi diri yang telah berlangsung selama beberapa tahun. Spotify adalah bagian dari fenomena ini. Bagian dari demokratisasi musik yang ditumbuhkan dari bawah dengan tujuan agar tidak ada lagi ketergantungan pada perusahaan label musik besar yang eksploitatif.

Layanan streaming musik diposisikan sebagai platform yang netral, meritokrasi berbasis data yang mampu membikin aturan baru bagi bisnis musik melalui kekuatan playlist dan algoritmanya.

Namun pada kenyataannya, model layanan berlangganan musik ini telah kembali ke pola lama dan tidak dapat hidup tanpa partisipasi oligopoli label besar seperti Universal, Sony, dan Warner, yang bersama-sama mengendalikan 70 persen pasar musik rekaman dunia. Ini membuat konsep streaming musik pada akhirnya hanya dirancang dan dikendalikan oleh perusahaan label besar.

Ternyata, teknologi jaringan tidak menyelesaikan kontradiksi antara seni dan bisnis, tetapi justru membuat komersialisme semakin tersamarkan dan lebih meluas. Teknologi ini menciptakan ilusi bahwa semua orang seakan-akan telah turut berpartisipasi.

Platform ini sebagian besar hanya menawarkan ilusi kebersamaan. Platform bukanlah ruang publik; platform adalah kandang digital perusahaan tempat setiap aktivitas konsumen bisa dilacak.

Streaming, dan khususnya Spotify, menciptakan versi bertema musik, tempat partisipasi ditangkap, direduksi menjadi titik-titik data, dan digunakan untuk memperkuat mesin komersial, untuk mencapai tujuan finansial Spotify dan perusahaan musik besar yang menyertainya.

Teknologi ini pada akhirnya sama sekali tidak menantang kapitalisme, tetapi malahan menjadi semacam alat ultra-kapitalis. Konsepnya tidak hanya untuk musik, tetapi ia ingin membangun sesuatu yang menggabungkan iklan, streaming, dan teknologi peer-to-peer yang lebih luas. Mengeksploitasi konsumen sampai titik dasar.

Saat ini ada lebih banyak waktu untuk mendengarkan dengan menggunakan musik sebagai background suasana bagi orang-orang yang ingin bersantai dan membiarkan Spotify sepenuhnya memilih sesuatu untuk didengarkannya.

Alasannya, saat ini pengguna kewalahan dengan banyaknya pilihan dan membutuhkan rekomendasi yang dapat membimbing mereka. Spotify seakan tahu apa yang dimaui pelanggan dengan musik, dan itu melibatkan aplikasi, playlist, dan algoritma miliknya.

Pendengar datang untuk pengalaman pasif; mereka hanya dengan menekan satu tombol bisa mendengarkan musik yang sesuai dengan suasana hati mereka pada waktu itu. Spotify telah menemukan cara baru untuk memanipulasi pendengar agar menghabiskan lebih banyak waktu streaming mereka untuk menikmati musik di platformnya.

Buku ini adalah kisah tentang pendengar yang dilihat sebagai komoditas daripada bentuk seni, dan musisi dilihat lebih sebagai kreator konten daripada artis. Ini adalah kisah tentang ketidakpastian, hiper-komersialisasi dan individualisme.

Ini terjadi di saat musik telah menjadi lebih personal, diputar di playlist, diputar otomatis, dan dikendalikan secara algoritmik. Ini adalah kisah tentang masalah sosial, budaya, dan politik yang muncul seiring dengan perubahan dalam industri musik dunia.

Spotify berusaha menjual produknya kepada sebanyak mungkin orang dengan target pada tingkatan emosional. Untuk menghasilkan keuntungan, Spotify perlu mengembangkan basis penggunanya, dan mengatur musik berdasarkan suasana hati (mood) dan menciptakan momen spesifik yang akan menjadi bagian dari upaya menarik pelanggan untuk mengkonsumsi produk mereka.

Dalam pengertian ini, penaklukan suasana hati mencerminkan perilaku industri musik yang tanpa malu mengambil untung dari dunia yang sedang putus asa; kapitalisme telah mengasingkan kita dan menjual berbagai perangkat untuk mengalihkan perhatian kita dari kesepian dan kerja keras yang terus-menerus. Seakan mereka membuat kita sakit terlebih dahulu dan kemudian menjual obatnya.

Tahun-tahun awal Spotify adalah tentang menyediakan musik, dengan cepat, mudah, murah, dan lancar. Namun, pada saat ini, kekuatan yang dimiliki Spotify adalah kemampuannya untuk mengubah cara orang mendengarkan musik. Mampu menyediakan playlist yang sempurna pada saat yang tepat. Dasarnya adalah taktik algoritmik yang telah lama digunakan yang disebut penyaringan kolaboratif.

Mereka menemukan pengguna dengan selera yang sama, lalu merekomendasikan hal-hal dari koleksi mereka yang belum pernah didengar.

Personalisasi yang berlebihan telah mendukung orientasi baru dalam mendengarkan musik. Anda tahu apa yang menurut mesin Anda sukai, tetapi Anda tidak selalu tahu mengapa mesin sampai pada kesimpulan itu; Anda juga tidak tahu apa yang menurut mesin orang lain sukai, atau cara-cara di mana apa yang direkomendasikan kepada Anda berhubungan dengan apa yang direkomendasikan kepada orang lain.

Rekomendasi musik adalah cara untuk menciptakan silo, bukan koneksi. Pengguna Spotify dapat membuka aplikasi, menekan “putar”, dan langsung mendapatkan pilihan musik atau lagu yang sempurna untuk setiap momen atau konteks, tanpa harus mencari, meng-klik, atau berpikir lagi.

Dengan algoritma yang dimiliki, kita harus berasumsi bahwa setiap interaksi yang dilakukan di aplikasi Spotify akan direkam. Sistem perekaman data ini mungkin dimulai dengan satu tujuan, tetapi seiring waktu, tujuannya mungkin dapat bergeser dan meluas melampaui tujuan aslinya.

Kita mungkin tahu bahwa aplikasi streaming mengawasi setiap gerakan kita, tetapi menurut kita itu hanya untuk merekomendasikan musik dan karenanya, kita dikondisikan untuk menganggapnya sebagai risiko yang rendah. Begitu rendahnya risiko tersebut sehingga, misalnya, aplikasi musik mulai memantau dan memetakan suara kita, atau melacak aktivitas mesin pencari kita di luar aplikasi, mungkin kita bahkan tidak menyadarinya.

Atau, ketika aplikasi mengambil fakta paling mendasar dari perilaku mendengarkan kita dan menjualnya kepada pialang data sebagai “data suasana hati”, yang kemudian mereka gunakan untuk menyusun profil yang lebih kompleks tentang kita, mungkin kita bahkan juga tidak memedulikannya.

Memikirkan kembali masa depan musik juga memerlukan pemikiran ulang tentang motif keuntungan dan struktur kekuasaan. Hal ini memerlukan kajian model alternatif yang dapat lebih kooperatif, transparan, dikelola oleh artis, yang mendukung artis yang beroperasi dalam berbagai skala dan praktik, dan yang secara umum mengutamakan kepentingan manusia daripada keuntungan bisnis semata.

Masalah dengan streaming musik adalah masalah budaya yang lebih luas di bawah kapitalisme, di mana dekontekstualisasi dan amnesia historis membuat orang tidak melihat ke belakang, ke depan, dan ke sekeliling, tetapi terombang-ambing di sekitar lingkungan mereka saja.

Industri budaya korporat memperkuat dirinya tidak hanya dengan mengendalikan pasar tetapi juga dengan mengendalikan imajinasi populer, dengan meyakinkan kita bahwa tidak ada alternatif lain yang dimungkinkan. Padahal sebenarnya, alternatif tersebut selalu berkembang di sekitar kita.

Streaming diklaim dapat mengatasi pembajakan, tetapi bagi banyak artis dan pendengar independen, masalah bisnis musik ultra-kapitalis tidak pernah terpecahkan. Kenyataannya, tidak ada intervensi teknologi yang dapat dengan mudah menyelesaikan masalah yang rumit dan terus berubah seperti ini.

Dengan potensi yang dimiliki teknologi yang semakin canggih, penting juga untuk melihat cara-cara yang tersembunyi yang telah memengaruhi artis dan pendengar oleh berbagai sistem otomatisasi dan pembelajaran mesin selama lebih dari satu dekade terakhir. Karena, karier artis semakin dikelola oleh algoritma, dan mendengarkan musik menjadi semakin bersifat mekanis.

Pada saat masa depan musik terasa dipertaruhkan, saat ini terasa tepat untuk melihat ke belakang dan ke depan dengan lebih serius. Masalah yang dihadapi musisi, seperti yang dihadapi bidang lain dalam masyarakat, bukanlah masalah teknologi, melainkan: masalah kekuasaan dan tenaga kerja yang semakin senjang dan tidak adil.

Judul Buku : Mood Machine: The Rise of Spotify and the Costs of the Perfect Playlist

Pengarang : Liz Pelly

Penerbit : Atria/One Signal Publishers

Cetakan : Pertama, Januari 2025

Tebal : 288 halaman

*) Peresensi adalah Staf Pengajar Program Studi Magister Administrasi Bisnis, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

# Tag