Mengaduk Rasa, Meracik Strategi: Resep Sukses The Harvest Taklukkan Industry Cake & Pastry
Tidak banyak yang tahu bahwa cikal bakal The Harvest dimulai dari tangan seorang pastry chef internasional yang jatuh cinta pada Indonesia. Namanya Lal De Silva, mantan pastry chef di hotel Four Seasons, yang pada 2004 membuka toko kue pertamanya di kawasan Senopati, Jakarta Selatan.
Kualitas Hotel Bintang Lima
Niat awalnya sederhana namun berjiwa seni: menghadirkan kue berkualitas hotel bintang lima ke tengah masyarakat luas. “Beliau ini seorang yang art. Jadi, buat kue itu tidak semata-mata soal duit, tapi lebih pada ekspresi karya seni,” kata Evaliny, CFO The Harvest Group, dalam acara BizzComm Podcast, membuka kisah tentang fondasi perusahaan yang kini telah menjelma menjadi salah satu jaringan toko kue terbesar di Indonesia.
Dua dekade kemudian, The Harvest tak lagi sekadar toko kue. Ia telah tumbuh menjadi bisnis bernilai triliunan rupiah, dengan lebih dari 150 outlet yang tersebar dari Jakarta hingga ke kota-kota tier tiga seperti Jember dan Solo.
Bahkan, di tengah gempuran tren coffee shop dan gelombang gaya hidup ngopi, The Harvest tetap bertahan. Tidak dengan menolak perubahan, melainkan dengan beradaptasi. Harvest juga membuka coffee shop. Tujuannya agar saat orang datang ngopi, mereka juga bisa lihat kue baru, menikmati bersama keluarga.
Adaptasi tersebut menjadi kunci di tengah maraknya pemain baru dalam industri cake dan pastry. Namun bukan hanya itu yang membuat The Harvest berbeda. Keunggulan logistik dan ketersediaan produk menjadi nilai tambah tersendiri.
Evaliny menggambarkan skenario yang umum: seseorang lupa hari ulang tahun pasangan, dan di pagi hari langsung memesan kue. “Langsung aja ke tokonya Harvest, pasti kita ready. Bahkan kalau istrinya di luar kota, dari Sabang sampai Merauke kita bisa kirim. Dengan mutu yang tidak berkurang,” ujarnya.
Untuk menjaga standar kualitas di seluruh outlet, The Harvest menerapkan sistem produksi yang sangat ketat. Evaliny menyebut istilah build of material, sebuah sistem di mana semua bahan baku sudah dikunci dan terstandarisasi hingga ke ukuran gram.
Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal konsistensi rasa. “Begitu saya masuk Harvest, sudah nggak bisa lagi tuh baking pakai feeling. Semua sudah harus by system. Dan itu kita buat dari 2019, saat saya dan Pak Edison Manalu bergabung,” tuturnya. Edison kemudian menjadi CEO The Harvest.
Tak berhenti di sana, The Harvest juga secara sukarela menerapkan sertifikasi halal yang menyeluruh. Bukan hanya pada bahan baku utama, tapi hingga ke detail kecil seperti alas kue dan paper bag. “Ini tanggung jawab moral kita kepada konsumen muslim. Karena 86 persen masyarakat Indonesia adalah muslim, maka halal jadi pertanyaan pertama yang muncul,” ujar Evaliny.
Bahkan, untuk mengganti jenis tepung pun harus melalui persetujuan halal internal. Langkah ini mungkin memperlambat proses inovasi produk, tapi justru memperkuat fondasi kepercayaan pelanggan.
Dipegang Talenta Lokal
Upaya menjaga kualitas tidak hanya berhenti pada standar halal. The Harvest juga mengantongi sertifikasi BRC (British Retail Consortium), sebuah standar internasional untuk keamanan pangan.
Artinya, kalau ada yang komplain, The Harvest bisa menelusuri batch tepungnya dari outlet mana, dan langsung bisa ditarik. Dengan pendekatan seperti ini, kontrol kualitas bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari sistem respons cepat yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Di balik pencapaian tersebut, ada pergeseran besar yang terjadi dalam tubuh organisasi. Evaliny mengisahkan bahwa saat pertama kali bergabung di 2019, posisi-posisi strategis masih banyak diisi oleh ekspatriat. Namun kini, seluruh jajaran manajemen telah dipegang oleh talenta lokal. “Alhamdulillah sekarang kita grow tim sendiri. Tidak ada ekspat lagi. Kita bangun tim lokal. Jadi bolehlah kita sebut ini kebanggaan Indonesia,” ucapnya.
Meski secara legal perusahaan tercatat sebagai Penanaman Modal Asing (PMA), ia menegaskan bahwa kontribusi The Harvest kepada negara, dari sisi lapangan kerja hingga pajak, tidak kalah dari perusahaan nasional lainnya.
Yang menarik, strategi ekspansi The Harvest pun tidak melulu berorientasi ke kota besar. Kota-kota second dan third tier menjadi target berikutnya, dengan penyesuaian produk yang cermat. Bedanya, kalau di Jakarta dijual kue diameter 20, di kota kecil dibuat yang diameter 15 atau bahkan diameter 10, agar lebih terjangkau.
Evaliny juga menyebut bahwa harga di luar kota justru sedikit lebih mahal karena ongkos distribusi, tapi hal itu biasanya diimbangi dengan promo dari bank atau mitra pembayaran lain.
Inovasi produk pun menjadi napas penting di tengah persaingan industri yang dinamis. Saat tren dessert Korea melanda, Evaliny dan tim merespons cepat dengan meluncurkan brand digital “Kpop” yang menyasar pasar Gen Z dengan harga Rp50–70 ribu per kue, tanpa mengorbankan kualitas.
Bahkan, salah satu idenya yang menarik adalah memotong cake besar menjadi potongan kecil dalam satu boks, sehingga pelanggan bisa menikmati beragam rasa sekaligus. "Timbul ide bagaimana kita bisa punya kue baru tanpa harus buat resep baru. Kita pakai yang lama, kita potong, kita susun. Jadi semacam buffet at home,” jelasnya.
Tidak hanya B2C, The Harvest juga memperluas sayap ke bisnis B2B. Mereka melayani pemesanan white-label untuk kafe-kafe yang tidak memiliki dapur sendiri, menyediakan snack box, bahkan menyuplai croissant dan roti ke berbagai mitra.
Artinya, kalau seseorang buka kafe, bisa beli donat atau roti dari The Harvest. Minimal ordernya fleksibel, dan The Harvest akan melihat potensinya dulu. Strategi ini tak hanya membuka saluran pendapatan baru, tapi juga memperkuat posisi The Harvest sebagai penyedia produk pastry berkualitas dalam ekosistem F&B yang lebih luas.
Wardah-nya Industri Cake & Pastry
Dengan bisnis yang kian kompleks, digitalisasi menjadi keharusan. Evaliny menjelaskan bahwa The Harvest sudah mulai menerapkan sistem berbasis teknologi, dari pemesanan hingga pelacakan bahan baku. Chatbot mulai digunakan di call center, sementara sistem inventory dan batch tracking telah terkoneksi penuh.
Setiap bahan yang masuk, setiap kue yang keluar, semua sudah by system. Jadi kalau ada selisih atau kesalahan bahan, langsung diketahui. Meski belum 100 persen otomatis, mereka mengadopsi mesin secara bertahap, sembari tetap mempertahankan keseimbangan antara teknologi dan tenaga manusia.
Di tengah upaya mempertahankan kualitas dan efisiensi, mereka juga terus berinovasi mengembangkan lini produk. Tak hanya kue, tapi juga pastry, hampers, hingga cookies yang menjadi andalan saat momen Lebaran. “Kadang orang bilang, dari 10 hampers yang datang, 10-10 nya dari Harvest,” ujarnya sambil tertawa.
Produk roti harian pun sedang digarap serius. Evaliny menyebut konsep “daily bread” sebagai potensi pertumbuhan besar berikutnya, terutama karena pola konsumsi masyarakat yang perlahan bergeser, menjadikan roti sebagai pengganti nasi.
Tidak hanya itu, Harvest kini juga bermain di segmen gaya hidup sehat. Mereka telah merilis produk-produk dengan kadar gula rendah, menggunakan stevia, bahkan tersedia opsi gluten-free. “Sekarang orang pingin ngemil tapi tetap sehat. Kita sudah siapkan. Tinggal bilang aja ke toko: yang diet yang mana?” ujarnya. Evaliny menegaskan, semua pilihan itu disediakan agar konsumen punya opsi. “Karena umur kita nambah terus, ya, makan juga harus lebih bijak,” tambahnya.
Di balik semua strategi dan sistem, The Harvest punya ambisi yang lebih besar: menjadi pemimpin industri cake di Asia. Evaliny menyebut nama Wardah sebagai inspirasi—merek lokal yang mendunia dengan integritas dan inovasi. “Kalau Indonesia punya Wardah, kenapa kita nggak bisa jadi Harvest yang mendunia?” ujarnya optimistis. Saat ini, perusahaan mempekerjakan lebih dari 3.500 karyawan. Ia berharap, angka itu bisa bertambah nol di belakangnya.
Dan semua itu, katanya, dimulai dari mimpi kecil. “Segala bisnis itu dimulai dari hal yang kecil. Mimpi yang kecil akan menjadi bisnis triliunan yang besar. Bismillah aja ya. Ikhtiar dan doa.”
Dengan cara berpikir seperti itu, tidak sulit membayangkan The Harvest suatu hari bukan hanya hadir di kota-kota kecil di Indonesia, tapi juga di pusat kuliner dunia. Sementara itu, The Harvest akan terus hadir di momen ulang tahun yang terlupa, perayaan kecil di rumah, hingga coffee break di kantor-kantor: sepotong seni manis dalam kehidupan sehari-hari. (*)