Desa Adat dan Wisata Penglipuran Menerapkan Pengelolaan Sampah Berbasis Rumah Tangga

null
Wisatawan di Desa Penglipuran. (Foto: Istimewa).

Desa Adat Penglipuran merepresentasikan filosofi Tri Hita Karana, konsep keseimbangan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan, yang diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Desa ini mencerminkan filosofi hidup masyarakat Bali yang menjunjung harmoni antara manusia dan alam. Beragam penghargaan diperoleh Desa Adat Penglipuran.

Pada 2023, Desa Penglipuran dinobatkan sebagai Best Tourism Village oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO). Penghargaan ini menjadikan Penglipuran sebagai model global dalam pengembangan pariwisata berbasis pelestarian lingkungan dan budaya.

Pada 2025 ini, desa wisata ini memperoleh penghargaan Kalpataru. Wayan Sumiarsa, Kepala Pengelola Desa Wisata Penglipuran, menyatakan desa wisata ini memperoleh penghargaan Kalpataru Lestari yang menjadi bukti bahwa desa wisata bisa berkembang tanpa merusak alam.

"Penglipuran mempertahankan nilai adat dan keberlanjutan daripada mengejar ekspansi. Keberlanjutan bukan sekadar slogan, tapi gaya hidup yang dijaga bersama oleh seluruh warga desa," uujar Sumiarsa pada siaran pers di Denpasar, Bali, Sabtu (7/6/2025).

Sebagai desa yang tumbuh dari nilai-nilai warisan leluhur, pelestarian lingkungan di Penglipuran bukan hasil intervensi eksternal, melainkan bagian dari sistem adat yang telah mengakar kuat.

Salah satu inisiatif utama adalah konservasi hutan bambu seluas 75 hektare, yang dijaga ketat melalui aturan adat. Kawasan ini dianggap sakral dan pemanfaatannya dibatasi secara kolektif. Selain nilai spiritual, hutan ini berperan penting dalam menjaga kualitas tanah, cadangan air, dan penyerapan karbon.

Kepala Desa Adat Penglipuran, I Wayan Buda, menyatakan penghargaan Kalpataru itu mencerminkan filosofi hidup masyarakat Bali yang menjunjung harmoni antara manusia dan alam.

"Ini adalah penghargaan kolektif masyarakat Bali yang konsisten menjaga kearifan lokal sebagai benteng pelestarian lingkungan," tuturnya.

Pengelola desa menerapkan sistem pengelolaan sampah berbasis rumah tangga. Warga secara rutin memilah sampah ke dalam 14 kategori, mulai dari organik hingga limbah berbahaya. Seluruh proses dilakukan di pusat pengelolaan milik desa. Keberhasilan sistem ini tidak lepas dari peran hukum adat (awig-awig) dan sanksi sosial yang memastikan partisipasi aktif seluruh warga.

Awig-awig melarang keras segala aktivitas perusakan lingkungan seperti penebangan pohon liar, pencemaran sungai, dan perburuan satwa. Pelanggaran terhadap hukum adat ini tidak hanya dikenai sanksi formal, tetapi juga sosial dan spiritual.

Efektivitasnya sering kali melampaui regulasi formal pemerintah. Di kawasan permukiman inti, Penglipuran menetapkan kebijakan zona bebas kendaraan bermotor. Wisatawan diwajibkan berjalan kaki atau menggunakan sepeda.

Tata ruang desa tetap mempertahankan arsitektur tradisional Bali dengan bahan alami seperti bambu dan tanah liat, menegaskan hubungan harmonis antara budaya dan alam.

Oh ya, Desa Penglipuran menerima Penghargaan Kalpataru Lestari 2025 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, pad puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Pantai Kuta, Bali, Kamis, (5/6/2025).

Penghargaan Kalpataru Lestari merupakan bentuk penghargaan tertinggi negara kepada individu atau komunitas yang sebelumnya telah menerima Kalpataru dan terus menunjukkan dedikasi luar biasa dalam menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan.

Desa Penglipuran menerima Kalpataru pertama kali pada tahun 1995 dalam kategori Penyelamat Lingkungan. Selama tiga dekade, Penglipuran konsisten dalam pelestarian lingkungan yang dalam program berbasis adat yang memadukan pelestarian alam dengan harmoni sosial, spiritual, dan budaya. (*)