OJK-BPS Rilis SNLIK 2025: Indeks Naik, Distribusi Masih Jadi PR
Lanskap keuangan Indonesia menunjukkan kemajuan dalam hal pemahaman dan akses masyarakat terhadap layanan keuangan. Hal ini tergambar dari hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang baru saja dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (2/5/2025).
Ini adalah tahun kedua OJK melibatkan BPS dalam pelaksanaan survei. Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, menjelaskan bahwa survei tahun ini menggunakan dua pendekatan. Apa saja?
Pertama, metode keberlanjutan yang mempertahankan cakupan sembilan sektor keuangan seperti pada SNLIK 2024, termasuk sistem pembayaran.
Kedua, pendekatan berbasis cakupan Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) yang menambahkan BPJS dan lembaga jasa keuangan lainnya.
“Metode keberlanjutan tersebut telah digunakan sejak tahun lalu oleh OJK, sementara pendekatan DNKI dirumuskan oleh Kemenko Perekonomian. DNKI sendiri dipimpin oleh Presiden RI, dan Ketua OJK serta Gubernur BI menjabat sebagai wakil ketua,” ujar Friderica saat konferensi pers.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengungkapkan bahwa indeks literasi keuangan nasional naik menjadi 66,46% berdasarkan metode keberlanjutan, dari posisi 65,43% pada tahun sebelumnya.
Bila dihitung dengan pendekatan DNKI, angkanya sedikit lebih tinggi, yakni 66,64%. Ia mengingatkan bahwa perbandingan antar-tahun hanya valid jika menggunakan metode yang sama.
Di sisi lain, pertumbuhan yang lebih mencolok justru datang dari sektor keuangan syariah. Indeks literasi syariah melonjak dari 11,39% pada 2024 menjadi 43,42% pada 2025. Sebaliknya, literasi di sektor konvensional hanya naik tipis, dari 65,08% menjadi 66,45%.
Sementara itu, akses terhadap layanan keuangan atau indeks inklusi juga mengalami lonjakan. Dengan metode keberlanjutan, indeks inklusi naik dari 75,02% menjadi 80,51%. Sedangkan jika dihitung dengan cakupan DNKI, angkanya menembus 92,74%. Layanan keuangan konvensional mencatatkan kenaikan inklusi dari 75,55% menjadi 79,71% (keberlanjutan) dan 92,61% (DNKI).
Namun demikian, peningkatan tidak terjadi merata. Inklusi keuangan syariah masih mencatat angka rendah, hanya naik dari 12,92% menjadi 13,41% — baik berdasarkan pendekatan keberlanjutan maupun DNKI.
Hal ini menandakan adanya jurang pemanfaatan layanan antara keuangan konvensional dan syariah yang masih cukup lebar, meski kesadaran terhadap keuangan syariah meningkat.
Pelaksanaan SNLIK 2025 dilakukan secara nasional, mencakup 34 provinsi, dengan 10.800 responden berusia 15–79 tahun. Survei ini berlangsung selama hampir sebulan, dari 13 Januari hingga 11 Februari 2025.
Peningkatan angka literasi dan inklusi keuangan tentu menjadi kabar baik. Namun, gap yang masih terlihat antara sektor konvensional dan syariah, serta perbedaan hasil antar-metode, mengingatkan bahwa tugas membangun sistem keuangan inklusif belum selesai.
Survei ini tidak hanya mencatat data, tetapi juga mengungkap pekerjaan rumah yang perlu dirampungkan dalam mewujudkan keadilan finansial di seluruh lapisan masyarakat. (*)