Dari Parkiran Bekas ke 70 Negara: Kisah Decathlon, Ritel yang Tumbuh dari Kesederhanaan
Sore itu, seorang pria tua berdiri di tepi toko megastore Decathlon di Lille, menatap anak kecil yang tertawa sambil menendang bola plastik berwarna biru. Di wajah pria itu terselip senyum samar — bukan senyum kesuksesan, melainkan senyum seseorang yang menyadari bahwa impiannya sedang dimainkan di depan matanya.
Tak seorang pun dari pengunjung yang mengenalinya. Tak ada yang tahu bahwa pria bersweater abu-abu itu adalah Michel Leclercq, pendiri kerajaan ritel olahraga terbesar di dunia.
Lelaki kelahiran 1938 ini hanya berdiri sebentar, lalu melangkah pergi, meninggalkan jejak samar di trotoar yang basah oleh hujan sisa musim semi. Tapi kisahnya tetap hidup di setiap bola plastik murah yang bisa dibeli siapa saja tanpa harus menghitung uang kembalian.
Berangkat dari Keresahan
Empat puluh tujuh tahun sebelumnya (1976), ia berdiri di atas lahan parkir bekas di Englos, di pinggiran Prancis utara. Di tangannya, selembar kertas rencana bisnis yang lebih mirip manifesto: toko olahraga untuk semua orang.
Ya, bukan toko untuk atlet profesional. Bukan untuk orang kaya. Tapi untuk siapa saja yang ingin memulai. Untuk anak yang ingin berlari. Untuk ayah yang ingin mendaki. Untuk ibu yang ingin belajar yoga. Toko itu ia beri nama Decathlon — sebuah nama yang mengandung semangat kesepuluh cabang olahraga dalam satu atap. Decathlon dalam bahasa Indonesia bermakna sepuluh lomba.
Hari pertama dibuka, tokonya hanya meraih 9.999 franc. Ia tertawa kecil, lalu membeli sepasang kaus kaki agar angka itu genap sepuluh ribu. “Ini pertanda baik,” katanya kepada rekan-rekannya. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada perayaan. Tapi ada keyakinan yang lebih sunyi dari sorak-sorai, yakni keyakinan bahwa toko kecil ini akan mengubah sesuatu.
Ide membangun Decathlon tidak datang dari ruang rapat atau hasil riset pasar. Ia datang dari keresahan sederhana. Leclercq, seorang penggemar olahraga dan pewaris keluarga ritel Mulliez (pendiri jaringan hipermarket Auchan), menyadari satu hal: mengapa tidak ada toko yang menjual semua perlengkapan olahraga dalam satu tempat?
Saat itu, seseorang yang ingin bersepeda, berenang, dan berkemah harus pergi ke tiga toko berbeda. Padahal, olahraga seharusnya mudah diakses, tidak memusingkan.
Berbekal semangat itu, Leclercq mengajak enam temannya yang juga pecinta olahraga untuk bergabung. Mereka bukan tim investor atau konsultan strategi, melainkan orang-orang yang benar-benar mencintai dunia olahraga dan ingin membuatnya lebih inklusif.
Bersama-sama mereka membangun toko pertama Decathlon dengan visi yang sangat jelas: menjadikan olahraga sebagai hak semua orang, bukan hak istimewa segelintir kalangan.
Langkah pertama yang diambil Decathlon pun mencerminkan semangat itu. Mereka memutuskan untuk tidak sekadar menjadi pengecer. Sejak awal, Leclercq memilih untuk merancang sendiri produk mereka. Ia percaya bahwa hanya dengan mengendalikan proses dari hulu ke hilir — dari desain, produksi, hingga distribusi — mereka bisa menekan biaya dan menjaga kualitas. Sebuah pendekatan radikal di industri ritel olahraga yang kala itu didominasi oleh merek besar dan harga tinggi.
Michel Leclercq bukan pendiri startup yang terburu-buru masuk pasar modal. Ia bukan pencari perhatian. Ia lebih menyerupai pelaut: seseorang yang percaya bahwa arah lebih penting dari kecepatan.
Ia bukan pertama yang menjual sepatu lari, tetapi mungkin yang pertama yang menjualnya tanpa margin besar. “Kami tidak tertarik menjadi mahal,” katanya bertahun-tahun kemudian. “Kami tertarik membuat orang bergerak.”
Mencipta Merek Sendiri
Sepuluh tahun setelah toko pertamanya berdiri, Michel Leclercq masih sering berjalan menyusuri lorong-lorong Decathlon. Ia tak mengenakan jas, tak membawa clipboard, hanya sepasang mata yang jernih dan waktu yang tak tergesa. Ia mencermati bagaimana seorang ibu menyentuh raket tenis anak-anak, atau bagaimana sepasang remaja saling tertawa di depan rak sepatu lari.
Di matanya, semua itu bukan sekadar pelanggan. Mereka adalah jiwa dari alasan kenapa toko ini ada: karena setiap orang, dari anak-anak hingga lansia, berhak untuk bergerak, berkeringat, dan merasa hidup.
Dari pengamatan yang sabar itu, muncul ide yang saat itu dianggap terlalu nekat: kenapa tidak membuat sendiri seluruh perlengkapan olahraga?
Ketika dunia ritel berlomba-lomba menjadi showroom bagi merek global, Decathlon justru memilih menciptakan mereknya sendiri. Lahirlah Quechua, Domyos, Kalenji — nama-nama yang terdengar asing di awal, tapi perlahan menjadi sahabat bagi keluarga-keluarga di Prancis dan kemudian dunia.
Produk-produk itu tidak lahir dari ruang rapat berpendingin, melainkan dari percakapan dengan orang-orang biasa. “Kita tidak butuh sepatu lari super cepat,” ujar seorang pelanggan di Bordeaux. “Kita hanya butuh sepatu yang tidak bikin sakit kaki setelah tiga kilometer.” Bagi Leclercq, itu lebih penting daripada data pasar.
Ia bukan inovator dalam makna Silicon Valley. Ia tidak bicara tentang disrupsi, tidak merancang pitch deck untuk investor. Tapi ia paham satu hal yang sederhana dan nyaris dilupakan zaman: buatlah sesuatu yang tahan lama, fungsional, dan jujur harganya — maka orang akan kembali.
Maka dibangunlah SportsLab di Lille. Sebuah laboratorium kecil yang mempelajari gerak tubuh manusia, cara tangan menggenggam raket, cara telapak kaki mendarat di tanah berbatu. Dari sana, lahirlah sepatu hiking yang tak membuat lecet, dan tas ransel yang bisa dipakai bertahun-tahun tanpa kehilangan bentuk.
Lalu muncullah ide Trocathlon. Sebuah acara barter perlengkapan olahraga yang digelar seperti pasar malam komunitas. Barang-barang bekas berpindah tangan, dari satu keluarga ke keluarga lain, dari satu semangat ke semangat lain.
Leclercq tahu betul bahwa produk yang baik tidak boleh cepat dilupakan. Maka ia tak hanya menciptakan barang, tapi juga memberi mereka kehidupan kedua. Dari sinilah konsep Second Life tumbuh, bukan sebagai program sosial, tapi sebagai bagian utuh dari model bisnis.
Ya, mudah sekali menyebut Leclercq sebagai idealis. Tapi idealismenya adalah jenis yang mengakar pada realitas. Ia tidak pernah bermimpi mengubah dunia. Ia hanya ingin menciptakan toko di mana seorang ayah bisa membelikan sepatu anaknya tanpa rasa cemas pada angka di dompet.
“Kami tidak tertarik pada market share,” katanya suatu ketika kepada CFO Jean-Marc Lemière. “Kami tertarik menciptakan pasar itu sendiri.” Dan sejak hari itu, kalimat itu menjadi semacam mantra sunyi yang membimbing Decathlon hingga kini.
Ekspansi
Ketika Decathlon mulai merambah luar Prancis pada 1986 (setahun setelah berdiri), tak ada gegap gempita seperti ekspansi merek-merek Amerika. Mereka masuk Dortmund, Jerman, bukan dengan baliho, tapi dengan raket murah dan sepatu yang kuat. Mereka tiba di Italia bukan dengan janji diskon, tapi dengan komitmen bahwa setiap anak di Napoli bisa memiliki bola sepak, bukan hanya menontonnya di televisi.
Setiap negara yang mereka jejaki, mereka datangi dengan rendah hati. Menyesuaikan. Belajar. Mendengarkan.
Tapi dunia tak selalu ramah pada kesabaran. Pada 1999, di Amerika Serikat, tempat segala hal dinilai dari pertumbuhan dan gebrakan, Decathlon sempat gagal. Mereka masuk terlalu cepat, dengan ekspektasi yang terlalu Eropa. Mereka menutup toko, mundur.
Namun tujuh belas tahun kemudian, mereka kembali. Bukan dengan megastore, melainkan toko kecil di San Francisco, toko eksperimental yang lebih mirip ruang diskusi ketimbang pusat belanja. Di sana mereka mengamati, mencoba lagi, pelan-pelan. Bagi Leclercq, kegagalan bukan akhir, itu hanya jeda untuk memahami peta yang berbeda.
Pada saat yang sama, Decathlon terus bertumbuh di tanah yang lebih reseptif: Brasil (2001), China (2003), India (2009), Turki (2010), juga Indonesia (Alam Sutera, BSD, 2017).
Di tempat-tempat ini, mereka tidak hanya menjual barang, tetapi membuka akses. Seorang anak bisa membeli skateboard dengan harga terjangkau. Seorang ibu bisa membeli pakaian renang yang nyaman dan sopan. Mereka tak berbicara tentang inklusivitas, mereka melakukannya. Bukan dengan slogan, tapi dengan produk yang bisa dibeli siapa saja, dan toko yang bisa dimasuki siapa pun.
Lalu, seperti segala hal dalam hidup, datanglah ujian besar. Pandemi. Ketika toko-toko di seluruh dunia tutup, dan olahraga menjadi aktivitas rumah tangga sempit, Decathlon tidak panik. Mereka tidak langsung memangkas tenaga kerja, tidak serta-merta berubah menjadi e-commerce agresif. Mereka memilih mendengar: apa yang dibutuhkan keluarga hari ini?
Maka muncullah program peminjaman alat olahraga gratis di beberapa negara, disusul peningkatan fitur digital seperti tutorial senam keluarga dan pelatihan lari via aplikasi. Di tengah kepanikan global, Decathlon menjelma menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar toko: mereka menjadi teman gerak yang diam-diam hadir.
Dan saat dunia mulai membuka pintunya lagi, Decathlon kembali, seperti biasa, tanpa gegap gempita. Mereka tidak membanggakan grafik pemulihan, tapi memperkenalkan kembali raket murah untuk anak-anak yang sempat kehilangan ruang bermain. Mereka tidak membicarakan survival, tapi memikirkan kembali bagaimana dunia pasca-pandemi bisa bergerak bersama.
Mungkin inilah bentuk paling indah dari bisnis yang jujur: ia tidak hanya ada untuk menjual, tapi untuk hadir — tanpa banyak suara, tapi dengan dampak yang terasa.
Regenerasi
Michel Leclercq kini sudah tidak sering terlihat di toko. Usianya melewati delapan puluh, langkahnya pelan, tapi pikirannya masih berjalan jauh.
Ia sesekali hadir dalam rapat direksi, bukan untuk memeriksa neraca, tapi untuk menanyakan hal-hal yang terdengar sederhana tapi esensial: "Apa olahraga masa depan?", atau... "Apakah kita sudah membuat anak-anak merasa nyaman bermain?"
Di dunia bisnis yang terobsesi pada kuartal dan kapitalisasi pasar, pertanyaan-pertanyaan seperti itu terdengar ganjil. Tapi di Decathlon, itulah arah.
Kepemimpinan kini berada di tangan Barbara Martin Coppola. Perempuan yang lahir di tahun Decathlon berdiri (1976) ini datang dari dunia teknologi, dari koridor IKEA dan Google, membawa pemahaman tentang dunia yang serba cepat dan serba digital.
Tapi ia tidak membongkar pondasi yang dibangun Leclercq. Ia menyusunnya ulang, dengan lebih ramping, lebih intuitif, lebih relevan. Toko-toko diperbarui bukan untuk sekadar estetik, tapi agar lebih ramah bagi mereka yang pertama kali mencoba. Digitalisasi dilakukan bukan agar semuanya instan, tapi agar tidak ada yang tertinggal.
Di bawah komando barunya, Decathlon mulai bicara dengan bahasa global yang lebih halus. Mereka tidak mengubah jantungnya, hanya menyesuaikan nadanya.
Fokus Barbara bukan lagi semata menjual perlengkapan olahraga, tapi membangun merek olahraga, yang tak hanya menyediakan alat, tapi menghidupkan kebiasaan. Sebuah misi yang membuat mereka tak sekadar bersaing dengan Nike atau Adidas, tapi mengisi ruang yang selama ini kosong: ruang di mana pemula merasa diterima, dan bukan dihakimi.
Hasilnya mengesankan. Decathlon hari ini memiliki lebih dari 1.800 toko di 70 negara. Penjualannya menembus €15,6 miliar per tahun. Mereka mempekerjakan lebih dari 101.000 orang (sebagian besar adalah pemegang saham).
Tapi angka-angka itu, betapapun megahnya, selalu terasa seperti latar belakang yang senyap. Karena yang utama bukan di sana. Yang utama adalah bola plastik biru yang tetap dijual di rak bawah, agar bisa dijangkau tangan anak kecil tanpa harus minta tolong. Yang utama adalah ransel ringan seharga dua puluh euro yang bisa menemani seorang remaja ke gunung pertamanya.
Dan pada akhirnya, mungkin warisan terbesar Michel Leclercq bukanlah toko-toko besar atau laboratorium riset produk. Tapi kesadaran bahwa bisnis bisa dimulai dari keresahan kecil, dikerjakan dengan ketulusan, dan dibesarkan dengan kesabaran. Bahwa ritel tidak harus gaduh. Bahwa keuntungan bisa berdampingan dengan kejujuran. Bahwa menjadi besar tidak harus berarti meninggi.
Leclercq memang tak lagi mondar-mandir di toko. Tapi di setiap tawa anak yang membeli bola, di setiap sepatu murah yang nyaman, di setiap tenda pop-up yang melindungi dari hujan, jejaknya masih ada. Tak tertulis, tak disebut-sebut, tapi terasa. Dan bukankah itu cara paling tulus untuk tetap hidup dalam dunia yang terus bergerak? (*)