OJK-BPS: 66,46% Masyarakat Lebih Melek Finansial, Inklusi Capai 80,51%

Jumpa pers OJK dan BPS. (Foto: Audrey Aulivia Wiranto/SWA)
Jumpa pers OJK dan BPS. (Foto: Audrey Aulivia Wiranto/SWA)

Peningkatan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia kembali mencatat capaian positif.

Dalam hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang diumumkan pada Jumat (2/5/2025), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan adanya lonjakan signifikan dalam pemahaman dan akses masyarakat terhadap layanan keuangan.

Tingkat literasi keuangan nasional kini mencapai 66,46 persen, naik dari 65,43 persen pada tahun sebelumnya. Sementara itu, tingkat inklusi keuangan turut meningkat menjadi 80,51 persen, dari sebelumnya 75,02 persen.

Angka-angka ini menunjukkan keberhasilan berkelanjutan dalam upaya memperluas pemahaman dan akses masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.

Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, menekankan pentingnya kolaborasi lintas lembaga dalam pengumpulan data yang komprehensif dan strategis.

“Survei ini juga memperhatikan evaluasi pelaksanaan sebelumnya serta memenuhi kebutuhan data dari Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) yang lebih menyeluruh,” ungkap Friderica dalam jumpa pers.

Pelaksanaan SNLIK 2025 ini merupakan kerja sama kedua antara OJK dan BPS. Di tahun ini, survei tidak hanya mempertahankan pendekatan sebelumnya melalui Metode Keberlanjutan, tetapi juga mengadopsi Metode Cakupan DNKI yang memperluas jangkauan pada sektor non-konvensional. Metode ini mencakup lembaga seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, hingga layanan keuangan berbasis komunitas dan sosial.

Hasilnya, berdasarkan Metode Keberlanjutan, indeks literasi tercatat 66,46 persen dan inklusi 80,51 persen. Sementara melalui Metode Cakupan DNKI, literasi sedikit lebih tinggi di angka 66,64 persen dan inklusi keuangan melonjak menjadi 92,74 persen—capaian tertinggi sejauh ini dalam sejarah pelaksanaan SNLIK.

Namun, tantangan masih membayangi di sektor keuangan syariah. Literasi keuangan syariah tercatat 43,42 persen, sedangkan inklusi keuangannya masih rendah, hanya 13,41 persen. Angka ini memperlihatkan ruang besar untuk edukasi dan perluasan akses terhadap layanan keuangan berbasis prinsip syariah.

SNLIK 2025 dilakukan dengan melibatkan 10.800 responden berusia 15–79 tahun, tersebar di 120 kota/kabupaten di seluruh 34 provinsi. Pengumpulan data berlangsung pada 22 Januari hingga 11 Februari 2025, dengan metode stratified multistage cluster sampling. Desain survei memperhatikan representasi menyeluruh berdasarkan wilayah, jenjang pendidikan, dan usia.

Indeks literasi dihitung berdasarkan lima aspek utama: pengetahuan, sikap, keyakinan, keterampilan, dan perilaku terhadap keuangan. Sementara inklusi diukur dari tingkat penggunaan produk dan layanan keuangan.

Dengan hasil ini, OJK dan BPS tak hanya mengukuhkan posisi strategis SNLIK sebagai alat evaluasi, tetapi juga menegaskan komitmen mereka dalam mendorong ekosistem keuangan yang inklusif dan berdaya. Data bukan sekadar angka, tetapi fondasi untuk merancang kebijakan yang lebih tajam dan tepat sasaran.

Adapun temuan yang menarik adalah di bawah ini...

Temuan Berdasarkan Metode Keberlanjutan:

  • Wilayah: Masyarakat perkotaan mencatat indeks literasi 70,89 persen dan inklusi 83,61 persen, lebih tinggi dari wilayah perdesaan yang masing-masing hanya 59,60 persen dan 75,70 persen.
  • Gender: Literasi keuangan pria tercatat 67,32 persen, lebih tinggi dari perempuan yang 65,58 persen. Namun, inklusi keuangan relatif setara: pria 80,73 persen dan perempuan 80,28 persen.
  • Umur: Rentang usia 26–35 tahun memiliki tingkat literasi tertinggi (74,04 persen), diikuti usia 18–25 tahun (73,22 persen) dan 36–50 tahun (72,05 persen). Untuk inklusi keuangan, tertinggi ditemukan pada usia 18–25 tahun (89,96 persen), 26–35 tahun (86,10 persen), dan 36–50 tahun (85,81 persen).
  • Pendidikan: Lulusan perguruan tinggi memiliki tingkat literasi (90,63 persen) dan inklusi (99,10 persen) tertinggi. Sebaliknya, responden tanpa pendidikan formal memiliki tingkat literasi 43,20 persen dan inklusi 56,95 persen.
  • Pekerjaan: Pegawai/profesional, pensiunan, dan wirausahawan menunjukkan literasi dan inklusi yang tinggi. Sementara itu, petani, nelayan, serta yang tidak bekerja mencatat tingkat literasi dan inklusi paling rendah.

Temuan Berdasarkan Metode Cakupan DNKI:

  • Wilayah: Perkotaan menunjukkan indeks literasi 71 persen dan inklusi 94,48 persen; perdesaan masing-masing 59,87 persen dan 90,03 persen.
  • Gender: Pria memiliki literasi 67,53 persen, lebih tinggi dari perempuan 65,73 persen. Namun, inklusi perempuan sedikit lebih tinggi pada 92,89 persen dibanding pria 92,58 persen.
  • Umur: Kelompok usia 26–35 tahun tetap mendominasi literasi dengan 74,05 persen. Indeks inklusi tertinggi tercatat pada usia 18–25 tahun sebesar 95,07 persen.
  • Pendidikan: Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula tingkat literasi dan inklusi. Lulusan perguruan tinggi meraih skor literasi 90,63 persen dan inklusi 99,77 persen.
  • Pekerjaan: Pola yang sama dengan metode sebelumnya, yakni pegawai, pensiunan, dan wiraswasta menduduki posisi tertinggi dalam kedua indeks.

Secara keseluruhan, hasil survei ini menegaskan bahwa akses terhadap layanan keuangan dan pemahaman masyarakat terhadap keuangan semakin membaik, terutama pada kelompok muda dan berpendidikan tinggi.

Namun, upaya masih dibutuhkan untuk menjangkau kalangan dengan tingkat pendidikan rendah, serta masyarakat pedesaan dan kelompok rentan lainnya. (*)

# Tag