Dulu SPG Telkomsel, Kini Membangun Perusahaan dengan Ribuan Karyawan, Kuncinya: Budaya ASU!
Dalam dunia bisnis yang kerap dipenuhi kisah tentang perjuangan dari nol, nama Desy Sulistyorini mengukir ceritanya sendiri.
Ia memulai perjalanan kariernya bukan dari ruang ber-AC atau gedung pencakar langit, melainkan dari panasnya lapangan, menjadi seorang SPG Telkomsel saat masih kuliah di usia 19 tahun. Kala itu, ayahnya, seorang polisi, meninggal mendadak akibat serangan jantung.
Kehilangan tulang punggung keluarga memaksanya berpikir cepat: bagaimana caranya bisa membiayai kuliah?
Anak Jaga
Jalan tercepat yang ditempuh adalah menjadi "anak jaga," istilah populer saat itu untuk mahasiswa yang sambil kuliah bekerja menjaga booth atau stand promosi.
Desy menghabiskan hari-harinya kuliah di pagi hari dan menjaga stand hingga malam. Pulang larut, bangun pagi, dan mengulanginya lagi.
Meski keras, pengalaman ini membentuk daya tahannya. Di sela-sela kesibukannya, ia juga mencoba dunia Abang None Jakarta, bukan demi gengsi, melainkan peluang pendapatan tambahan.
Namun, sadar bahwa pekerjaan ini tak menjanjikan masa depan jangka panjang, Desy berani mengambil langkah besar: di usia 20 tahun, ia mendirikan usaha pertamanya, sebuah CV jasa jahit seragam, bersama seorang teman yang jago menggambar tetapi minder berbicara.
Bermodal keberanian dan semangat, Desy dan rekannya door-to-door menawarkan jasa mereka ke berbagai perusahaan. Pelanggan pertamanya adalah kampus tempat ia belajar sendiri, STEKPI, sebuah sekolah tinggi ekonomi yang kala itu cukup bergengsi.
Dari hasil usahanya, Desy berhasil melunasi biaya kuliah, bahkan bisa menyisihkan uang untuk berbagi dan menikmati liburan. Di titik ini, karakter entrepreneur dalam dirinya mulai nyata: berani mengambil peluang, mengelola bisnis kecil, dan membangun jejaring.
Namun perjalanan karier Desy tak berhenti di sana. Setelah lulus, ia sempat bekerja di Bank BII sebagai Management Trainee (MT), sebuah jalur karier prestisius.
Tetapi naluri petualangannya berkata lain. Dunia perbankan terasa terlalu statis. Ia pun hijrah ke PT Aerowisata, anak usaha Garuda Indonesia, dan merambah dunia hospitality. Dari public relations di hotel hingga menjabat PR Manager di Medan, ia terus memperkaya pengalamannya, bergeser dari bidang finance ke layanan pelanggan dan operasional.
Perjalanan membawanya lebih jauh lagi saat bergabung dengan PT ISS Indonesia, perusahaan facility service multinasional asal Denmark. Di sana, Desy menapaki tangga karier selama lebih dari 12 tahun, hingga mencapai posisi sebagai Operation Director.
Pengalaman panjang inilah yang akhirnya mengantarkannya ke posisi Direktur Utama Angkasa Pura Support, anak usaha dari Angkasa Pura I, saat pandemi COVID-19 melanda. Ditantang menciptakan inovasi di tengah dunia penerbangan yang lumpuh, Desy membuktikan bahwa krisis justru melahirkan kreativitas dan ketangguhan.
Angka 13
Meski sukses di BUMN, Desy akhirnya memutuskan mundur. Jiwa entrepreneur yang sejak awal tumbuh dalam dirinya, merasa lebih hidup di dunia swasta yang dinamis. “Kalau jiwa swasta itu geraknya cepat,” ujarnya dalam acara BizzComm Podcast, kerjasama SWA dengan LSPR Faculty of Business.
Ia menyadari bahwa walau telah berhasil membawa Angkasa Pura Support melewati masa sulit, panggilan hatinya bukan di struktur korporat yang kaku. Maka lahirlah PT Nusantara Inti Solusindo (NIS) pada 13 Desember 2022, bertepatan dengan Hari Nusantara. Saat itu, timnya hanya berjumlah 13 orang. "Orang takut angka 13, kami malah suka," ucapnya sembari tertawa.
Namun di balik angka yang terkesan mistis itu, NIS tumbuh cepat. Hanya dalam waktu dua setengah tahun, jumlah karyawannya melonjak dari 13 menjadi lebih dari 1.700 orang. NIS melayani klien di Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, hingga Manado.
Tapi ekspansi itu tidak dilakukan secara gegabah. Desy menekankan pentingnya pertumbuhan yang terukur dan berlandaskan strategi yang matang. “Kami tidak ingin sekadar besar. Kami ingin sustainable,” tegasnya. Prinsip itu pula yang membedakan NIS dari sekian banyak perusahaan outsourcing lainnya.
Sebagai perusahaan facility service, NIS menyediakan berbagai layanan mulai dari cleaning service, security, messenger, OB, hingga resepsionis dan penerjemah.
Namun, kata Desy, NIS bukan sekadar perusahaan penyedia tenaga kerja. "Kami membentuk akhlaknya, value-nya sebagai manusia," ujarnya. Ia percaya bahwa pelayanan yang baik lahir dari karakter yang baik pula. Maka selain pelatihan teknis, NIS juga membekali para stafnya dengan nilai-nilai etika kerja dan tanggung jawab.
Uniknya, Desy juga mendorong atmosfer kerja yang fun dan terbuka. Di kantor NIS, tersedia ruangan bernama fun room, tempat para karyawan bisa menulis inspirasi, mencoret ide, atau sekadar melepas penat. Bahkan, siapapun bebas mengkritik sang CEO. “Anytime, semua orang bisa masuk ke ruangan saya,” katanya.
Filosofi kepemimpinannya memang sederhana: menciptakan ruang kerja yang membuat orang betah dan merasa dihargai. "Orang kerja harus happy. Baru bisa all out,” tuturnya.
Namun yang paling menarik dari Desy adalah visinya membangun perusahaan bukan sekadar untuk untung, melainkan untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan kapasitas orang-orang di sekitarnya. Ia menyebutnya sebagai niatan luhur. “Yang tadinya zero jadi hero,” ucapnya.
Di NIS, seorang karyawan tidak hanya dilatih satu pekerjaan, tetapi didorong untuk menguasai dua hingga tiga keterampilan sekaligus. Baginya, ini bukan soal produktivitas semata, tapi tentang menciptakan manusia yang lebih percaya diri dan berdaya.
Budaya ASU
Dalam pasar yang sarat kompetisi, Desy sadar NIS harus tampil beda. Maka ia dan tim merancang strategi unik berbasis dua hal: teknologi dan pendekatan personal. Teknologi diwujudkan melalui NOA, sebuah aplikasi buatan internal yang memungkinkan klien memantau layanan secara real time. Mulai dari pergerakan petugas keamanan, progres kebersihan, hingga laporan insiden—semuanya terekam dan transparan.
“Kita kasih dashboard ke klien supaya dia bisa lihat time to time. Transparan, nothing to hide,” jelas Desy.
Di sisi lain, pendekatan personal diwujudkan lewat konsep tailor-made service. NIS tidak sekadar menjual layanan, tapi menyulam solusi yang disesuaikan dengan kebutuhan klien. Analogi yang dipakai pun menarik: seperti tukang jahit yang menjahit pakaian berdasarkan ukuran dan selera pelanggan, bukan kemauan penjahit.
"Kalau klien bilang mau warna ungu, ya kami kasih warna ungu," ujarnya sambil tersenyum. Bahkan seragam pun bisa disesuaikan, selama tetap membawa identitas perusahaan. Desy percaya, rasa “dimengerti” membuat klien loyal.
Namun semua itu tak akan berarti tanpa fondasi budaya kerja yang kuat. Di sinilah Desy menanamkan filosofi yang agak nyeleneh tapi sarat makna: ASU. Singkatan dari "Akui, Say Sorry, dan Ubah".
Menurutnya, tiga kata ini adalah kunci untuk membangun organisasi yang sehat. “Orang paling susah itu ngaku salah, apalagi minta maaf, apalagi berubah,” katanya. Di NIS, budaya ASU ditanamkan hingga ke level paling bawah, bahkan untuk hal kecil seperti gelas CEO yang pecah.
Filosofi hidup Desy pun berakar dari kearifan lokal: Urip iku urup — hidup itu menyala. “Artinya, di mana pun kita berada, harus punya value untuk orang lain,” katanya pelan. Ia ingin kehadirannya, dan juga perusahaannya, bisa menjadi nyala api bagi lingkungan sekitar.
Karena itulah, mimpinya untuk NIS 10 tahun ke depan bukan hanya soal angka pertumbuhan, tetapi tentang melahirkan lebih banyak pemimpin. “Tugas seorang leader adalah melahirkan leader-leader baru,” ujarnya.
Menutup perbincangan, Desy memberi pesan yang sederhana tapi kuat. “Jangan merasa hidupmu itu sebesar daun kelor. Kesempatan banyak. Masalahnya kita mau lihat atau tidak,” katanya.
Ia mengingatkan pentingnya semangat belajar sepanjang hayat, menjaga kejujuran, dan tidak malu untuk mengakui kesalahan. “ASU itu penting,” katanya terkekeh. Sebab dari akui, minta maaf, lalu berubah, di situlah transformasi personal dimulai. Dan bagi Desy, transformasi personal adalah pondasi dari transformasi bisnis yang sejati. (*)