Kita Bukan Makhluk Fisik, Kita adalah Jiwa

null
Arvan Pradiansyah (Dok: Pribadi)

Kalimat itu tiba-tiba saja terpapar di hadapan saya. Ada yang bilang ini dari C.S. Lewis. Ada yang bilang, bukan. Namun, satu hal yang pasti, kalimat ini benar-benar membuka kesadaran saya.

You do not have a soul. You are a soul. You have a body.” Anda tidak memiliki jiwa. Anda adalah jiwa itu sendiri. Anda memiliki tubuh.

Sesungguhnya, apa yang disampaikan oleh kutipan ini bukanlah hal baru. Konsep ini sudah diajarkan sejak berabad-abad silam, salah satunya oleh Plato dan ini dikenal sebagai Dualisme Plato.

Dalam pemikiran Plato, manusia terdiri dari dua unsur utama. Yang pertama adalah jiwa (soul): bagian yang abadi, berasal dari dunia ide, dan akan terus ada meskipun tubuh mati. Yang kedua adalah tubuh (body): bagian yang fana, berasal dari dunia fisik, dan hanya bersifat sementara.

Yang menarik, manusia sejatinya bukan tubuhnya, melainkan jiwanya. Namun, inilah yang sering tidak kita sadari. Kesalahan terbesar banyak orang ialah menganggap bahwa manusia itu adalah makhluk fisik. “Aku adalah tubuhku. Jika tubuhku mati, aku pun ikut mati.” Inilah kesalahan identitas yang paling menyedihkan.

Banyak orang hidup dengan pandangan bahwa diri mereka adalah tubuh fisik. Mereka percaya bahwa eksistensi mereka bergantung sepenuhnya pada tubuh yang mereka miliki.

Padahal, sejatinya kita adalah jiwa. Kita bukanlah tubuh kasar kita, melainkan tubuh halus kita. Jiwa kitalah yang akan terus hidup, sementara tubuh ini hanyalah tempat tinggal sementara yang diberikan oleh Tuhan untuk waktu yang sangat singkat.

Ingin tahu seberapa singkatnya?

Mari kita lihat beberapa contoh tokoh yang kita kenal. Nabi Muhammad saw., misalnya, hanya menempati tubuh kasarnya selama 63 tahun, dan beliau sudah berada di alam berikutnya selama 1.400 tahun.

Napoleon Bonaparte? 52 tahun di dunia, tetapi sejauh ini sudah 204 tahun di alam yang lain.

Pangeran Diponegoro, 70 tahun di dunia, tapi sudah 170 tahun di alam berikutnya.

R.A. Kartini, 25 tahun vs. 121 tahun; Sultan Agung, 54 tahun vs. 380 tahun; Cut Nyak Dhien, 58 tahun vs. 117 tahun; Gajah Mada, 84 vs. 660 tahun; Jenderal Sudirman, 34 tahun di alam dunia dan 75 tahun di alam berikutnya.

Coba kita renungkan. Semua tokoh ini pernah hidup di dunia, merasakan tubuh fisiknya, tapi waktu mereka di dunia ternyata amat sangat singkat bila dibandingkan dengan keberadaan mereka di alam berikutnya.

Ilustrasi ini membukakan mata kita akan sebuah fakta yang sungguh terang-benderang: keberadaan kita dalam tubuh fisik ini amat singkat. Sementara perjalanan kita setelahnya akan sangat panjang, bahkan tak terhingga.

Karena itu, pertanyaan yang harus kita tanyakan adalah: Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan yang jauh lebih panjang itu?

Kesuksesan di dunia ini saja membutuhkan persiapan yang begitu matang. Kita menghabiskan 12 tahun untuk sekolah dasar dan menengah, 4-5 tahun untuk kuliah S-1, belum lagi berbagai pelatihan, sertifikasi, dan keterampilan lainnya yang kita kejar agar bisa sukses dalam hidup yang hanya sebentar ini.

Lantas, bagaimana dengan kehidupan setelah dunia ini?

Sudahkah kita menyiapkan sesuatu?

Atau jangan-jangan kita sama sekali belum berinvestasi untuk kehidupan yang jauh lebih panjang itu?

Lebih parah lagi, jangan-jangan kita bahkan tidak menyadari bahwa kehidupan yang berikutnya itu memang benar-benar ada.

Kesadaran ini bisa sangat menghantam kita. Kita berjuang habis-habisan untuk sukses di dunia yang amat singkat ini. Kita rela mengorbankan begitu banyak hal —waktu, tenaga, bahkan mungkin integritas— demi pencapaian duniawi. Iironisnya, kita sering mengabaikan jiwa kita sendiri.

Kita terlalu sibuk mengejar kepuasan tubuh kasar ini, hingga lupa bahwa yang lebih penting adalah tubuh halus kita, jiwa kita. Padahal, jiwa inilah satu-satunya yang akan kita bawa untuk selama-lamanya.

Jika kita benar-benar memahami ini, kita tidak akan pernah rela merusak jiwa kita hanya demi kepuasan tubuh kasar. Kita tidak akan menghalalkan segala cara hanya untuk sukses di dunia yang fana. Kita akan lebih bijak dalam menjalani hidup, lebih sadar dalam membuat keputusan, dan lebih hati-hati dalam menjaga keseimbangan antara tubuh fisik dan jiwa kita.

Kesadaran ini juga akan mengubah cara kita melihat ibadah, termasuk puasa. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi latihan spiritual untuk kembali menyadari siapa diri kita yang sebenarnya.

Ketika berpuasa, kita merasakan bahwa tubuh kasar kita begitu lemah. Kita lapar, haus, lelah. Namun anehnya, di saat yang sama, kita merasa lebih kuat secara spiritual. Kita merasa lebih dekat dengan diri sejati kita, lebih jernih dalam berpikir, lebih tajam dalam merasakan.

Dan, saat itulah kita sadar: Kita bukanlah tubuh ini. Kita adalah jiwa yang jauh lebih kuat, jauh lebih dominan, dan jauh lebih berharga daripada sekadar tubuh kasar ini.

Maka, inilah yang sangat perlu kita renungkan: Kita sudah begitu serius mempersiapkan kesuksesan di dunia ini, tapi apakah kita sudah mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang jauh lebih panjang nanti? (*)

Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional - Leadership & Happiness

# Tag